Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Satu Malam yang Mencekam

9 Mei 2020   16:48 Diperbarui: 9 Mei 2020   18:43 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lariiiiiii!."

Widi dan Tesha lari sekuat tenanga. Beberapa menit kemudian sampailah mereka di pelataran masjid disambut oleh kakek tua yang seminggu yang lalu bertemu dengan Defan dan Ahmad di masjid itu.

Tesha terkulai lemas lalu pingsan. Sementara Widi diam enggan bicara.

Riuh suara teriakan terdengar dari arah dalam masjid. Di tengah napasnya yang ngos-ngosan, Husen bertanya ada apa sebenarnya.

Siti, Defan dan Denny menjelaskan bahwa sebagian besar peserta dan beberapa panitia mengalami kesurupan masal dan sedang ditangani oleh beberapa ustaz dan kiai. Pembina PMR pun sudah ada di sana dengan beberapa guru yang diajaknya menghadiri kegiatan itu.

Awalnya Husen ingin menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi dan dialami mereka bertiga. Namun ini bukan waktu yang tepat. Ia sadar harus segera membantu menenangkan adik-adik juniornya.

Widi dan Tesha dipisahkan dan ditangani oleh kakek tua. Sang kakek sudah diberi informasi oleh Husen jika mereka melihat sesuatu.

Suasana masjid malam itu terasa semakin mencekam ketika Tesha tiba-tiba menjerit-jerit dan meraung-raung. Matanya melotot berwarna merah nyala. Sang kakek tua kewalahan. Beberapa warga berkumpul dan membacakan ayat-ayat suci. Peserta kegiatan yang masih dan sudah sadar, ditangani oleh Denny, berusaha menangkan, agar tak ada yang merasa ketakutan.

Semuanya berdo'a. Hujan turun kembali dengan derasnya. Menghasilkan suara gemuruh bersahutan dengan suara pengajian. Bebeberapa orang menangis terisak, beberapa lagi memanggil-manggil ibu dan ayahnya, sebagian lagi masih tetap berusaha tenang dan ikut komat-kamit membacakan do'a-do'a.

Agas mendekat ke arah Husen. Ia membisikkan sesuatu. Lalu Husen mengangguk tanda setuju. Tak lama kemudian Agas dan dua orang rekannya pergi menggunakan jas hujan dan sebuah lampu senter.

**

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun