Mohon tunggu...
Hallo SobatKampus
Hallo SobatKampus Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Hallo semangat yaa!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Benang -Benang Waktu Dalam Ombak Yang Berbisik

26 Desember 2024   00:21 Diperbarui: 26 Desember 2024   00:21 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ada angin apa kau datang siang-siang begini, Yahya?" tanya Fatimah sambil menyiapkan secangkir teh hangat.

Kapten Yahya tersenyum, menampilkan deretan gigi yang sudah menguning. "Ada cerita yang ingin kusampaikan," jawabnya singkat.

Siti Aminah segera mengeluarkan alat perekamnya. Setiap kata dari seorang pelaut tua membawakan mutiara yang nyaris hilang.

"Aku baru saja berlayar dari Singapura," mulai Yahya, "Melihat betapa pesatnya perubahan. Gedung-gedung tinggi, kapal-kapal kontainer, teknologi yang membuat dunia terasa menciut."

Malik yang sedari tadi diam, bertanya, "Lalu apa yang kau pikirkan, Kapten?"

Yahya mengeluarkan sebuah peta tua dari dalam tasnya. Peta itu lancar, spesifik, namun masih dapat dibaca dengan jelas. Garis-garis pelayaran tergambar rumit, menghubungkan pulau satu dengan pulau lainnya.

"Lihat peta ini," katanya, "Leluhur kita bukan sekadar nelayan. Mereka adalah diplomat sejati, navigator ulung, pembawa peradaban."

Pak Harun mengangguk, "Benar kata Yahya. Orang Melayu dulu tidak mencapai batas wilayah seperti sekarang. Mereka berlayar membawa dagangan, ilmu pengetahuan, dan budaya."

Mak Intan mengambil sebuah buku kuno dari rak. Sampulnya sudah usang, namun masih dapat dibaca judulnya: "Hikayat Pelayaran".

"Tahukah kalian," ujar Mak Intan, "bahwa para pedagang Melayu dulu mampu berbicara beberapa bahasa? Mereka tidak sekedar berdagang, tetapi membangun jembatan peradaban."

Siti Aminah mencatat dengan cepat. Setiap kata terasa berharga bagaikan sebiji mutiara dari dasar laut. Kapten Yahya melanjutkan ceritanya. Ia menceritakan tentang perjalanannya melintasi Selat Malaka, melihat betapa kompleksnya perubahan. Kapal-kapal modern berlomba-lomba, namun kehilangan sentuhan kemanusiaan yang dimiliki perahu-perahu tradisional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun