Anak itu mengangguk, menyerahkan kendali drone. Siti mulai menerbangkan benda kecil itu, mengambil gambar sudut-sudut ruangan tua bersejarah. Setiap sudut ruangan Fatimah memiliki kisah tersendiri.
"Lihat," kata Mak Intan tiba-tiba, "Begitulah kita harus melihat dunia. Dari berbagai sudut, dengan perspektif yang berbeda."
Malik yang semula diam, kini angkat bicara. "Kami para pemuda sering merasa terjepit. Antara mempertahankan tradisi atau mengikuti arus modernisasi." Pak Harun tertawa pelan. Tawanya mengandung sejuta makna, sebuah tawa yang merekam berbagai perubahan zaman. "Perubahan bukan musuh, nak. Perubahan adalah kesempatan." Fatimah memperhatikan drone yang masih terbang, kemudian beralih pada kain songket yang sedang ditenunnya. "Lihat kain ini," ujarnya, "Setiap helai benang memiliki cerita. Ada yang berwarna merah melambangkan keberanian, hijau menandakan kedamaian, kuning melukiskan kebijaksanaan."
Rifki memandang kagum. Ia belum pernah melihat proses menenun sedekat ini. Mata sipitnya mengikuti gerakan jari-jari Fatimah yang gesit meskipun sudah tua.
"Nenek," tanyanya polos, "Mengapa tidak pakai mesin saja untuk menenun?"
Tawa ringan menyelimuti ruangan. Kapten Yahya yang menjawab, "Mesin bisa membuat kain, nak. Tapi tidak bisa membuat jiwa."
Siti Aminah mencatat dalam bukunya. Setiap percakapan terasa seperti potongan mozaik sejarah yang belum lengkap. Di luar, matahari mulai condong, menciptakan bayangan panjang di beranda rumah tua itu. Adi, yang sedari tadi diam, kini ikut berbicara. "Kami para pemuda ingin tahu rahasia ketahanan budaya kita."
Fatimah tersenyum, senyum yang mengandung sejuta makna. "Rahasia ketahanan," katanya perlahan, "bukan terletak pada kemampuan bertahan, melainkan kemampuan beradaptasi sambil tetap mempertahankan jati diri." Drone masih terbang, merekam setiap detail ruangan bersejarah itu. Seolah-olah hendak mendokumentasikan momen yang tak terulang ini. Sebuah pertemuan antara masa lalu, masa kini, dan barangkali secercah bayangan masa depan.
Tepat pada saat itu, terdengar suara sepeda motor mendekat. Seorang pengacara muda bernama Hendri turun dari kendaraannya, membawa sebuah map coklat yang terlihat resmi. Wajahnya tegang, berbeda dengan suasana damai di rumah Fatimah.
"Ada masalah apa, Hendri?" tanya Pak Harun yang pertama kali menyadari ketegangan pada diri pemuda itu.
Hendri membuka mapnya, mengeluarkan beberapa dokumen. "Ini soal status tanah Pulau Penyengat," ujarnya tegas. "Sebuah perusahaan properti dari Singapura hendak mengembangkan kawasan ini menjadi resort mewah." Suasana mendadak berubah. Malik yang semula tersenyum kini mengkerutkan dahinya. Kapten Yahya berdiri, mendekat untuk melihat dokumen.