"Suatu saat," lanjut Fatimah, matanya berkelap-kelip seperti cahaya senja, "kalian akan mengerti bahwa menjadi Melayu bukan sekadar keturunan, bukan pula sekadar tinggal di wilayah tertentu. Menjadi Melayu adalah sikap, cara pandang, dan cara hidup..."
Udara senja mulai menyelimuti Pulau Penyengat. Malam mulai turun, dan lampu-lampu tua di rumah panggung Fatimah mulai menyala. Cahaya temaram menerpa wajah-wajah muda yang masih mendengarkan kisahnya. Di luar, suara ombak dan gemerisik daun nibung berpadu menciptakan musik alam yang mempesona.
Tiba-tiba, seorang perempuan paruh baya mendekati rombongan itu. Ia adalah Mak Intan, seorang penjaga perpustakaan kecil di pulau. Wajahnya menampakkan rasa hormat kepada Fatimah, seolah-olah ia datang membawa sebuah pesan penting. "Izinkan saya berbagi sesuatu," ujar Mak Intan sambil meletakkan sebuah kitab tua di hadapan mereka. Sampul kitab itu sudah usang, namun masih terjaga dengan baik. Fatimah tersenyum, mengenali kitab warisan nenek moyangnya.
Ini adalah kitab 'Taj us-Salatin' atau Mahkota Raja-Raja, kata Fatimah, Sebuah karya agung yang ditulis pada masa kejayaan Kesultanan Melayu. Bukan sekadar catatan sejarah, tetapi pedoman hidup yang mencakup filosofi pemerintahan, etika, dan kebijaksanaan. "
Adi mengamati kitab tua itu dengan penuh minat. Jarinya hampir menyentuh penutup, namun ia ragu. Fatimah menangkap refleksi itu, "Sentuh saja, nak. Ilmu tidak akan punah dengan sentuhan, melainkan akan semakin hidup." Mak Intan mulai bercerita tentang bagaimana para ulama dan cendekiawan Melayu dulu tidak sekadar menyimpan ilmu, tetapi menyebarkannya. Mereka berkelana dari satu pulau ke pulau lain, dari satu istana ke istana lainnya, membawa cahaya pengetahuan.
"Lihat peta ini," ujar Mak Intan sambil membuka salah satu halaman kitab tua itu. Sebuah peta kuno Nusantara tergambar dengan detail. Garis-garis perdagangan, jalur pelayaran, dan titik-titik pertemuan kebudayaan terukir dengan indah. Fatimah melanjutkan, "Leluhur kita adalah para pelaut sejati. Mereka tidak takut bersentuhan dengan budaya asing. Justru dalam pertemuan itulah mereka memperkaya diri, tanpa kehilangan jati diri."
Angin malam semakin kencang. Daun-daun pinang bergoyang, seolah-olah berbisik ikut menyampaikan cerita. Para pemuda teringat, tenggelam dalam lamunan tentang kejayaan masa lalu dan tantangan masa depan. "Tahukah kalian," kata Fatimah tiba-tiba, "bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada kemampuan mengalahkan, melainkan pada kemampuan memahami? Inilah yang selalu diajarkan dalam budaya Melayu. Kita bukan penakluk, kita adalah penengah."
Reza, salah seorang pemuda, bertanya, "Bagaimana caranya kita mempertahankan semangat itu di era yang serba cepat dan berubah ini?" Fatimah tersenyum, "Bukan dengan menolak perubahan, tapi dengan menjadikan perubahan itu bagian dari proses kita. Seperti udara yang mengalir, kita harus luwes namun tetap memiliki arah..."
Cahaya bulan mulai menembus jendela rumah panggung. Bayangan para pemuda dan para tetua mencair bersama bayangan masa lalu dan bayangan masa depan. Malam semakin dalam, namun api semangat di mata para pemuda masih bernyala. Tiba-tiba, terdengar suara derap langkah kaki. Seorang lelaki tua dengan tongkat rotan melintasi beranda rumah Fatimah. Namanya Pak Harun, seorang penyimpan sejarah tersembunyi Pulau Penyengat. "Ada yang hilang dalam percakapan kalian," ujar Pak Harun dengan suara serak, "Kisah tentang ketahanan dan kebangkitan."
Fatimah tersenyum, memberi isyarat agar Pak Harun setuju. Lelaki tua itu duduk di antara rombongan pemuda, matanya yang sayu seolah menyimpan ribuan kenangan. "Tahukah kalian," mulai Pak Harun, "bahwa Pulau Penyengat pernah hampir lenyap dari peta sejarah? Pada masa penjajahan, ketika segala sesuatu dirampas, kami tidak memilih melawan dengan kekerasan, tetapi dengan kearifan." Adi dan kawan-kawan saling berpandangan. Cerita Pak Harun terasa berbeda dari kisah-kisah perlawanan yang biasa mereka dengar. "Kami mendirikan pesantren, mengumpulkan para cendekiawan. Kami yakin bahwa ilmu pengetahuan adalah senjata sejati. Bukan peluru atau pedang, melainkan pemikiran yang mencerdaskan," lanjutnya.
Mak Intan mengeluarkan sebuah album foto usang. Gambar-gambar hitam putih ditampilkan para ulama, sultan, dan masyarakat Pulau Penyengat pada masa lampau. Setiap wajah menyimpan kisah ketangguhan.