Matahari mulai naik, menyinari Pulau Penyengat. Di persinggahan, beberapa perahu mulai bergerak, mendayung menuju laut lepas. Sebuah metafora kehidupan yang tak pernah berhenti bergerak. Fatimah memandang jauh ke laut, seolah-olah melihat masa depan yang tak terduga. Cerita terus mengalir, membawa kita pada perjalanan panjang peradaban Melayu yang tak kenal lelah. Hari semakin siang, dan suasana di rumah Fatimah mulai berubah. Seorang perempuan muda berkebaya ungu memasuki sebuah ruangan. Namanya Siti Aminah, seorang antropolog muda yang sedang melakukan penelitian tentang budaya Melayu.
"Maaf kedatanganku yang tiba-tiba," sambil memberi salam hormat kepada para tetua.
Fatimah tersenyum, "Datanglah, nak. Ilmu adalah tamu yang selalu disambut."
Siti Aminah membuka tas ranselnya, mengeluarkan beberapa catatan dan rekaman wawancara. "Saya sedang mengumpulkan kisah-kisah yang hampir terlupakan tentang Pulau Penyengat," jelasnya. Malik yang masih berada di ruangan itu bertanya, "Apa yang membuatmu begitu tertarik dengan pulau kecil ini?"
"Karena di dalamnya jantung peradaban Melayu berdetak," jawab Siti dengan semangat. "Pulau ini bukan sekadar tanah dan batu, melainkan perpustakaan hidup yang menyimpan ribuan cerita."
Pak Harun mengangguk, "Betul kata anak muda ini. Setiap batu, setiap sudut pulau ini menyimpan kenangan."
Tiba-tiba, terdengar bunyi azan dari masjid tua di dekat rumah Fatimah. Suara yang merdu mengalun, mengingatkan mereka akan dimensi spiritual yang selalu melekat dalam budaya Melayu. Mak Intan membuka album foto lama. "Lihat ini," katanya sambil menunjukkan foto-foto lama, "Inilah jejak peradaban kita. Para ulama, sultan, hingga rakyat biasa, mereka semua adalah penulis sejarah." Siti Aminah mencatat dengan cermat setiap cerita yang mengalir. Ia memahami bahwa apa yang sedang dia saksikan bukan sekadar percakapan, melainkan proses regenerasi pengetahuan. "Bagaimana caranya kami bisa menjaga warisan ini?" tanya Adi, pertanyaan yang sama yang selalu mengganjal pikiran.
Fatimah menatap jauh ke luar jendela. Pandangannya menerawang, seolah-olah melihat masa depan yang tak kasat mata. "Warisan bukan sekedar benda yang diwariskan," jawabnya perlahan, "Warisan adalah api yang harus terus dinyalakan."
Angin siang mulai meniupkan, membawakan aroma garam dan kenangan. Daun-daun pinang bergoyang, seolah-olah berbisik ikut menyampaikan rahasia sejarah yang tak terucap. Malik memandang ke arah laut. Di perbincangan, beberapa perahu nelayan tradisional bergoyang di atas ombak. Sebuah pemandangan yang sudah ratusan tahun tidak berubah, namun selalu memiliki cerita baru.
"Kita adalah penerus," ujar Pak Harun, "Bukan penjaga museum, melainkan pembawa api peradaban."
Siti Aminah tersenyum. Dalam catatan digitalnya, ia mencatat setiap detail percakapan. Teknologi modern bertemu dengan kisah tradisional, menciptakan jembatan antara masa lalu dan masa depan. Matahari terus bergerak, bayangan mulai bergeser. Siang itu, sebuah perahu tradisional merapat di dermaga pulau. Dari perahu itu turunlah seorang lelaki paruh baya berpakaian sederhana. Wajahnya terbakar matahari, menandakan puluhan tahun mengabdikan diri di lautan. Namanya Kapten Yahya, seorang nahkoda yang sudah berkelana di seluruh perairan Nusantara.