"Teknologi," katanya dengan bijak, "adalah alat. Bukan tujuan. Kita harus pandai menggunakannya, bukan dikuasai olehnya."
Adi yang sedari tadi memperhatikan, bertanya, "Bagaimana caranya kami bisa menyeimbangkan antara tradisi dan modernitas?"
Fatimah tersenyum, "Dengarlah baik-baik. Pohon yang kuat bukan yang tidak bergoyang, melainkan memiliki akar di dalam."
Angin siang menandakan, membawakan aroma garam dan kenangan. Daun-daun pinang bergoyang, seolah-olah ikut berbicara. Diam, ombak memecah di bibir pantai, menandakan perjalanan yang tak pernah berhenti. Seorang anak kecil berlari masuk. Ia membawa sebuah benda aneh - sebuah drone kecil yang baru saja dibelinya. Kontras dengan suasana tua di ruangan itu. Semua mata tertuju padanya.
"Lihat ini!" seru anak itu dengan semangat.
Kapten Yahya tertawa, "Inilah generasi baru. Mereka datang dengan teknologi baru, namun kita harus memastikan mereka tidak kehilangan jiwa."
Drone kecil milik sang anak terbang rendah di ruangan, menimbulkan bunyi denging halus yang menciptakan ketegangan di antara para tetua dan anak muda. Fatimah mengangkat tangannya dengan gerakan lembut, memberi isyarat agar anak tersebut mendekat.
"Siapa namamu, anak muda?" tanyanya.
"Rifki," jawab anak itu, sedikit gugup di hadapan para tetua.
Kapten Yahya mengamati drone dengan teliti. Jarinya yang kasar karena bertahun-tahun memegang kemudi kapal menyentuh benda mungil itu dengan hati-hati. "Teknologi canggih," gumamnya, "Namun masih kalah dengan mata manusia yang tajam."
Siti Aminah tertarik. "Bolehkah kupinjam sebentar?" tanyanya kepada Rifki.