"Mereka mengklaim sebagian wilayah pulau ini sebagai tanah tidak bertuan," lanjut Hendri, "Dokumen historis yang kami miliki terancam tidak cukup kuat untuk membantah klaim mereka."
Fatimah tetap tenang. Ia meletakkan alat tenunnya perlahan, menatap Hendri dengan mata yang masih tajam meski sudah tua. "Tanah ini bukan sekadar sebidang lahan," ujarnya, "Ini adalah nyawa peradaban kami." Siti Aminah mulai gelisah. Penelitiannya tentang budaya Melayu kini terancam. Drone milik Rifki seolah-olah ikut merekam ketegangan yang terjadi.
"Berapa luas lahan yang mereka klaim?" tanya Kapten Yahya.
"Hampir 60% wilayah pulau," jawab Hendri, "Termasuk area bersejarah tempat berdirinya kompleks Sultan dahulu."
Mak Intan mengeluarkan beberapa dokumen tua dari sebuah peti tersembunyi. "Ini surat-surat Sultan Lingga," ujarnya, "Bukti kepemilikan yang sudah berusia ratusan tahun." Konflik mulai terlihat jelas. Di satu sisi, perusahaan asing dengan modal besar dan dokumen modern, di sisi lain para penjaga sejarah dengan bukti-bukti warisan turun-temurun.
Adi yang semula diam kini angkat bicara, "Kita tidak bisa membiarkan sejarah kami dijual begitu saja!"
Rifki, sang anak kecil, malah bertanya polos, "Memangnya kenapa kalau pulau ini diubah jadi tempat wisata?"
Fatimah tersenyum getir. "Bukan sekadar soal tanah, cucu," jawabnya, "Ini soal identitas. Setiap batu, setiap sudut pulau ini menyimpan kenangan peradaban."
Hendri mengeluarkan selembar surat perjanjian. "Mereka sudah menyiapkan ganti rugi yang cukup besar. Beberapa tokoh masyarakat sudah ada yang setuju." Kapten Yahya mendengus, "Uang bukan segala-galanya. Ada hal yang lebih berharga dari sekadar uang."
Malik memandang ke arah laut. Di kejauhan, beberapa perahu nelayan tradisional bergoyang. Seolah-olah ikut merasakan pergolakan yang terjadi.
"Kita harus melawan," bisik Pak Harun, "Bukan dengan kekerasan, tapi dengan kearifan."