"Lihat foto ini," kata Mak Intan, menunjuk sebuah foto seorang perempuan berjilbab yang sedang membuka sebuah buku, "Inilah Rangkayo Rasuna Said, perempuan Melayu yang mendidik generasi tanpa kenal lelah. Mereka tidak sekadar mendidik anak-anak, tetapi mendidik jiwa." Fatimah melanjutkan, "Dalam budaya Melayu, perempuan adalah tulang punggung peradaban. Mereka adalah penjaga tradisi, penenun kisah, dan penjaga nilai."
Angin malam semakin bertiup, membawa aroma jeruk nipis dan bunga melati dari kebun di sekitar rumah. Para pemuda mulai memahami bahwa sejarah bukanlah sekadar rentetan peristiwa, melainkan nafas kehidupan yang terus bergerak.
"Kami tidak pernah kalah," bisik Pak Harun, "Kami hanya berubah. Seperti udara yang mengalir di sungai, melewati batu karang, membentuk alur baru namun tetap menjadi udara." Reza, yang diam tadi, bertanya, "Bagaimana kami bisa meneruskan warisan ini? Dunia begitu cepat berubah, teknologi mengubur tradisi." Senyum Fatimah terukir lembut, "Teknologi adalah alat, bukan tujuan. Gunakanlah ia untuk memperkaya, bukan untuk menghancurkan. Seperti para pedagang Melayu dahulu yang menggunakan kapal layar untuk mengarungi, kalian harus menggunakan teknologi untuk menjangkau pengetahuan lebih jauh."
Bulan telah mencapai puncaknya. Cahayanya terpancar di permukaan udara, menghasilkan Pulau Penyengat yang tampak sunyi namun penuh misteri. Cahaya bulan mulai memudar, digantikan oleh semburat fajar pertama. Para pemuda yang semula terbangun kini tertidur di sekitar ruangan, dengan kepala bersandar pada bantal-bantal usang bertuah. Fatimah masih terjaga, jarum jam terus mengusap kain songket yang hampir selesai ditenunnya.
Tiba-tiba, terdengar suara gemerisik di luar. Seorang nelayan muda bernama Malik memasuki beranda rumah Fatimah. Pakaiannya basah, tampak baru pulang dari menangkap ikan di perairan Riau yang luas.
"Ada apa pagi-pagi begini, Malik?" tanya Fatimah.
Malik menunduk, "Ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku, Nenek. Kami para pemuda mulai kehilangan arah. Antara mempertahankan tradisi atau mengikuti arus modernisasi." Pak Harun yang masih terbangun ikut berbicara, "Modernisasi bukan musuh, nak. Ia adalah kesempatan untuk membuktikan ketangguhan budaya kita."
Mak Intan membuka sebuah peti tua yang selama ini tersimpan di sudut ruangan. Dari dalamnya, ia mengeluarkan beberapa benda bersejarah: sebuah keris pusaka, beberapa naskah kuno, dan sebuah peta perdagangan lama. "Lihat ini," katanya sambil menunjukkan peta, "Leluhur kita adalah para navigator sejati. Mereka tidak takut berlayar ke tempat yang tak dikenal. Bahkan ketika teknologi navigasi belum sescanggih sekarang, mereka mampu membaca arah dari bintang, arus laut, dan gerakan angin. "
Adi, yang mulai terbangun, memperhatikan dengan seksama. Ia memungut sebuah keris pusaka yang tergeletak di meja. Cahaya pagi memantulkan sinar dari bilah keris yang masih tajam. "Keris ini bukan sekedar senjata," ujar Fatimah, "Ia adalah lambang filosofi. Bilahnya tajam, namun tidak untuk melukai. Ia melambangkan ketajaman pikiran dan kebijaksanaan."
Malik mulai menceritakan kondisi para nelayan muda di pulau. Mereka mulai kehilangan minat pada cara-cara tradisional. Mesin-mesin modern dan kapal besar mulai menggantikan perahu-perahu layar warisan leluhur. "Kami tidak menolak perubahan," ujar Malik, "Tapi kami takut kehilangan identitas. Bagaimana cara menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas?" Pak Harun tertawa pelan, "Perubahan adalah hukum alam. Seperti musim yang berganti, seperti ombak yang terus bergerak. Kunci utamanya adalah adaptasi dengan tetap memegang prinsip."
Mak Intan membuka salah satu naskah kuno. Tulisan-tulisan Arab Melayu dengan tinta yang sudah pudar memenuhi lembarnya. Ia membacakan sepenggal hikayat tentang seorang pelaut bijak yang mampu mengarungi antara badai kehidupan. "Dengar baik-baik," katanya, "Kehidupan seperti berlayar. Ada saatnya kita harus melepas layar, ada saatnya kita harus berlabuh. Kearifan terletak pada kemampuan kita membaca situasi."