Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ia yang Menerobos Hujan

7 Oktober 2020   20:45 Diperbarui: 7 Oktober 2020   20:49 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mungkin memang ada jenis perempuan dengan fantasi yang ganjil. Mungkin Rara salah satunya. Kepadaku suatu hari ia berkata, "kubayangkan seorang lelaki berlari menerobos hujan lebat menuju rumahku. Ia lalu menempelkan kertas berisi puisi cinta untukku di pintu..."

Ia berhenti sekejap. Matanya jauh memandang hamparan sawah di muka rumahku, menembus hujan tipis di sore itu.

"Akan kuterima cintanya..."

Matanya lalu beralih menatapku. Sendu. Aku terkikik, lalu terbahak. Dia pasti sedang bercanda. Manalah mungkin ada perempuan segila itu. Tapi Rara bersungut. Matanya yang Pakistan sedikit membelalak. Indah. Luar biasa indah.

Rara teman belajarku. Suatu kali ia bilang, "kita belajar bersama, ya. Aku tak bisa matematika." Kuiyakan. Beberapa teman ikut bergabung kemudian. Kadang-kadang kami belajar di rumahku, rumah Rara, atau di rumah teman yang lain. Bergantian. Tapi tabiat anak sekolah menengah atas: belajar setengah jam, ngobrol tak tentu arah satu jam. Obrolan tak tentu yang membuat kami jadi jauh lebih mengenali satu sama lain. Aku jadi tahu apa olahraga favoritnya, makanan kesukaan, genre film dan macam-macam hal keseharian lain. Kuceritakan pula kepadanya tentang kesukaanku pada bunga-bunga liar, pada kupu-kupu. Iapun jadi tahu minatku yang tinggi kepada sastra, khususnya puisi, walau aku tak ingin kelak menjadi penyair. Aku hanya ingin untuk tetap menulis puisi. Ada beberapa kali kutunjukkan puisiku kepadanya, atas desakannya.

"Kebanyakan muram, ya?" Ia memberikan komentar.

"Memang hidupmu muram begitu?"

Aku tertawa kecil dan menggelengkan kepala. Kujelaskan kepadanya bahwa sejauh ini hidupku menyenangkan, dan aku bahagia. Hanya, aku suka memotret kemuraman. Bagiku kemuraman adalah cermin yang jernih untuk berkaca. Merenung. Ia berterus terang, bahwa ia tidak paham. Aku tertawa lagi. Ya, memang sulit untuk dijelaskan.

"Sekali-sekali, tulis puisi yang happy, ya?"

Hei, tunggu. Puisi! Mungkinkah Rara sedang mengirimkan tanda kepadaku? Tak terpikirkan olehku. Itukah sebab ia bersungut dan membelalak tempo hari? Tapi kenapa pula perlu kupikirkan?

Anak muda sehat wal afiat tentu tertarik pada Rara. Tubuhnya semampai, rambutnya panjang sepinggang. Ya, sepinggang! Gurat Timur Tengah,  Pakistan, atau semacam itulah,  tergambar kuat di wajahnya. Aku sehat, sudah barang tentu. Akan tetapi, bagaimana menggambarkannya? Rara itu jelita. Hanya, bagiku ia macam lukisan bermutu tinggi yang hanya boleh kunikmati dari kejauhan. Tak sedetikpun terpikir olehku untuk berusaha memikat hatinya, menjadi kekasihnya, lalu kelak menjadi suaminya. Tak. Jadi, khayalan tentang lelaki yang menerobos hujan itu benar-benar kuanggap sebagai canda. Canda yang segera kulupakan.

Sekali itu saja Rara bercerita tentang fantasinya. Sesudahnya, tak pernah. Mungkin karena kami tak pernah lagi belajar berdua saja seperti sore yang dibasahi hujan tipis itu. Mungkin juga karena kami mulai merasa semakin diburu masa ujian yang semakin dekat, sehingga lebih banyak menggunakan waktu untuk belajar. Tak ada perubahan sikap yang dapat kutangkap dari Rara. Ia masih seperti biasa. Banyak cakap. Banyak tanya. Banyak tawa. Atau mungkin aku yang tak peka?

Dua minggu sebelum ujian Rara berpamitan dari kelompok belajar. Ia ingin fokus mempersiapkan diri di rumah. Sesudah itu, tak pernah lagi aku bercakap-cakap lama dengannya, hingga tiba hari kelulusan. Kami bukan teman sekelas. Sesekali saja saling sapa saat berpapasan. Rumahnya tak jauh dari rumahku. Tetapi tak terlintas pikiran untuk mengunjunginya. Betul-betul ia kuanggap kawan belajar bersama semata.

Waktu membuat Rara semakin jauh. Aku kuliah di perguruan tinggi ternama. Rara di perguruan tinggi swasta. Bolehlah aku membanggakan diri sedikit. Aku cukup cerdas. Mungkin karena semasa kecil bapakku suka membelikanku gulai otak sapi. Menurut Bapak makan otak sapi bagus untuk kecerdasan. Entah dapat ilmu dari mana ia. Tapi aku pemalas. Untunglah Rara mengajakku belajar bersama. Kalau tidak, kemalasanku mungkin akan membuatku tak lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri.

Dan waktu membuat Rara semakin buram dalam ingatan. Ia bak seseorang di tengah kabut. Masih dalam jarak pandang. Tak benar-benar hilang, tapi tak pula jelas sosoknya. Sampai suatu hari mataku tertumbuk pada satu puisi di koran lokal: Ia yang Menerobos Hujan. Ditulis oleh seseorang bernama Jingga. Aku berdesir. Rara kah?

Pelan-pelan kusapu kabut yang memburamkan Rara agar jelas kutangkap lagi parasnya. Senyum, tawa, sorot mata, kerling, kerjap, suara, tarikan dan hembusan napas. Kusunyikan hati dari riuh rendahnya hari ini agar dapat kudengarkan lagi obrolan yang dulu.

Pernah suatu ketika kami mempercakapkan nama. Kukatakan kepadanya, bahwa dalam Bahasa Tapanuli, rara berarti merah. Ia tertawa.

"Iya, memang itu artinya."

Iapun bercerita bahwa ketika lahir kulitnya tampak merah. Lebih merah dibandingkan umumnya bayi. Ibunya ingin memberi nama yang unik. Pernah terpikir Delima, tapi sangat terkesan buah. Belum tentu pula Delima berwarna merah. Mawar? Terlalu biasa. Ibunya lantas mencari kata merah dalam bahasa daerah. Abang, dalam Bahasa Jawa. Sangat tak kena. Beureum, dalam Bahasa Sunda. Tak enak. Pencarian sang ibu akhirnya berhenti pada: Rara.

Tapi yang menulis puisi ini bernama Jingga. Bukan merah. Memang keduanya berdekatan. Warna merah pada pelangi diikuti oleh jingga. Panjang gelombang keduanya berdekatan. Mungkin itu sebabnya Isaac Newton tak segera berhasil mengidentifikasi warna jingga saat ia mempelajari spektrum warna cahaya. Ah, kenapa jadi ilmiah begini?

Mungkinkah Rara tak terlalu berani berterus terang sehingga meminjam warna yang dekat dengan warna yang menjadi namanya? Tapi mungkin memang bukan Rara penulisnya. Apa lagi, setahuku, Rara tak pernah menulis puisi. 

Kubaca puisi yang tercetak pada koran lokal itu:

Ia yang menerobos hujan

Ialah lelaki dari masa silam 

Satu kali dipetiknya kembang ilalang

Tak dikirimkannya kepadaku

 

Dibiarkannya kelopak kembang itu

Diterbangkan oleh angin musim lalu

Dibisikkannya pelan kepada mimpiku:

Biarlah kembang itu jadi kupu-kupu

 

Ia yang menerobos hujan

Ialah lelaki dari masa silam

Kepadanya kutitipkan cakrawala

Tetapi waktu menjadikannya tiada

Aku menarik napas dalam. Puisi ini sederhana, tapi menikam. Pasti Rara yang menulisnya. Pasti. Menerobos hujan, kembang ilalang, dan kupu-kupu adalah tanda yang jelas. Aku harus menemuinya. Tapi untuk apa? Lanjutan kisah seperti apa yang kubayangkan? Katakanlah puisi itu pesan untukku. Ya, Rara tahu pasti bahwa sedari dulu aku mengikuti setiap puisi yang dimuat di koran lokal itu. Katakanlah puisi itu isyarat cinta Rara untukku. Lalu apa? Aku tak mencintainya. Tidakkah perjumpaan itu nanti malah membuatnya punya harapan baru, harapan baru yang berujung pada sia-sia dan luka? Tidakkah lebih baik biarkan saja waktu memburamkan yang lalu sehingga gelap sempurna suatu ketika?

Atau, tidakkah aku mempertimbangkan satu hal? Rara telah kuabaikan satu kali di masa sekolah menengah dulu. Baru kusadari sekarang, tidak sekali dua Rara mengetuk pelan-pelan pintu hatiku. Ketika ia mengisahkan asal muasal namanya, sempat ia bilang,

"Kamu anak sulung, kan. Aku panggil kamu Abang, ya?"

Aku ketawa tanpa suara dan kukatakan kepadanya bahwa jika ia nyaman memanggilku Abang, maka silakan saja.

"Biar sama-sama merah," lanjutnya.

Tawaku semakin lebar. Masih tanpa suara. Tapi ia tak pernah memanggilku Abang jika ada teman yang lain. Hanya saat kami berdua. Dan kesempatan itu, sangatlah jarang.

Tidakkah sepatutnya untuk sekali ini aku tak mengabaikannya? Apa salahnya satu kali ini aku memberikan perhatian, menganggapnya ada? Pernah kubaca satu buku yang mengungkapkan perihnya diabaikan. Lebih baik dibenci daripada dianggap tak ada.

Tidakkah tergetar sedikit hatiku? Berbilang tahun telah lalu, Rara masih setia dengan khayalannya yang dulu, khayalan yang kuanggap sebuah canda sambil lalu. Tidakkah aku menyadari bahwa 'menerobos hujan' itu adalah satu metafora bagi keteguhan hati? Kebanyakan orang memilih berdiam, menanti hujan reda, untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Seseorang yang menerobos hujan adalah ia yang punya tekad kuat, punya cinta yang besar. Dikarenakan cinta, seorang ayah tak akan berhenti menanti hujan reda untuk menjemput anaknya yang seorang diri di ujung sana. Tidakkah kini aku mengerti bahwa melalui puisi itu Rara dengan halus hendak mengatakan kepadaku bahwa dialah sang penerobos hujan itu? Ditekadkannya untuk terus berjalan membawa asa yang silam sekalipun jalan hidup buram diguyur hujan yang lebat.

Aku harus menemui Rara!

***

Sore yang hangat. Di sinilah aku kini: di muka pintu rumah Rara. Rumah itu masih seperti beberapa tahun lalu. Terasnya luas, tempat kami belajar bersama dulu. Pokok mangga, kemuning, dan kembang sepatu di pekarangan. Itu yang kuingat. Kembang sepatu itu dulu pernah kupakai untuk bermain sulap. Kuambil warna kembang itu dengan air hangat. Lalu kuubah warnanya yang merah menjadi ungu atau hijau dengan cairan tertentu. Teman-temanku takjub dan bertanya bagaimana bisa. Kujawab saja, ada di pelajaran kimia. Mereka penasaran. Aku diamkan. Cuma Rara yang tak begitu tertarik dengan sulapku. Dia lebih tertarik pada puisi-puisiku.

Aku mengetuk agak kuat. Atau terlalu kuat? Masih kuingat pesan Rara agar mengetuk pintu rumahnya dengan kuat. Sering tak terdengar dari dalam, katanya. Entah mengapa tak dipasang bel saja.

Senyap. Aku mengetuk sekali lagi. Lebih kuat. Tak lama, gagang bergerak, pintu terbuka. Seraut wajah melongok dari balik pintu. Rara. Aku tersenyum. Ia terkesiap. Indah.

"Baang..."

Suaranya menggantung dan gemetar. Ah, dia masih memanggilku dengan panggilan itu! Darahku menghangat.

"Tumben..... sebentar..." Ia kembali menutup pintu. Kurasa, ia merapikan diri. Beberapa menit kemudian pintu kembali terbuka. Dengan isyarat tangan yang jelas tampak gugup ia menyilakan aku duduk di kursi teras.

Ia tak berubah. Sama sekali. Mungkin karena memang belum terlalu lama kami tak berjumpa. Baru sekitar lima tahun. Kumulai percakapan dengan bertanya apa kabarnya. Iapun membalas dengan pertanyaan serupa. Lalu berlanjut kepada hal-hal yang ringan. Saling bertukar cerita tentang kejadian semasa belajar bersama dulu dan berbagi kisah yang dialami belakangan ini. Percakapan yang biasa antara dua orang yang lama tak jumpa.

"Masih nulis puisi?", tanyanya. Pertanyaan yang mengakhiri percakapan basa-basi kami. Ini saatnya, pikirku.

"Masihlah...", jawabku seraya sedikit mengangguk. Aku tak lagi mengirimkan puisi ke koran lokal, melainkan ke koran nasional. Mungkin ia tak mengikuti. Mungkin juga ia tahu, tapi sengaja bertanya seperti itu.

Aku mengeluarkan sesuatu dari saku baju. Potongan koran berisi puisi "Ia yang Menerobos Hujan".

"Kamu juga sekarang nulis puisi ya? Hebat!", tanya dan pujiku sembari menyodorkan potongan koran itu kepadanya.

"Ini puisimu, kan. Melankolik, muram, tapi indah, aku suka!"

Ia menyambut potongan koran itu dan membacanya. Percaya diri sekali aku. Yakin betul aku bahwa itu puisi Rara.

Ia tertawa. Tawa yang sulit untuk sempurna kugambarkan. Ada getir, bahagia, kesal, dan entah apa lagi.

"Jadi ini yang tiba-tiba membawamu ke sini?"

Ia menatapku. Sisa tawa masih tampak pada kedua bibirnya. Mendadak perasaanku tak nyaman. Perasaan bersalah menyergap. Ya, memang puisi itu alasanku. Tapi, bukankah aku ke sini karena kali ini aku tak ingin mengabaikannya? Tak semestinya aku merasa tak nyaman. Tak perlu merasa bersalah. Aku mulai tenang dan percaya diri lagi.

"Iya, Ra. Puisi itu seperti memanggilku."

Masih terus menatapku, Rara tersenyum.

"Kamu jadi ingat khayalanku dulu, ya?", tanyanya menggoda.

"Aku kira kamu lupa. Sama aku kamu juga lupa...", godanya lagi.

Aku tertawa ganjil. Ada nada senang dalam ucapannya. Perasaan senang ketika memergoki seseorang salah tingkah. Ya, aku salah tingkah. Biarlah. Biar menjadi sedikit bayaran atas rasa bersalahku bertahun-tahun mengabaikannya. Terlihat kilatan bahagia di kedua matanya. Tapi tiba-tiba...

"Nggak, Bang. Bukan aku yang nulis." Suaranya pelan, serak dan muram. Aku sedikit tersentak. Bukan itu jawaban yang kuperkirakan. Dia pasti bercanda. Rara memang senang bercanda. Tak mungkin bukan dia yang menulis.

"Kamu bercanda, kan?"

"Nggak, Bang. Kamu kan tahu, aku nggak bisa bikin puisi..." Suaranya meninggi. Sedikit.

Seketika aku merasakan dingin yang ngilu di uluhati. Ego lelakiku berlubang di mana-mana, lalu terhempas. Kusangka diriku pahlawan yang datang untuk menyelamatkan seorang perempuan yang rapuh. Ternyata, aku tak lebih dari seorang pecundang yang konyol dan sok tahu.

"Benar, bukan kamu, Ra?", tanyaku dungu. Kebanyakan manusia memang begitu. Selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dungu dan tak perlu setiap kali mulai merasa kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

"ya Ampuun Bang. Sumpah!"

Skakmat sudah. Tumbang sudah. Semua analisisku hancur berantakan. Sangat memalukan. Mungkin wajahku benar-benar 'abang' sekarang. Kumaki habis diriku. Kujitak kepala besarku.

"Tapi, isi puisi itu..." Masih kucoba untuk bangkit dari puing-puing mental yang remuk redam. Banyak kesamaan antara isi puisi itu dengan masa laluku dan Rara. Mustahil rasanya jika itu kebetulan.

"Mirip kita dulu?", potong Rara. "Terus kamu kira itu aku?" Suaranya sedikit meninggi lagi.

Misterius. Membingungkan. Atau memang cuma kebetulan yang menyakitkan? Ingin sekali aku lekas-lekas pergi. Tapi, itu justru akan jadi lebih lucu lagi. Lebih memalukan. Jadi, pilihan yang lebih baik bagiku adalah diam, mencoba menenangkan gejolak dalam diri yang tak karuan. Tapi diam malah membuatku tambah tersiksa. Seharusnya aku tak perlu menunjukkan puisi itu. Seharusnya aku bisa menahan diri. Ini kan perjumpaanku dengan Rara yang pertama setelah sekian lama. Atau seharusnya aku tak ke sini. Tapi, niatku kan baik. Iya, bukan begini caranya. Duh, Tuhan. Mungkin hidupku memang terlalu ilmiah. Terlalu percaya pada kalkulasi-kalkulasi. Padahal di sisi lain, aku suka pada puisi. Dan puisi kerap bicara soal hati. Sungguh sebuah kontradiksi. Mungkin juga tidak. Kusadari sekarang, tak pernah aku menulis puisi tentang asmara, jatuh cinta, atau yang semacamnya. Kebanyakan puisiku tentang potret buram kehidupan, ketertindasan, atau kehilangan. Mungkin aku tahu banyak perkara hati, tapi bukan hati yang kasmaran. Mungkin aku cukup memahami manusia, tapi tidak cukup paham soal perempuan. Mungkin itu sebabnya aku menemui Rara dengan penuh percaya bahwa aku memahami isi hatinya.

"Maafkan aku, Ra..."

"Sudahlah, lupakan." Ia seperti tahu bahwa dadaku sesak dan ingin membuatku lega.

"Tapi, iya, memang mirip ya?", lanjutnya lagi dengan senyum yang kembali menggoda. Kupaksakan membalas senyumnya. Kecut. Pasti.

Rara seperti dapat merasakan bahwa aku tersiksa. Ia seperti tahu bahwa aku tak mungkin pamit pulang dalam keadaan membawa malu begini. Maka iapun bercerita macam-macam. Cerita apa pun yang dapat membawa kami menjauh dari puisi itu. Terkadang ia mengingatkanku kembali pada seorang teman atau kejadian lucu di masa lalu. Nyata terasa bahwa ia berusaha membuatku nyaman.

Akhirnya, aku kembali menemukan harga diriku untuk dapat pamit pulang dengan kepala tegak. Atau setidak-tidaknya agak tegak. Dara jelita ini pandai betul menjaga hati. Paling tidak, hatiku. Sementara, bertahun-tahun aku tak peduli pada hatinya.

Sore mulai rebah ketika aku pamitan. Sungguh dua jam yang gila. Masih ada rasa tak nyaman di dada. Mungkin rasa tak nyaman itu akan selamanya di sana.

***

Akan aneh rasanya jika aku kembali menjauh dari Rara. Aku jadi kelihatan seperti seorang pengecut. Maka, kuputuskan untuk kembali bertemu Rara. Lagi, masih kusimpan rasa penasaran. Apa iya puisi itu tak ada hubungannya dengan Rara. Siapa itu Jingga? Bagaimana dia bisa tahu khayalan Rara tentang seseorang yang menerobos hujan? Hanya kepada Rara seorang aku pernah menceritakan minatku pada kupu-kupu dan bunga liar. Tentu saja bunga ilalang tergolong bunga liar. Bagaimana seseorang bernama Jingga bisa tahu dan menyertakan bunga ilalang dan kupu-kupu dalam puisi yang ditulisnya? Tidak sembarangan pula. Ada makna yang tersirat di dalamnya. Gelap ini harus menemukan terang.

Boleh dikata aku selalu mengikuti rubrik puisi di koran lokal itu. Jadi, aku tahu siapa saja yang sering menulis puisi di situ. Jingga, adalah nama baru. Belum pernah kudengar sebelumnya. Padahal, puisi yang ditulisnya jelas bukan karya seorang pemula. Jadi, bisa kupastikan Jingga adalah nama samaran.

Setiap penulis atau penyair punya ciri khas. Sapardi Djoko Damono dapat mudah dibedakan dengan Rendra atau Taufiq Ismail. Kalau Jingga bukan penulis pemula, maka besar kemungkinan puisinya pernah dimuat sebelumnya dengan menggunakan nama aslinya. Aku tinggal mencocokkan gaya menulisnya. Kebetulan, semua puisi di koran lokal itu kukliping dengan baik.

Berhari-hari aku telusuri koleksi puisi koran lokal itu satu per satu. Akhirnya, aku bisa mendapatkan tiga nama yang memiliki gaya mirip dengan gaya puisi Jingga. Semuanya laki-laki dan aku kenal. Sekarang, tinggal aku tanyakan ke redaktur pengasuh rubrik puisi di koran lokal itu. Aku kenal baik dengannya. Pasti dia tidak akan mau menyebutkan nama asli Jingga, tapi aku punya cara. Duh, kenapa kemarin aku sembrono dan terburu-buru? Mestinya ini yang aku lakukan.

Kutemui sang redaktur di rumahnya. Sekali dua kami memang banyak mengobrol soal sastra dan seni. Kuutarakan maksudku. Benar saja, ia keberatan untuk menyebutkan siapa nama asli Jingga. Jadi, kukatakan kepadanya bahwa aku akan menyebut satu nama. Kalau itu nama asli Jingga ia kuminta diam saja, sehingga ia tak melanggar kode etik. Ia setuju. Lalu kusebut satu nama. Singkat ia menjawab, "bukan." Celaka!

Padaku kini tersisa dua nama. Bisa saja kedua-duanya bukanlah Jingga. Bagaimanapun, aku harus mencoba peruntungan. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku memilih satu nama untuk kukunjungi terlebih dahulu. Ia kukenal sebagai penyair yang sering menulis puisi romansa, asmara, patah hati, dan yang semacam itu. Sangat bertolak belakang denganku. Semula nama dia yang ingin kuajukan kepada sang redaktur, tapi aku ragu. Dibandingkan dengan penulis pertama, gayanya kalah mirip. 

Setelah berhasil membuat janji, aku pun bertemu dengannya. Ia kira-kira sebaya denganku. Tapi nampaknya kualitas puisinya masih di bawahku. Aku sudah menembus koran nasional. Bahkan, puisiku pernah dimuat di majalah sastra ternama.  Sementara, ia masih tertahan di koran lokal. Muzi, nama lelaki itu.

Singkat cerita, kutunjukkan fotokopi guntingan koran berisi puisi "Ia yang Menembus Hujan".

"Ini puisi Bang Muzi?"

Ia, kutahu, berasal dari tanah Melayu. Jadi, walaupun kira-kira sebaya, kupanggil saja dia Abang. Kukira ia akan terperanjat dan menghindar. Tidak. Ia malah tertawa kecil. Tampak riang.

"Saya dah sangka, Abang pasti bisa pecahkan teka-teki ini." Aku tersentak. Ia melanjutkan.

"Betul cakap budak perempuan tu, Abang punya akal boleh tahan. Ai kiu macam Einstein!"

Dia terbahak. Aku terbelalak.

"Jadi, Abang kenal Rara?"

 "E, mana boleh tidak! Emak dia dan emak saya bersaudara. Dia adik sepupu saya!"

Aku tertawa keras. Sangat keras. Lega luar biasa. Rongga dadaku bagaikan seluas lapangan sepakbola. Lebih malah. Bang Muzi ikut tertawa keras.

Demikianlah gelap menemui terang. Puisi itu ia buat atas permintaan Rara. Suatu hari Rara mengadukan sendunya kepada abang sepupunya itu. Dikisahkannya tentang lelaki dari masa remajanya yang ia khayalkan berlari menerobos hujan untuk menempelkan puisi cinta di pintu rumahnya.

"Abang tuliskanlah puisi dan kirimkan ke koran lokal itu. Pakai nama Jingga. Kalau dia membacanya, pasti dia tahu itu aku. Semoga ia datang menemuiku..."

Kalau aku tak datang, Rara telah siap untuk melupakanku selamanya. Begitu Muzi berkisah.

Perlu waktu lama bagi Muzi untuk menulis puisi itu. Tak mudah. Puisi itu harus kuat membawa pesan. Harus jelas pula tanda-tanda Rara di sana. Ia lalu meminta tolong kepada redaktur untuk memuat puisinya. Sang redaktur tak menjanjikan apa-apa. Untunglah puisi itu dimuat juga akhirnya.

Selepas aku pulang sore itu, Rara menelepon Muzi dan mengungkapkan gembira hatinya: Aku datang menemuinya. Tetapi ia menyesal telah mempermainkanku dengan keterlaluan. Rara tidak bohong. Puisi itu bukan ia yang buat. Tapi, ia bisa saja mengatakan bahwa puisi itu adalah idenya. Cuma, tiba-tiba terbersit pikirannya di sore itu untuk memberiku satu pelajaran.

"Saya harap Abang jangan lagi buat Rara kecewa. Besar nian cinta dia kepada Abang. Saya rasa, tak perlulah saya sampaikan semua yang Rara ceritakan kepada saya."

Ya, tak perlu. Aku bisa merasakan. Aku tersandera, karenanya. Aku tak mencintai Rara. Belum, mungkin. Pernah kubilang bahwa Rara itu bagaikan lukisan bermutu tinggi yang boleh kunikmati dari kejauhan. Tapi kenapa aku tak boleh memilikinya? Atau aku tak berani? Apa yang aku takutkan? Sungguh aku tak tahu. Aku merasa seperti ada yang belum selesai dalam diriku. Entah apa. Sesuatu, sesuatu yang jauh di masa lalu. Mungkin di masa kanak-kanakku. Sesuatu yang seperti mencegahku untuk mencintai seorang perempuan. Ya, Rara bukanlah satu-satunya perempuan yang aku tidakkan. Apakah gerangan penghalang itu? Buram. Sangat buram.

Aku katakan apa adanya perasaanku kepada lelaki Melayu itu. Kupikir, lebih baik berterus terang, agar kelak jangan ada asa yang patah.

"Iya, saya paham. Cinta tak boleh dipaksa. Saya hanya berharap Abang tak menjauhi Rara. Temani dia."

Aku berjanji.

Berkali-kali purnama berganti. Kupenuhi janji. Tak lagi kuabaikan Rara. Setiap ada kesempatan kutemani dia: ngobrol, bercanda, jalan, belanja, atau menemui seseorang. Ketika akhirnya aku harus bekerja di kota lain, selalu kucari waktu untuk pulang menemuinya. Orang mengira kami sepasang kekasih. Termasuk orang tua Rara. Mungkin Rara pun merasa begitu. Aku tidak.  Aku menyayangi dia. Pasti. Tapi tak akan aku menjadi kekasihnya. Aku hanya akan menemani Rara sampai ia menemukan lelaki sejatinya. Itulah yang beberapa kali kulakukan. Kuperkenalkan ia kepada beberapa temanku. Sia-sia.

Pelik. Atau aku yang sengaja membuatnya pelik? Bukankah ini kenyataan yang mudah saja? Apa susahnya? Itulah yang aku tak pahami. Seperti ada satu ganjalan. Ada satu perkara yang entah apa yang belum kutemukan jawabannya. Masih ada satu lagi gelap yang menagih terang. Tapi gelap yang satu ini sangatlah rumit. Aku tak tahu apa yang gelap itu. Bagaimana mungkin terang kudapatkan? Walau begitu, aku mengerti, tak boleh selamanya begini. Meski tak dengan cinta, aku akan melamar Rara suatu hari nanti. Akan kubuatnya bahagia.

Ayah dan Emak memintaku menemani mereka menengok rumah kami di pulau seberang. Rumah tempat aku dan adik-adikku dilahirkan. Sudah sekitar enam bulan ini rumah itu kosong. Paman, adik bungsu emak, yang biasa mendiami rumah itu telah pindah ke pulau lain, bekerja di tambang batubara. Semasa aku kelas dua sekolah menengah pertama, Ayah memutuskan meninggalkan kampung halaman.  Ia seorang saudagar. Dilihatnya peluang yang lebih besar di kota yang lebih maju. Maka, dibawanyalah kami pindah ke kota itu. Perhitungan Ayah rupa-rupanya direstui oleh langit. Kehidupan kami bertambah makmur. Dalam tiga tahun Ayah sudah berhasil membeli rumah. Rumah tempat aku belajar bersama Rara dan teman-teman.

Seminggu kemudian kami bertiga sudah di tanah kelahiran. Rumah yang kami tinggalkan tampak terpelihara. Bagus betul paman memegang amanah. Tak banyak tumbuhan liar di pekarangan. Sebelum paman pindah Ayah memintanya untuk mencari seseorang untuk membersihkan bagian luar rumah. Bukan perkara susah, asalkan ada imbalannya.

Bagian dalam rumah rapi, tapi berdebu. Wajar. Sudah enam bulan kosong. Setelah rehat beberapa waktu kami membersihkan setiap bagian rumah dan perabotan dari debu. Di sebuah lemari aku menemukan beberapa album foto. Kuhentikan pekerjaan dan mulai membuka album foto itu satu per satu. Sesekali aku tersenyum teringat kenangan yang kembali ditayangkan oleh foto-foto itu.

Tiba-tiba aku terhenti pada selembar foto hitam putih. Fotoku dan seorang anak perempuan. Darahku berdesir. Ia seperti seseorang yang akrab kukenal. Tapi siapa? Aku mencoba mengingat-ingat. Aku seperti melihat beberapa tayangan yang buram. Pertama, anak-anak yang berlarian, lalu berganti anak-anak yang bermain lompat tali, berganti lagi menjadi anak-anak yang menyeruput es serut yang diberi sirup merah, sekejap kemudian tayangan berganti kepada adegan seorang anak perempuan yang berdiri dengan wajah agak tertunduk malu. Buram, tapi seperti wajah anak perempuan di foto itu. Tapi, siapa dia? Keras kucoba mengingatnya. Percuma.

Kutunjukkan foto itu kepada Emak.

"Emak, ingat foto ini?"

Emak melihat, diam beberapa saat, lalu mengangguk.

"Ingat. Kau kira-kira kelas dua esde"

"Siapa anak perempuan ini?"

"Masak kau tak ingat?".

Emak terheran-heran, lalu tertawa kecil. Melihat Emak terheran-heran, aku jadi heran.

"Tak, Mak. Abang tak ingat sama sekali." Aku selalu menyebut diriku Abang di keluargaku.

"Kenapa Emak ketawa?", tanyaku.

"Macam mana Emak tak ketawa? Kau dulu kan sangat suka dengan anak perempuan itu? Aduh....siapa namanya ya?"

Aku tersentak. Serasa seluruh sel dalam tubuhku berpendar.

"Kau waktu kecil dulu lucu kali lah, Bang. Macam orang sudah besar. Pernah anak perempuan itu kau perkenalkan kepada Ayah dan Emak. Kau bilang, ini calon istri Abang. Tersipu-sipu malu anak perempuan itu. Abang.... Abang. Terkekeh-kekeh kami waktu itu kau buat."

Emak tertawa kuat. Ayah yang rupanya ikut mendengarkan, tertawa kuat pula.

"Kalau tak salah, saat itulah Ayah ambil foto kalian berdua", timpal Ayah.

Serasa aliran listrik menyengatku. Seluruh sel dalam tubuhku berpendar lebih dahsyat. Mungkin, mungkin inilah sebab dari segala sebab. Mungkin aku sudah dekat ke ujung gelap.

"Sekarang, dia ada di mana, Mak?"

"Nah, itulah...."

Menurut cerita Emak, anak perempuan itu dan keluarganya tak lama tinggal di kota kelahiranku. Dua atau tiga tahun saja. Ayah dan Emak tak begitu kenal dengan kedua orang tua anak itu. Sepertinya sang ayah bekerja di Jawatan Perkebunan. Mungkin karena sang ayah dipindahtugaskan ke daerah lain, suatu hari mereka pindah. Emak bercerita bahwa aku sangat merajuk saat itu. Aku marah kepada anak perempuan itu, karena pergi tanpa memberi kabar.

"Dia kan calon istri Abang...!", raungku.

Ayah dan Emak ingin tertawa saat itu. Tapi mereka tahan. Anak kecil. Ada-ada saja.

"Mungkin marahmu itu yang bikin kau tak ingat anak itu ya, Bang", ucap Emak serayu melanjutkan pekerjaan.

Aku terperangah. Bisa jadi. Ada banyak peristiwa masa kecil yang memengaruhi sikap dan sifat seseorang di masa dewasanya. Mungkin yang terjadi pada diriku adalah semacam paradoks. Aku ingin menekan kuat ingatanku pada perempuan masa kecil yang telah mengecewakanku itu, tetapi aku juga ingin menunaikan janjiku padanya. Itulah yang mungkin membuat hatiku bagaikan batu. Itulah yang mungkin menghalangiku untuk mencintai Rara. Entah apa yang sesungguhnya terjadi dalam alam bawah sadarku selama berbilang tahun. Aku hanya kini merasa bahwa perempuan kecil itulah yang Tuhan telah turunkan untukku. Sesulit apapun, aku harus menemukannya. Itulah terang yang kunanti. Duh, kasihan Rara. Aku pasti membuatnya sangat kecewa.

***

Rara membisu ketika kukatakan kepadanya bahwa sulit bagiku untuk mencintainya. Hampir mustahil, bahkan. Batinku merana, sebenarnya. Aku telah membuat luka yang dalam di hatinya. Tapi, aku yakin ia akan mengerti pada akhirnya.

Kutunjukkan foto masa kecil itu kepadanya. Dengan lambat kuceritakan kepadanya tentang perempuan kecil dalam foto itu. Kukatakan kepadanya betapa lelah diriku menghadapi pertempuran batin yang sengit, hingga akhirnya aku berketatapan bahwa perempuan kecil itulah cinta sejatiku, Dialah yang menjadi sebab kebekuanku. Aku harus menemukannya.

Rara tetap membisu. Mungkin ia tak paham jalan pikiranku. Absurd. Sulit dipercaya ada cinta seperti itu. Tapi, bukankah cinta memang sering tak masuk akal begitu?

"Kamu nggak ingat siapa namanya?" Akhirnya Rara berucap. Tampaknya ia mulai berpikir rasional.

Aku menggeleng.

"Bagaimana mungkin kamu menemukannya?"

"Aku punya cara."

Sejenak ia diam, lalu...

"Bang, kamu kan masih kecil banget waktu itu?"

Aku menatapnya. Agak tidak suka.

"Maksudku, itu kan bisa aja cuma main-main. Namanya anak kecil."

"Aku serius."

"Oke, tapi bisa aja kan dia sudah lupa atau menganggap main-main."

"Itu urusan nanti."

Aku mulai agak ketus.

"Kamu absurd!"

Aku menarik napas agak dalam, sebab aku akan bicara panjang sesudah ini.

"Ra, khayalanmu itu kan juga absurd. Tapi aku hargai. Kagum, malah. Kamu memberikan contoh baik. Tidak cuma kesetiaan, tetapi juga kegigihan."

Aku menarik napas agak dalam sekali lagi. Rara menghindar dari tatapanku.

"Sekarang, aku juga ingin melakukan seperti apa yang sudah kamu contohkan. Aku ingin setia dengan khayalanku, dengan janjiku. Aku harap kamu mengerti."

Rara pasti memerlukan waktu. Jadi, kubiarkan keheningan mengitari kami. Duh, Rara. Andai dia tahu betapa remuk hatiku telah membuatnya tersiksa begitu. Sungguh, kalaupun nanti aku pergi mencari perempuan masa kecil itu, aku pergi dengan tak sepenuh hati.

"Ya, Bang. Aku ngerti. Ikhlas."

Suara pelannya menyayatku. Perih. Mungkin aku telah membuat kesalahan terbesar dalam hidupku.

"Sebelum kamu pergi, aku ingin memberimu sesuatu."

Tak menunggu jawabanku Rara masuk ke rumah, lalu kembali tak lama kemudian. Di tangannya ada sebuah amplop berwarna jingga.

Ia menarik napas agak dalam. Kurasa ia akan gantian bicara panjang.

"Isi amplop ini sengaja aku simpan. Sudah lama. Akan kuberikan kepada laki-laki yang berani menerobos hujan. Iya, itu kiasan. Maksud aku adalah laki-laki yang punya nyali besar. Laki-laki yang terus berjalan mengejar cintanya, walau pekatnya hujan menghadang."

Ah, seperti yang dulu kutafsirkan, pikirku. Apakah yang ada dalam amplop itu? Sebuah puisi lagi?

"Tadinya aku pesimis. Laki-laki itu tidak akan pernah kutemukan. Tapi aku salah. Hari ini kamu membuktikan, kamulah laki-laki itu. Kesetiaanmu pada cinta masa kecil yang mungkin oleh kebanyakan orang lain dianggap main-main menjadi bukti bahwa kamulah sang penerobos hujan itu."

Disodorkannya amplop jingga yang tak direkat itu.

"Bukalah", ujarnya lembut.

Agak bergetar tanganku membukanya. Kuambil isinya. Jantungku memacu lebih cepat. Isinya bukan puisi seperti perkiraanku, melainkan sebuah foto. Foto hitam putih. Foto seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan. Foto yang sama dengan foto yang kutunjukkan kepada Rara.

Seketika aku terlompat.

"Raraa....!" Keras suaraku kegirangan. Hampir tak percaya.

"Kamu....!"

Rara tertawa lebar tanpa suara seraya mengangguk berkali-kali. Di kedua sudut matanya deras mengalir air mata. Ingin aku menghambur memeluk erat tubuhnya, tapi nantilah. Besok atau minggu depan. Aku tak perlu waktu lama untuk melamarnya. Dengan cinta. Pasti. Dan, dan, aku seperti mendengar kembali suara Rara pada sore berhujan tipis itu, "akan kuterima cintanya..."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun