"Ada angin apa kau datang siang-siang begini, Yahya?" tanya Fatimah sambil menyiapkan secangkir teh hangat.
Kapten Yahya tersenyum, menampilkan deretan gigi yang sudah menguning. "Ada cerita yang ingin kusampaikan," jawabnya singkat.
Siti Aminah segera mengeluarkan alat perekamnya. Setiap kata dari seorang pelaut tua membawakan mutiara yang nyaris hilang.
"Aku baru saja berlayar dari Singapura," mulai Yahya, "Melihat betapa pesatnya perubahan. Gedung-gedung tinggi, kapal-kapal kontainer, teknologi yang membuat dunia terasa menciut."
Malik yang sedari tadi diam, bertanya, "Lalu apa yang kau pikirkan, Kapten?"
Yahya mengeluarkan sebuah peta tua dari dalam tasnya. Peta itu lancar, spesifik, namun masih dapat dibaca dengan jelas. Garis-garis pelayaran tergambar rumit, menghubungkan pulau satu dengan pulau lainnya.
"Lihat peta ini," katanya, "Leluhur kita bukan sekadar nelayan. Mereka adalah diplomat sejati, navigator ulung, pembawa peradaban."
Pak Harun mengangguk, "Benar kata Yahya. Orang Melayu dulu tidak mencapai batas wilayah seperti sekarang. Mereka berlayar membawa dagangan, ilmu pengetahuan, dan budaya."
Mak Intan mengambil sebuah buku kuno dari rak. Sampulnya sudah usang, namun masih dapat dibaca judulnya: "Hikayat Pelayaran".
"Tahukah kalian," ujar Mak Intan, "bahwa para pedagang Melayu dulu mampu berbicara beberapa bahasa? Mereka tidak sekedar berdagang, tetapi membangun jembatan peradaban."
Siti Aminah mencatat dengan cepat. Setiap kata terasa berharga bagaikan sebiji mutiara dari dasar laut. Kapten Yahya melanjutkan ceritanya. Ia menceritakan tentang perjalanannya melintasi Selat Malaka, melihat betapa kompleksnya perubahan. Kapal-kapal modern berlomba-lomba, namun kehilangan sentuhan kemanusiaan yang dimiliki perahu-perahu tradisional.