Cerita itu telah hilang. Cerita tentang cinta kita. Saat kita memadu kasih, hingga kau pinang aku.
Aku tak ingat apa-apa. Kecelakaan itu telah mengambil ingatanku tentang cerita cinta kita.
Oh, akankah aku kembali ingat?
atau waktu dapat berbaik hati (lagi) membuatku jatuh cinta (lagi) padamu?
“Kamu siapa?” itulah pertanyaan yang keluar dari mulutku ketika aku membuka kedua mataku dan melihat seorang laki-laki yang berdiri di hadapanku saat ini.
“Aku suamimu.” Jawabnya.
Suami? Aku sudah menikah? Dengan laki-laki ini? Aku tak percaya. Aku memperhatikannya lekat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Hmm, wajahnya tak bisa kukatakan tampan. Biasa saja. Postur tubuhnya tinggi dan cenderung kurus serta warna kulit yang gelap kecoklatan. Penampilannya juga sederhana, uupss! Kalau aku boleh jujur, penampilannya norak dan nyentrik. Dia mengenakan blus berwarna hitam dan celana jins belel berwarna abu-abu. Rambutnya yang ikal ditutupi oleh topi berwarna biru. Tabrak warna. Ditambah lagi, deretan giginya dipagari behel berwarna hijau. Ya, itulah yang kulihat. Aku heran, mengapa aku bisa jatuh cinta pada laki-laki macam ini dan bagaimana prosesnya hingga kami benar-benar bisa sampai menikah. Ah! Aku tak ingat. Sebenarnya, aku curiga. Harus kuselidiki apakah benar dia adalah suamiku atau jangan-jangan, dia adalah orang jahat yang hanya ingin memanfaatkanku atau mungkin dia adalah bandar narkoba atau lebih jauh lagi mungkin dia adalah sindikat teroris! Oh! Aku telalu berlebihan rupanya! Dia – laki-laki yang mengaku suamiku itu – bernama Rio menjelaskan padaku bahwa aku mengalami kecelakaan hebat dan aku mendapat benturan yang cukup keras pada bagian kepalaku hingga membuatku gegar otak dan hilang ingatan. Aku hanya mengangguk-ngangguk saat mendengarkannya. Kondisiku yang sudah membaik setelah aku tersadar dari koma selama seminggu lamanya membuatku sudah diperbolehkan pulang ke rumah oleh suster yang merawatku. Hari ini, tepat pukul 10.00 am, aku keluar dari rumah sakit. Dan, sampailah aku di depan sebuah rumah. Rumah yang teramat asing bagiku. Asing.
Aku memandang rumah yang tegak berdiri di hadapanku saat ini untuk waktu yang cukup lama; mencoba mengingat. Perlahan, kuayunkan kedua kakiku melangkah mendekati rumah itu dengan tertatih-tatih dibantu oleh Rio. Tangan kanannya membopongku, sementara tangan kirinya menjingjing sebuah tas koper yang ukurannya lumayan besar dan berat; berisi beberapa pakaianku selama menginap di rumah sakit. Aku tak tahu ini rumah siapa. Rumah kami? Aku tak ingat. Sungguh. Aku belum bisa mengingat apa-apa; tentang kehidupanku di masa lalu, pun kisah cintaku dengan laki-laki yang tengah membantuku saat ini – Rio. Bersamanya, aku memasuki rumah ini. Rumah ini ukurannya tidak besar bahkan bisa kukatakan terlalu kecil untuk tempat tinggal sebuah keluarga yang telah memiliki anak. Untungnya saja kami belum memiliki anak. Jika kami sudah memiliki anak, pastinya kami akan pindah ke rumah yang lebih besar dari ini. Harapku demikian. Entah kapan. Kembali lagi ke rumah. Jika kugambarkan, rumah ini hanya terdiri dari tiga ruangan yang tersusun seperti gerbong kereta api; ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang atau bisa kukatakan itu adalah ruang makan dilengkapi dapur kecil. Setiap ruangan hanya dipisahkan oleh sekat berupa dinding dengan cat berwana kuning. Sebuah tempat tidur yang sangat besar terletak di ruang tengah. Tidak ada kamar! Aku cukup kaget mengenai itu. Rumah yang aneh. Aneh atau unik, entahlah. Namun, ada yang kusukai dari rumah aneh ini. Walaupun kecil, rumah ini begitu bersih dan harum semerbak bunga dari air-conditioner pengharum ruangan. Harumnya sangat menenangkanku yang baru saja keseringan menghirup bau obat-obatan di rumah sakit. Ah! Ternyata, laki-laki nyentrik ini bersih juga. Tadinya kupikir, selain nyentrik, dia juga jorok. Dugaanku meleset!
Aku menyapukan pandanganku ke setiap sudut ruangan. Aku melihat beberapa foto yang difigura terpajang di dinding dan sebagian yang lain ada yang berdiri tegak di atas sebuah meja. Seketika, pandanganku terfokus pada sebuah foto yang dibingkai dengan figura besar. Ya, itu adalah foto aku dan dia – laki-laki yang bernama Rio itu. Kami memakai baju pengantin. Di foto itu, aku terlihat tersenyum bahagia dalam dekapannya.
“Itu foto kita saat menikah. Kau sudah ingat?” ujarnya membuyarkanku
“Ah!” aku terkejut.
“Aku,” aku mencoba mengingatnya.
“Aku belum ingat apa-apa.”
“Ya sudah jangan dipaksakan. Lebih baik sekarang kau istirahat saja.” ujarnya.
“Ya.” Aku pun menurutinya. Aku memutuskan untuk istirahat di ruang tengah yang terdapat tempat tidur “raksasa” itu.
***
Waktu terus berlalu. Setiap hari, setiap jam bahkan setiap menit, kecuali jika Rio sedang bekerja, Rio berusaha memulihkan kembali ingatanku. Aku melihat dan pula dapat kurasakan Rio begitu sabar membuatku mengingat kembali masa laluku terutama mengingat cerita cinta kita. Namun, belum bisa kuingat itu semua. Aku tidak ingat bagaimana saat pertama kali aku jatuh cinta padanya, bagaimana kisah asmara kita dan bagaimana akhirnya kita bisa sampai menuju pelaminan; mengikrarkan janji setia di hadapan khalayak untuk membangun bahtera rumah tangga.
Jarum jam mengarah tepat pada angka 01.00 am. Aku masih terjaga. Telah sejam lamanya aku berjalan bolak-balik seperti setrikaan. Kemudian, lelah, aku merebahkan diriku di atas tempat tidur ber-seprei warna putih dengan motif bunga-bunga. Sendiri. Ya, sendiri. Sementara, Rio tidur di sofa, di ruang depan. Selama ingatanku belum pulih, aku memang tak ingin dia menyentuhku. Aku katakan padanya bahwa aku agak risih dengan laki-laki yang terasa asing bagiku, walaupun pada kenyataannya dia bukanlah orang asing atau dia adalah suamiku sendiri. Untungnya dia mengerti keadaanku itu.
Dalam remang-remang cahaya di ruang tengah, kupejamkan kedua mataku; mencoba untuk tidur, tetapi tetap saja aku tak bisa tidur. Jarum pada jam dinding di ruangan ini terus berdetak; tik-tok-tik-tok. Pun terdengar suara jangkrik merdu di luar saling bersahut-sahutan; krik-krik-krik. Hawa malam ini begitu dingin terasa seakan menusuk-nusuk tulang-tulang tubuhku. Aku membolak-balik tubuhku ke kanan dan ke kiri, sesekali aku terlentang dan telungkup. Aku seperti cacing kepanasan di malam hari! Aku mencoba mengingat-ngingat kehidupanku di masa lalu terutama cerita cintaku dengan Rio. Rasa penasaran dan beribu pertanyaan terus menggelayut di otakku mengenai pernikahan aku dengan Rio. Bagaimana ceritanya aku bisa menikah dengannya. Siang tadi aku membaca majalah, kebetulan di sana ada tema tentang cinta. Katanya, cinta itu indah. Kita akan merasa nyaman dan bahagia ketika bersama dengan orang yang kita cintai. Namun, aku tidak merasakannya saat bersamanya. Aku merasa biasa saja. Atau jangan-jangan, aku mengalami perjodohan paksa dari kedua orangtuaku. Menikahi laki-laki yang tidak kucintai. Ah! Kuharap tidak. Oh, ya Tuhan, meski aku belum bisa mengingat apapun mengenai kisah cintaku dengannya – saat-saat cinta itu bersemi, paling tidak aku ingin sekali merasakan cinta saat bersama dengan dirinya. Hoah! Aku menguap, pertanda itu aku mulai mengantuk. Oke, walaupun belum bisa di dunia nyata, semoga rasa itu bisa hadir di dunia mimpi. Hoah! Sekali lagi aku menguap. Dalam hitungan detik, aku terlelap bertemankan sepi dan dinginnya malam. Sepasang mata menatap dari balik sekat pemisah ruang. Ada doa dan harap dalam hatinya; semoga kau dapat mengingat kembali cerita cinta kita yang lalu.
***
Pagi ini hari minggu. Aku membuka kedua mataku setelah kudengar dentingan jam dinding berkali-kali. Pukul 07.00 tepat. Tampak semburat cahaya pagi menelusup masuk melalui ventilasi udara di ruangan ini. Aku bangun, sejenak kuregangkan otot-otot kedua tanganku, lalu menuju cermin rias yang terletak tepat di depan tempat tidur. Kupandang pantulan bayanganku sendiri. Aku dandan seadanya. Kuikat rambutku dibentuk seperti ekor kuda. Setelah dandan, aku menuju ruang depan. Kulihat Rio sedang berbaring di sofa. Kedua matanya memandang langit-langit; entah apa yang dipandangnya di atas sana. Menurutku, tak ada yang menarik selain dari pada debu-debu atap, jaring laba-laba atau seekor atau dua ekor cecak yang menjijikkan sedang berkeliaran. Tapi, tidakkah kulihat rumah ini begitu bersih, rapi dan wangi, tentunya tak ada penampakan itu semua. Mungkin, dia sedang melamun. Hanya Tuhan yang tahu. Dan aku masih berdiri di ambang sekat, memperhatikannya. Sadar sedang diperhatikan, dia melirik juga ke arahku. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi heran melihatku sudah rapi pagi ini. Dia beranjak dari sofa dan berjalan menghampiriku.
“Pagi, sayang.” Sapanya.
Aku menghindar saat dia mau mengecup pipiku. Bukan aku tak mau. Sudah kukatakan di awal cerita bahwa aku merasa risih dengan laki-laki yang masih terasa asing bagiku. Mendapat perlakuan dariku seperti itu, dia tak marah padaku. Baik sekali, pikirku.
“Kau mau ke mana?” tanyanya heran.
“Aku mau ke luar sebentar. Ingin menghirup udara segar.”
“Sarapan dulu?”
“Nanti saja. Aku belum lapar.”
“Oh baiklah. Aku antar.”
“Tidak. Tidak usah” aku menolak.
“Maksudku, saat ini aku hanya ingin sendiri.”
“Oh begitu. Baiklah. Kalau ada apa-apa, kau telepon saja, ya?”
Aku hanya mengangguk, lalu kulangkahkan kedua kakiku ke luar dari rumah ini.
Aku menapaki aspal jalanan sendirian, melewati rumah-rumah dan pepohonan hijau di samping kanan dan kiriku sepanjang aku berjalan. Suasana pagi ini masih cerah. Udaranya pun masih sejuk. Kupandang langit biru. Matahari bersinar masih hangat. Terdegar burung-burung berkicauan merdu seolah mereka semua sedang menyapaku. Semilir angin pagi lembut membelai wajahku, juga menggoyang-goyangkan dedaunan di ranting-ranting pohon. Kuhirup udara dalam-dalam, lalu kuhembuskan. Aku terus berjalan, hingga sampailah aku di sebuah taman. Aku berdiri sambil menikmati pemandangan. Telah lama tak melihat keadaan di luar setelah ke luar dari rumah sakit, lalu istirahat untuk waktu yang cukup lama di rumah, akhirnya aku bisa menghirup udara dan melihat suasana di luar. Dan saat ini, aku dapat melihat rerumputan hijau yang terhampar luas bak permadani dilengkapi bunga-bunga yang mekar di sekelilingku, juga kulihat beberapa burung pipit bertengger di atas dahan pohon, berkicau merdu.
“Hei,” sebuah tangan menyentuh pundakku.
“Nayla kan?”
Aku menoleh. Seorang laki-laki berbadan tinggi tegap atletis, berkulit putih bersih, memiliki cuping hidung yang bagus dan gaya rambut ala pemain bolly wood Syahrul Khan berdiri tepat di sampingku. Beberapa detik kuperhatikan wajahnya lekat-lekat. Aku merasa, sepertinya aku pernah sangat akrab sekali dengannya. Tapi, aku belum ingat benar siapa dia. Tak lama, dia melambaikan telapak tangannya di depan wajahku, membuatku terkejut.
“Eh,”
“Siapa ya?” jawabku sambil menyembunyikan gugup yang kurasa.
“Hah?” dia terlihat kaget.
“Kau nggak mengenaliku?” tanyanya memastikan.
“Sepertinya, aku mengenalmu. Tapi,”
Dia menunggu jawabanku selanjutnya.
“Tapi maaf, aku hanya sedikit lupa,”
“Lupa-lupa ingat,”
“Ya, mungkin begitu.”
Laki-laki itu tertawa seolah ada yang lucu.
“Kau pasti bercanda!” terkanya.
“Bagaimana mungkin kau bisa melupakan seseorang yang pernah teramat spesial dalam hidupmu?”
“Spesial?”
“Ahahaa, aku yang hanya bercanda.”
“Oh, kupikir kamu serius. Jadi, kamu siapa?”
“Kau serius tak mengenaliku?”
“Aku Dika, ma..”
“Maksudku temanmu waktu SMA.”
“Di-ka?” aku mengulang namanya.
“Iya! Sudah ingat?”
“Maaf.” aku menggeleng
“Ya sudahlah lupakan.”
“Jadi, aku ingin tahu, bagaimana kau bisa lupa dengan temanmu ini?”
“Semua,”
“Karena kecelakaan itu.”
“Kecelakaan? Maksudmu?”
“Aku baru saja mengalami kecelakaan dan aku belum bisa ingat orang-orang yang kenal denganku.”
“Oh.”
“Bagaimana ceritanya kau bisa mengalami kecelakaan?”
Aku menceritakan semua yang telah diceritakan oleh Rio. Aku mencoba mengulang kata-kata Rio, tapi dimodifikasi dengan kata-kataku sendiri. Dika manggut-manggut mendengarkanku.
“Oh, begitu ceritanya.”
Aku mengangguk.
“By the way, dari tadi aku nggak melihat suamimu,”
“Mana?” tanyanya sambil celingak-celinguk ke kanan, ke kiri, ke depan dan ke belakang seperti pencuri yang takut ketahuan barang curiannya.
“Dia di rumah.”
“Oh, dia nggak mengantar? Dia mengijinkanmu ke luar sendirian?”
“Tadinya dia mau antar, tapi aku menolak.”
“Tak apa. Lagi pula aku ke luar juga tak terlalu jauh dari rumah.”
“Mm, oke.”
“Well, Nayla, boleh aku meminta nomor hape-mu?”
Aku menjadi kikuk. Namun, entah mengapa perasaanku berbunga-bunga saat dia meminta nomor hape-ku. Senang sekali berjuta rasanya.
“Jangan salah paham! Aku hanya sekadar ingin menjalin tali silaturahmi saja.”
Aku memberi tahu nomorku padanya. Setengah jam lamanya, aku dan Dika mengobrol dengan sangat asyik. Aku tak henti tertawa lepas saat mendengarkan cerita-ceritanya terutama cerita-cerita masa-masa SMA. Sepintas di hatiku; ada perasaan nyaman dengannya.
Di-ka. Sepanjang perjalanan pulang, nama itu masih terngiang-ngiang dalam pikiranku. Aku belum ingat benar siapa dia, tapi aku merasa seakan laki-laki itu pernah mengisi lembaran hidupku yang lalu. Seketika teringat kembali kata-kata yang Dika ucapkan: “... seseorang yang pernah teramat spesial dalam hidupmu?”
Dalam hidupku? Aku bertanya-tanya dalam hati. Tanpa sadar, tersungging seulas senyuman kecil di wajahku.
***
Jarum jam terus berputar. Hari berganti hari. Kehidupanku di rumah bersama Rio masih tetap sama; flat. Walaupun Rio berusaha sekuat harapannya memulihkan ingatanku, tapi aku masih belum bisa mengingat. Sementara, di sisi lain, Dika sering mengirim pesan ke nomor hape-ku, baik itu hanya sekadar menanyakan sedang apa, sudah makan belum dan tak jarang juga dia mengajakku ketemuan. Aku tak pernah menolak. Biasanya kami hanya mengobrol di taman, tempat kami waktu itu bertemu. Sama seperti Rio, Dika juga mencoba membantuku memulihkan ingatanku. Dia membantu mengingatkanku tentang kisah kita. Bukan! Bukan kisah aku dengan Rio! Tapi, kisah aku dengan dirinya. Kisah kita di masa SMA. Dan suatu hari, saat aku sedang bersama Dika, menikmati ice cream di taman, seketika muncul kilasan momentum seperti ini yang pernah hadir di masa laluku dan kembali teringat di dalam otakku. Kemudian kilasan-kilasan kejadian lain di masa laluku berkelebatan, kejadian-kejadian pendek yang indah dan manis bersama Dika – bak rekaman-rekaman video pendek yang diputar dalam otakku. Dan, aku sekarang ingat, ternyata, Dika adalah .....
Mantan pacarku sewaktu aku duduk di bangku SMA!
Pantas, mengapa selama ini, setiap bersama dengannya aku merasa bahagia dan nyaman. Tunggu! Yang aku tidak mengerti, lalu mengapa kita bisa putus, dan mengapa aku malah menikahnya dengan Rio, bukan dengan Dika? Tidakkah seharusnya aku menikah dengan Dika?
“Kau sudah ingat, ya?”
“Ya, ternyata, kamu itu mantan pacarku?”
“Ya! Benar sekali.”
“Tapi, aku tidak mengerti mengapa aku malah menikah dengan Rio? Mengapa tidak denganmu?”
“Sudahlah jangan pikirkan itu.”
“Aku hanya ingin katakan padamu bahwa,”
“Rasa itu masih ada.”
“Maksudmu?”
“Kau tak mengerti?”
“Aku,”
“Masih,”
“Mencintaimu.”
Aku melongo. Sejujurnya, aku bahagia, namun aku juga bingung mau jawab apa, semuanya seakan bercampur aduk dalam jiwaku.
“Ya, aku tahu kau sudah menikah,”
“Aku hanya ingin berkata jujur saja dan ingin kau tahu apa yang ada di dalam hatiku saat ini.”
Aku menelan ludahku. Aku masih terpaku.
“Ya sudahlah, lupakan saja. Anggap saja aku tak pernah mengatakan itu.”
“Sebenarnya,”
“Aku juga,”
“Kau juga masih mencintaiku?” Dika memotong kalimatku
“Bagaimana kalau kita jadian?” Dika langsung tembak
“Backstreet saja?” usulnya.
Entah setan apa yang telah merajaiku. Aku mengiyakan tawarannya. Dan mulai hari ini kami resmi jadi sepasang kekasih (lagi).
***
Sudah sebulan lamanya, aku sering ketemuan dan jalan-jalan dengan Dika tanpa sepengetahuan Rio. Kami biasanya bertemu saat Rio sedang pergi kerja. Sebenarnya, ada perasaan tak enak di dalam hatiku. Di saat Rio masih berusaha membantuku memulihkan kembali ingatanku; mengenai cerita cinta kita, eh aku malah jalan sama laki-laki lain yang tak lain dan tak bukan adalah mantan pacarku sewaktu SMA. Ya, bisa dikatakan bahwa aku selingkuh di belakang laki-laki yang pada kenyataannya dia adalah suamiku. Oh! Dosakah aku?
Waktu terus terlewati. Namun, sudah seminggu belakangan ini, tidak ada sms dari Dika, panggilan telepon darinya juga tidak. Tidak ada kabar. Hape-ku sunyi. Aku tunggu-tunggu. Setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik, kulirik layar hape-ku; berharap ada pesan masuk atau sekadar miss call dari Dika. Tapi, yang kulihat hanya walpaper tokoh kartun Mickey Mouse dan waktu yang menunjukkan pukul sekian pada layar hape-ku.
“Ada apa sih? Dari tadi kau melirik hape-mu terus?” tanya Rio.
“Ah, tidak apa-apa.” Ujarku.
Rio terdiam. Hening sesaat.
“Eh, tahu tidak dulu kau suka sekali ...” Tak lama Rio memecah hening.
Sepertinya lagi-lagi dia berusaha memulihkan ingatanku. Rio berceloteh terus, menceritakan ini, itu dan bla-bla-bla. Namun, aku tak mendengarkannya. Aku malah memikirkan: Dika. Dalam hati, aku bertanya-tanya mengapa Dika tidak sms aku seminggu belakangan ini, bahkan aku sms dia pun tak dibalas. Ada apa?
“Hei,”
“Hei, kau dengar aku tidak?”
“Ah! Maaf.”
“Kenapa sih?” tanyanya.
“Tidak apa-apa. Maaf.”
“Mm, aku mau ke luar, boleh?”
“Mau ke mana?”
“Mau,”
“Ke teman.”
“Teman? Siapa? Teman lama? Kalau teman lama, berarti kemungkinan aku mengenalnya? Atau, teman baru?”
“Mengapa kau tidak pernah cerita?”
“Teman lama.”
“Bolehkah aku mengunjunginya?” aku meminta ijin Rio.
“Aku antar, ya?”
“Tidak perlu. Ada urusan pribadi aku dengannya”
“Perempuan atau laki-laki?” tanya Rio dengan tatapan matanya seperti curiga.
“Laki-laki. Jangan salah paham. Dia bukan siapa-siapa” elakku
“Tidak. Ya sudah, aku ijinkan.” Ujar Rio.
“Hmm, kalau kau ada apa-apa, telepon aku, ya?” lanjutnya.
“Ya. terima kasih.”
Aku ke luar dari rumah. Di luar, cuaca panas menyengat. Matahari bersinar terik, membuatku tak henti-henti meneteskan bulir keringat di tubuhku. Kepalaku menunduk ke bawah dan kedua mataku menatap aspal jalanan seolah aku sedang menghitung derap langkahku. Akanke manakah aku? Ke taman? Tidak. Dika tidak akan mungkin ada di sana panas-panas seperti ini. Lagi pula kalau ke taman, dia pasti mengajakku, tidak mungkin pergi sendirian. Lalu, akan ke manakah tujuanku berjalan? Oh, aku tahu! Aku akan ke kosannya Dika saja. Aku pernah diajak main ke kosan Dika. Aku hafal benar jalan menuju ke sana dan itu hanya membutuhkan waktu 10 menit dari taman.
Aku berjalan terus mengikuti arah yang kuingat menuju kosan Dika. Tak lama, sampailah aku di depan sebuah rumah susun bertingkat dengan cat berwarna abu-abu. Kamar kosan Dika terletak di lantai dasar, di paling ujung koridor rumah itu. Aku masuk ke dalam dan menyusuri koridor, melewati kamar demi kamar kosan. Dan, sampailah aku di ujung koridor tepatnya di depan pintu kamar kosan Dika. Pintu kamar yang bercat warna putih dan beberapa stiker yang ditempel secara acak di depan pintunya itu menanti segera kuketuk. Ada keraguan dalam batinku saat akan mengetuk pintu. ketuk, tidak, ketuk, tidak. Ah! Bukankah aku harus meminta kejelasan mengapa tak ada kabar darinya selama seminggu belakangan ini, batinku meluap. Namun, sesuatu membuat aku terpaku kaku dan menenggelamkan hasratku untuk mengetuk pintu itu. Terdengar suara seorang wanita dari dalam kamar!
“Sayang, kita ke luar yuk. Kita jalan-jalan ke mana gitu. Aku bete nih di kosan kamu terus.”
“Iya, sayang, kita mau ke mana?”
“Ya, ke mana aja deh sayang, pokoknya aku bete diem aja di kosan kamu. Aku kepingin refreshing sayannnng..” dengan nada menjijikkan ala wanita jalang.
Aku terpaku. Membisu. Aku mencoba mengintip ke dalam melalui jendela kamar kosan Dika. Samar-samar kulihat Dika bersama dengan seorang wanita di dalam.
“Ya sudah sayang. Aku ambil handuk dulu ya, mau mandi dulu” Dika memeluk mesra wanita itu sambil mengecup keningnya.
Aku terkejut. Nafasku tersengal, dadaku terasa sesak saat melihat adegan itu, walau samar yang kulihat. Tiba-tiba muncul kilasan adegan seperti ini yang pernah ada di masa laluku dalam otakku – seperti diputar kembali. Namun, hanya sedikit yang kuingat. Aku membalikkan tubuhku. Si.. siapa wanita itu? batinku bertanya-tanya. Kedua mataku mulai berkaca-kaca.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Dika ke luar dari dalam kamar.
“Na.. Nayla?” Dika sedikit terkejut melihat keberadaanku.
“Si.. siapa wanita yang ada di dalam kamarmu?” tanyaku tanpa berani melihat wajahnya.
“Siapa sih sayang?” wanita itu muncul dari dalam kamar.
“Siapa kamu?” tanya wanita itu sinis
“Kamu siapa?” tanyaku balik sambil menatapnya tajam.
“Malah nanya balik! Aku pacarnya!”
Aku melongo sesaat. Sangat terkejut mendengar kalimat yang keluar dari mulut wanita itu.
“Dika, kamu,” aku berkata sambil mencoba menahan emosiku yang sedari tadi sudah ingin meledak. Tapi, apalah dikata. Aku geram melihat itu semua.
Plak! Akhirnya telapak tanganku langsung mendarat di pipi Dika, lalu aku pergi meninggalkan mereka berdua.
“Hei, apa yang kamu lakukan! Dasar cewek gi*@!”wanita itu ingin mengejarku.
“Sudah, sudah sayang. Biarkan saja. Kita kan mau jalan-jalan. Nanti mood kita rusak, lho!” Dika menahan wanita itu.
“Tapi, siapa dia?”
“Aku juga nggak tahu. Dia salah orang barangkali”
“Yuk ah masuk lagi. Aku mau mandi dulu ya, habis itu baru kita jalan-jalan” Dika berkata sambil mengedipkan mata pada wanita itu.
Aku meninggalkan rumah susun bertingkat itu. Aku berlari – berlari secepatnya menjauh sejauh mungkin. Bulir-bulir air bening mulai keluar dari kedua pelupuk mataku, mengalir di pipiku menganak sungai. Aku berlari ke arah taman. Di taman, aku terdiam, duduk di rumput. Hening tercipta. Kupandang langit yang kelabu. Mendung. Pertanda hujan akan turun. Bulir-bulir air bening masih ke luar, membasahi kedua pipiku. Wajahku menjadi sembab.
Tiba-tiba dari samping kananku, seseorang menyodorkan tisu untukku. Aku menoleh.
“Rio?” aku terlonjak.
Rio tersenyum.
Seketika, muncul dalam otakku, kejadian ini juga pernah aku alami di masa laluku. Saat ini, aku merasakan seperti de javu. Kilasan-kilasan kejadian masa laluku yang lainnya berkelebatan dalam otakku – dari mulai bertemu Dika, pacaran dengannya, patah hati dan ... Perlahan, aku mulai teringat. Teringat bagaimana saat kali pertama aku bertemu dengan Rio. Inilah. Ya inilah kali pertama aku bertemu dengannya. Saat itu, aku baru patah hati dari Dika, persis sekali saat memergoki Dika bersama wanita lain, lalu aku pergi ke halte, seseorang menyodorkan tisu padaku. Dan, seseorang itulah Rio. Di situlah awal kami dekat. Setelah itu, argh! aku tak ingat lagi!
Aku menerima tisu itu. Kutatap kedua bola mata Rio. Kedua mata yang teduh. Binarnya memancarkan aura kehangatan dan kasih sayang. Kami bersitatap sekejap mata berkedip. Setelahnya, aku tak mampu lama-lama menatapnya. Kualihkan pandanganku pada rerumputan. Aku terdiam. Aku membisu. Sunyi di antara kami. Hanya terdengar suara gemerisik angin sore yang meniup dedaunan dan para ilalang di taman, membuat mereka bergoyang-goyang. Suaranya begitu syahdu.
“Da..”
“Dari mana kau tahu,”
“Aku,”
“Ada di sini?” aku mulai bertanya dengan suara yang teramat pelan dan terdengar terbata-bata. Detak jantungku berdetak tak menentu.
Rio menghela nafas panjang.
“Dari tadi aku mengikutimu.”
Aku terisak tangis.
“Maaf” tiba-tiba satu kata itu melompat keluar dari mulutku.
“Maafkan aku.” Lanjutku sambil terisak.
Rio memelukku dan menepuk-nepuk punggungku. Baru kurasakan dekapan hangat tubuhnya. Saat itu, kurasakan tubuhku seperti kesetrum. Kesetrum aliran cinta.
“Dika itu mantanmu. Mantan yang telah menyakitimu. Sewaktu kau sedang patah hati, kau bertemu aku di sebuah halte. Melihatmu menangis, aku menyodorkan tisu untukmu. Dan, saat itulah kita dekat, dekat dan semakin dekat, hingga kita memadu kasih, mengukir cerita cinta, tak lama aku meminangmu, lalu kita menikah.” Jelasnya.
Aku melepas pelukkannya.
“Kau sudah ingat?” tanyanya
“Sedikit.” Ujarku.
“Hanya sedikit dari sekian banyaknya cerita cinta kita. Kilasan-kilasan kisah masa laluku tiba-tiba muncul dalam otakku bagai rekaman video yang diputar ulang, itu pun hanya sepotong-sepotong.” Lanjutku.
“Tak apa,”
“Aku yakin, suatu saat kau akan ingat kembali cerita cinta kita.”
“Maukah kau membantuku memulihkan kembali ingatanku?”
“Tentu. Kenapa tidak?” ujarnya sambil tersenyum.
Aku ikut tersenyum.
Kini, aku tahu mengapa aku bisa mencintai laki-laki yang ada di hadapanku saat ini. Kesabaran dan ketulusan cintanya-lah yang membuat aku melabuhkan cintaku padanya. Walau aku belum sepenuhnya ingat masa-masa kisah asmara aku dan dia, tapi saat ini aku mulai merasa bahagia dan nyaman bersamanya.
Aku dan dia memandang langit. Di sana, terukir sebuah cerita cinta. Cerita cinta yang baru. Aku mulai dari awal lagi. -selesai-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H