Senja mulai turun di Pulau Penyengat. Bayang-bayang panjang menari di dinding-dinding tua rumah Fatimah. Pertarungan antara nilai tradisi dan godaan modernitas masih berlanjut. Richard masih berdiri terpaku. Dokumen-dokumen yang tadinya ia pegang dengan penuh percaya diri kini berserakan di lantai. Surat wakaf yang ditemukan Hendri telah mengubah segalanya.
"Kalian tidak mengerti," suaranya melemah, "Proyek ini... proyek ini adalah impian saya sejak lama. Membuat Pulau Penyengat dikenal dunia."
Fatimah bangkit dari kursinya, berjalan perlahan mendekati Richard. Tangannya yang keriput menyentuh bahu pria muda itu dengan lembut. "Nak," katanya, "Pulau ini sudah dikenal dunia sejak berabad-abad lalu. Bukan karena gedung-gedung megahnya, tapi karena nilai-nilai yang dijaganya." Siti Aminah mengeluarkan hasil penelitiannya. "Lihat ini, Tuan Richard. Catatan-catatan sejarah menunjukkan bahwa Pulau Penyengat adalah pusat pembelajaran Islam dan budaya Melayu. Para ulama dan cendekiawan dari berbagai penjuru datang kemari untuk menimba ilmu." Malik menambahkan, "Dan kami para nelayan, adalah penjaga tradisi pelayaran yang sudah turun-temurun. Kami mengenal setiap jengkal perairan ini, setiap perubahan angin, setiap gerak ombak."
Richard terduduk di kursi. Untuk pertama kalinya, topeng angkuhnya runtuh. "Saya... saya sebenarnya juga keturunan Melayu. Nenek saya berasal dari pulau ini," pengakuannya mengejutkan semua yang hadir. Pak Harun tersenyum bijak. "Mungkin inilah saatnya kau kembali ke akar, anak muda. Bukan untuk menghancurkan, tapi untuk membangun dengan cara yang berbeda."
"Maksud Pak Harun?" tanya Richard. "Kita bisa memajukan pulau ini tanpa menghilangkan nilai-nilainya," jawab Pak Harun. "Bangun homestay tradisional alih-alih hotel mewah. Kembangkan wisata budaya alih-alih kasino. Biarkan wisatawan belajar cara menenun, cara berlayar tradisional, cara membuat perahu."
Hendri mengangguk setuju. "Saya bisa membantu menyusun proposal baru. Konsep pembangunan berkelanjutan yang menghormati warisan budaya."
Mak Intan mengambil kitab tua dari raknya. "Di dalam kitab ini tertulis, 'Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah'. Segala pembangunan harus berlandaskan nilai-nilai luhur." Richard termenung. Matanya berkaca-kaca. "Nenek saya dulu sering menceritakan tentang keindahan pulau ini. Tentang tradisi yang dijaga, tentang ilmu yang diwariskan." Fatimah tersenyum. "Mungkin inilah saatnya kau menebus kenangan nenekmu, nak. Bukan dengan menghancurkan, tapi dengan melestarikan."
Senja semakin turun di Pulau Penyengat. Matahari yang tenggelam menyinari Masjid Raya yang berdiri kokoh sejak ratusan tahun lalu. Azan Maghrib berkumandang, memanggil para warga untuk beribadah. Rifki menurunkan dronenya untuk terakhir kali. Rekamannya telah mengabadikan momen bersejarah ini - saat di mana tradisi dan modernitas menemukan titik temu.
"Saya akan menarik semua proposal lama," ucap Richard akhirnya. "Mari kita bangun Pulau Penyengat dengan cara yang benar."
Semua yang hadir tersenyum lega. Kapten Yahya menepuk pundak Richard. "Selamat datang kembali, anak muda. Selamat kembali ke rumah." Fatimah kembali ke kursi tenunnya. Tangannya yang keriput mulai menggerakkan alat tenun lagi. Setiap helai benang yang ditenunnya kini mengandung cerita baru - cerita tentang pertarungan antara tradisi dan modernitas yang berakhir dengan perdamaian. Siti Aminah menutup catatannya. Penelitiannya telah menemukan ending yang sempurna - kisah tentang bagaimana sebuah pulau kecil berhasil mempertahankan jati dirinya di tengah arus perubahan zaman.
Malam turun di Pulau Penyengat. Lampu-lampu tradisional menyala, menerangi jalan-jalan kecil yang berkelok. Di kejauhan, perahu-perahu nelayan mulai kembali ke dermaga, membawa hasil tangkapan dan cerita-cerita baru. Kisah Pulau Penyengat akan terus hidup, bukan sebagai resort mewah, tapi sebagai pulau warisan yang menjaga nilai-nilai luhur budaya Melayu. Sebuah bukti bahwa tradisi dan modernitas bisa berjalan beriringan, selama kita tidak melupakan akar dan jati diri. Dan Fatimah, sang penenun tua, akan terus menenun. Setiap helai benang adalah kisah, setiap motif adalah sejarah, setiap warna adalah warisan yang tak ternilai. Karena di Pulau Penyengat, tradisi tidak pernah mati - ia hanya berubah bentuk, menyesuaikan diri dengan zaman, tanpa kehilangan maknanya yang dalam.