"Lihat!" teriaknya, "Ini bukan sekadar tanah!"
Rekaman drone memperlihatkan jejak-jejak sejarah: makam para sultan, bangunan bersejarah, jalur pelayaran tua. Setiap frame adalah saksi bisu peradaban. Richard terdiam. Untuk pertama kalinya, ia tampak goyah. Kapten Yahya mendekati Richard, suaranya rendah namun penuh wibawa. "Anda bisa membeli tanah, tapi anda tidak bisa membeli jiwa!"
Matahari hampir terbenam. Pulau Penyengat seolah-olah menahan napas, menunggu keputusan yang akan mengubah nasibnya. Konflik mencapai titik didih. Antara uang, sejarah, dan masa depan yang tak pasti. Suasana semakin tegang ketika Richard mulai membuka dokumen-dokumennya. Di hadapan para tetua dan warga, ia membentangkan rancangan megah resort yang akan dibangun.
"Lihat ini," ujarnya dengan nada angkuh, "Lima hotel berbintang lima, casino, taman hiburan air, dan pelabuhan yacht pribadi. Pulau ini akan menjadi destinasi wisata kelas dunia!"
Fatimah bangkit perlahan dari kursinya. Tangannya yang keriput menggenggam erat kain songket yang belum selesai ditenunnya. "Tuan Richard," suaranya lembut namun tegas, "Anda mungkin bisa membangun seribu hotel, tapi tidak akan pernah bisa membangun satu kenangan."
Malik berdiri di samping Kapten Yahya. Keduanya membentuk barisan pertahanan simbolis. "Kami para nelayan sudah berabad-abad hidup dari laut ini. Anda akan merusak ekosistem dengan pembangunan pelabuhan yacht itu!" Siti Aminah dengan cepat mencatat setiap detail perdebatan. Tangannya gemetar, menyadari bahwa ia mungkin sedang mencatat momen-momen terakhir sebuah peradaban. "Kalian tidak mengerti!" Richard mulai kehilangan kesabaran. "Ini kesempatan emas! Kalian bisa bekerja di resort kami, mendapatkan gaji tetap, tidak perlu bergantung pada hasil laut yang tidak pasti!"
Pak Harun, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Anak muda," katanya dengan suara berat, "Uang memang bisa membeli tanah, tapi tidak bisa membeli martabat." Hendri, sang pengacara muda, tiba-tiba menemukan sesuatu dalam tumpukan dokumen lamanya. Sebuah surat keputusan Sultan yang belum pernah dipublikasikan.
"Tunggu!" teriaknya, "Surat ini... surat ini menyatakan bahwa Pulau Penyengat adalah tanah wakaf! Tidak bisa diperjualbelikan!"
Mak Intan bergegas mengambil surat itu, membacanya dengan teliti. Air mata mengalir di pipinya. "Benar! Ini tulisan tangan Sultan sendiri!" Richard tampak terguncang. Dokumen yang tidak pernah ia perhitungkan sebelumnya. Rifki, yang masih memegang kendali dronenya, terbang rendah mengelilingi ruangan. Seolah-olah ikut merayakan penemuan penting ini.
"Tapi... tapi..." Richard tergagap, "Kami sudah mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk proyek ini!"
Fatimah tersenyum bijak. "Terkadang kehilangan uang lebih baik daripada kehilangan warisan budaya, Tuan Richard." Kapten Yahya menambahkan, "Pulau ini adalah saksi hidup kejayaan Melayu. Biarkan ia tetap menjadi lentera pengetahuan, bukan sekadar tempat hiburan."