Aku menghindar saat dia mau mengecup pipiku. Bukan aku tak mau. Sudah kukatakan di awal cerita bahwa aku merasa risih dengan laki-laki yang masih terasa asing bagiku. Mendapat perlakuan dariku seperti itu, dia tak marah padaku. Baik sekali, pikirku.
“Kau mau ke mana?” tanyanya heran.
“Aku mau ke luar sebentar. Ingin menghirup udara segar.”
“Sarapan dulu?”
“Nanti saja. Aku belum lapar.”
“Oh baiklah. Aku antar.”
“Tidak. Tidak usah” aku menolak.
“Maksudku, saat ini aku hanya ingin sendiri.”
“Oh begitu. Baiklah. Kalau ada apa-apa, kau telepon saja, ya?”
Aku hanya mengangguk, lalu kulangkahkan kedua kakiku ke luar dari rumah ini.
Aku menapaki aspal jalanan sendirian, melewati rumah-rumah dan pepohonan hijau di samping kanan dan kiriku sepanjang aku berjalan. Suasana pagi ini masih cerah. Udaranya pun masih sejuk. Kupandang langit biru. Matahari bersinar masih hangat. Terdegar burung-burung berkicauan merdu seolah mereka semua sedang menyapaku. Semilir angin pagi lembut membelai wajahku, juga menggoyang-goyangkan dedaunan di ranting-ranting pohon. Kuhirup udara dalam-dalam, lalu kuhembuskan. Aku terus berjalan, hingga sampailah aku di sebuah taman. Aku berdiri sambil menikmati pemandangan. Telah lama tak melihat keadaan di luar setelah ke luar dari rumah sakit, lalu istirahat untuk waktu yang cukup lama di rumah, akhirnya aku bisa menghirup udara dan melihat suasana di luar. Dan saat ini, aku dapat melihat rerumputan hijau yang terhampar luas bak permadani dilengkapi bunga-bunga yang mekar di sekelilingku, juga kulihat beberapa burung pipit bertengger di atas dahan pohon, berkicau merdu.