Siti Aminah mulai merekam setiap detail percakapan. Drone Rifki masih terbang, seolah-olah menjadi saksi bisu pertarungan antara sejarah dan modernitas. Konflik kian memanas. Pulau Penyengat kini berada di persimpangan antara mempertahankan identitas atau menerima perubahan yang dijanjikan uang. Setiap orang di ruangan itu memiliki pandangan berbeda, namun satu tekad: melindungi warisan nenek moyang.
Malam mulai turun, namun suasana tegang di rumah Fatimah tak kunjung mereda. Di luar rumah, beberapa warga mulai berkumpul. Kabar tentang klaim lahan telah menyebar dengan cepat. Tiba-tiba, seorang investor muda bernama Richard Bernard---keturunan campuran Melayu-Inggris---datang dengan rombongan pengacaranya. Langkahnya angkuh, dokumen berlapis map kulit mahal di tangannya.
"Kami sudah mendapatkan izin dari pemerintah daerah," ucapnya dengan nada yang dingin. "Proyek ini akan membawa kemajuan bagi pulau terbelakang ini."
Kata "terbelakang" itu bagaikan cambuk yang menyakitkan bagi para tetua. Kapten Yahya bangkit, tubuhnya yang sudah tua tiba-tiba terlihat tegak.
"Pulau ini bukan sekadar lahan kosong!" bentaknya. "Ini adalah jejak peradaban yang tak ternilai!" Richard tersenyum sinis. "Peradaban tidak bisa hidup dari kenangan. Kami akan membangun resort internasional, membuka lapangan kerja, mengangkat ekonomi."
Hendri, pengacara yang semula netral, kini mulai terpecah. Sebagian dokumen yang dibawanya menunjukkan potensi keuntungan yang luar biasa. Mata para pemuda desa mulai berbinar melihat angka-angka yang tertera. Malik memandang ayahnya yang ikut terpesona dengan tawaran itu. "Kita tidak boleh menjual sejarah!" teriaknya. Fatimah melangkah maju. Meskipun usianya sudah tua, auranya begitu kuat. Ia mengeluarkan sebuah peta tua dari dalam peti pusaka keluarganya.
"Lihat ini," katanya sambil membentangkan peta, "Setiap garis di sini adalah kisah pelayaran, setiap titik adalah jejak peradaban. Ini bukan sekadar kertas tua!"
Richard tertawa. "Sebuah peta tua tidak bisa melawan sertifikat tanah resmi dan izin pembangunan."
Siti Aminah yang semula diam kini ikut bersuara. "Anda tidak mengerti! Pulau Penyengat adalah saksi bisu kejayaan Kesultanan Melayu. Setiap batu di sini memiliki cerita!"
Konflik mencapai puncaknya. Di luar, warga mulai terpecah. Sebagian mendukung pembangunan, sebagian lagi bersikeras mempertahankan warisan.
Rifki, sang anak kecil, tiba-tiba melemparkan drone miliknya ke arah Richard. Bukan untuk menyerang, tapi untuk menunjukkan rekaman-rekaman bersejarah yang tersimpan di dalamnya.