"Benang-Benang Waktu Dalam Ombak Yang Berbisik"
Karya Jingga Indraini
Sinar mentari pagi merekah di atas permukaan perairan Pulau Penyengat, menyinari bangunan-bangunan tua yang masih menyimpan kenangan sejarah. Di sebuah rumah panggung tua yang terletak di tepian pulau, tinggallah seorang perempuan tua bernama Encik Fatimah. Usianya sudah hampir delapan puluh tahun, namun semangat dan kearifannya masih tetap berkobar. Pulau Penyengat, sebuah pulau kecil di perairan Riau yang dulu pernah menjadi pusat Kesultanan Melayu Lingga, kini mulai terlupakan. Namun, kenangan dan budaya luhur masih tersimpan dengan baik dalam diri para tetua, terutama Encik Fatimah.
Pagi itu, seperti biasa, Fatimah duduk di beranda rumahnya sambil menenun kain songket. Jarinya yang keriput dengan gesit menggerakkan alat tenun warisan nenek moyangnya. Setiap helai benang yang ditenunnya adalah cerita, sejarah, dan kenangan yang ingin dia wariskan kepada generasi muda. Beberapa anak muda dari desa mulai berkumpul di sekitar rumahnya. Mereka datang bukan sekadar untuk melihat, tetapi untuk mendengarkan kisah-kisah bijak yang selalu mengalir dari mulut Encik Fatimah. Kali ini, mereka ingin mengetahui rahasia ketahanan budaya Melayu yang selama ini menjadi kebanggaan masyarakat Pulau Penyengat. "Cucu-cucuku," mulai Fatimah dengan suara lembutnya, "Ketahanan budaya kita bukan sekadar tentang mempertahankan adat, tetapi tentang bagaimana kita menghormati, memahami, dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur."
Anak-anak muda itu mendengarkan dengan saksama. Ada Adi, seorang pemuda yang baru kembali dari kota besar, tampak lebih antusias dibandingkan yang lain. Mata besarnya menatap Fatimah dengan penuh hormat. "Dalam budaya Melayu," lanjut Fatimah sambil terus menenun, "kita mengenal falsafah 'adat bersendi syara', syara' bersendi kitabullah'. Artinya, segala tingkah laku dan perbuatan kita didasarkan pada hukum agama, dan hukum agama bersumber dari kitab suci Al-Quran."
Fatimah berhenti sejenak, mengalihkan pandangannya ke laut lepas. Kenangan masa lalu seolah berputar dalam benaknya. Pulau Penyengat yang dulu pernah menjadi pusat pendidikan, kebudayaan, dan kekuasaan Melayu kini terlihat sepi. "Dulu," ceritanya melanjut, "Pulau Penyengat adalah pusat peradaban. Di sini, para ulama dan cendekiawan berkumpul. Mereka tidak sekadar mengajarkan ilmu pengetahuan, tapi juga menanamkan nilai-nilai luhur seperti toleransi, musyawarah, dan saling menghormati."
Adi mengangkat tangannya, "Nenek, bagaimana caranya kami bisa mempertahankan budaya ini di tengah arus modernisasi?" Fatimah tersenyum, "Bukan dengan menolak perubahan, tetapi dengan memahami inti dari budaya kita sendiri. Kita harus mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati diri..." Fatimah meletakkan alat tenun songketnya perlahan. Jarinya yang keriput mengusap kain yang hampir selesai ditenunnya. Warna-warni benang sutera membentuk motif yang rumit, melambangkan kompleksnya kehidupan.
"Lihat kain ini," ujarnya kepada Adi dan kawan-kawan, "Setiap helai benang memiliki cerita. Ada yang berwarna merah melambangkan keberanian, hijau menandakan kedamaian, kuning melukiskan kebijaksanaan. Begitu pula dengan kehidupan, setiap warna memiliki maknanya sendiri."
Angin laut mulai bertiup, membawa aroma garam dan kenangan. Di kejauhan, beberapa perahu nelayan tradisional bergoyang di permukaan air. Fatimah menatap ke arah mereka, seolah mengingat masa lalu yang panjang. "Dulu, Pulau Penyengat ini adalah mutiara Melayu," kenangnya. "Di sini, Sultan Mahmud Al Rajah Hassan mendirikan pusat pendidikan, membuat pulau kecil ini menjadi mercusuar ilmu pengetahuan. Para ulama dari berbagai penjuru datang untuk belajar dan mengajar."
Adi memperhatikan dengan seksama. Sebagai generasi muda yang baru kembali dari kota, ia mulai memahami betapa kayanya warisan budaya yang selama ini diabaikannya. Seorang pemuda lain, Reza, bertanya, "Nenek, bagaimana cara kita menjaga tradisi tanpa terperangkap dalam kemandegan?" Fatimah tertawa pelan, "Bukan dengan mengawetkan tradisi seperti menyimpan barang museum, tetapi dengan menghidupkannya. Tradisi adalah api, bukan abu. Api selalu bergerak, berubah, namun tetap memelihara esensi panasnya." Ia mulai menceritakan tentang filosofi "merantau" dalam budaya Melayu. Bukan sekadar berpindah tempat, tetapi mencari ilmu, pengalaman, dan kemudian kembali memberi manfaat kepada masyarakat. "Lihat anak-anak muda ini," tunjuknya pada Adi dan kawan-kawan, "Mereka pergi ke kota mencari pengetahuan, seperti para pedagang dan ulama zaman dulu yang berlayar ke Timur Tengah, India, dan negeri China. Mereka tidak kehilangan identitas, justru memperkayanya."
Matahari mulai condong ke barat, cahayanya mewarnai rumah-rumah panggung tua di sekitar mereka. Sebuah kapal nelayan tradisional merapat di dermaga dekat rumah Fatimah. Seorang nelayan tua turun, membawa hasil tangkapan ikan. "Inilah kehidupan sebenarnya," bisik Fatimah, "Berubah namun tetap bermakna. Seperti ombak yang selalu datang dan pergi, namun laut tetap ada. Seperti kita, yang selalu bergerak namun tetap memiliki akar." Adi memandang nenek tua itu dengan penuh hormat. Ia mulai memahami bahwa budaya bukanlah sekadar kisah lama, melainkan nafas yang terus hidup, bernafas, dan berkembang.