Mohon tunggu...
Hallo SobatKampus
Hallo SobatKampus Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Hallo semangat yaa!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Benang -Benang Waktu Dalam Ombak Yang Berbisik

26 Desember 2024   00:21 Diperbarui: 26 Desember 2024   00:21 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Mereka mengklaim sebagian wilayah pulau ini sebagai tanah tidak bertuan," lanjut Hendri, "Dokumen historis yang kami miliki terancam tidak cukup kuat untuk membantah klaim mereka."

Fatimah tetap tenang. Ia meletakkan alat tenunnya perlahan, menatap Hendri dengan mata yang masih tajam meski sudah tua. "Tanah ini bukan sekadar sebidang lahan," ujarnya, "Ini adalah nyawa peradaban kami." Siti Aminah mulai gelisah. Penelitiannya tentang budaya Melayu kini terancam. Drone milik Rifki seolah-olah ikut merekam ketegangan yang terjadi.

"Berapa luas lahan yang mereka klaim?" tanya Kapten Yahya.

"Hampir 60% wilayah pulau," jawab Hendri, "Termasuk area bersejarah tempat berdirinya kompleks Sultan dahulu."

Mak Intan mengeluarkan beberapa dokumen tua dari sebuah peti tersembunyi. "Ini surat-surat Sultan Lingga," ujarnya, "Bukti kepemilikan yang sudah berusia ratusan tahun." Konflik mulai terlihat jelas. Di satu sisi, perusahaan asing dengan modal besar dan dokumen modern, di sisi lain para penjaga sejarah dengan bukti-bukti warisan turun-temurun.

Adi yang semula diam kini angkat bicara, "Kita tidak bisa membiarkan sejarah kami dijual begitu saja!"

Rifki, sang anak kecil, malah bertanya polos, "Memangnya kenapa kalau pulau ini diubah jadi tempat wisata?"

Fatimah tersenyum getir. "Bukan sekadar soal tanah, cucu," jawabnya, "Ini soal identitas. Setiap batu, setiap sudut pulau ini menyimpan kenangan peradaban."

Hendri mengeluarkan selembar surat perjanjian. "Mereka sudah menyiapkan ganti rugi yang cukup besar. Beberapa tokoh masyarakat sudah ada yang setuju." Kapten Yahya mendengus, "Uang bukan segala-galanya. Ada hal yang lebih berharga dari sekadar uang."

Malik memandang ke arah laut. Di kejauhan, beberapa perahu nelayan tradisional bergoyang. Seolah-olah ikut merasakan pergolakan yang terjadi.

"Kita harus melawan," bisik Pak Harun, "Bukan dengan kekerasan, tapi dengan kearifan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun