Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ia yang Menerobos Hujan

7 Oktober 2020   20:45 Diperbarui: 7 Oktober 2020   20:49 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tertawa ganjil. Ada nada senang dalam ucapannya. Perasaan senang ketika memergoki seseorang salah tingkah. Ya, aku salah tingkah. Biarlah. Biar menjadi sedikit bayaran atas rasa bersalahku bertahun-tahun mengabaikannya. Terlihat kilatan bahagia di kedua matanya. Tapi tiba-tiba...

"Nggak, Bang. Bukan aku yang nulis." Suaranya pelan, serak dan muram. Aku sedikit tersentak. Bukan itu jawaban yang kuperkirakan. Dia pasti bercanda. Rara memang senang bercanda. Tak mungkin bukan dia yang menulis.

"Kamu bercanda, kan?"

"Nggak, Bang. Kamu kan tahu, aku nggak bisa bikin puisi..." Suaranya meninggi. Sedikit.

Seketika aku merasakan dingin yang ngilu di uluhati. Ego lelakiku berlubang di mana-mana, lalu terhempas. Kusangka diriku pahlawan yang datang untuk menyelamatkan seorang perempuan yang rapuh. Ternyata, aku tak lebih dari seorang pecundang yang konyol dan sok tahu.

"Benar, bukan kamu, Ra?", tanyaku dungu. Kebanyakan manusia memang begitu. Selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dungu dan tak perlu setiap kali mulai merasa kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

"ya Ampuun Bang. Sumpah!"

Skakmat sudah. Tumbang sudah. Semua analisisku hancur berantakan. Sangat memalukan. Mungkin wajahku benar-benar 'abang' sekarang. Kumaki habis diriku. Kujitak kepala besarku.

"Tapi, isi puisi itu..." Masih kucoba untuk bangkit dari puing-puing mental yang remuk redam. Banyak kesamaan antara isi puisi itu dengan masa laluku dan Rara. Mustahil rasanya jika itu kebetulan.

"Mirip kita dulu?", potong Rara. "Terus kamu kira itu aku?" Suaranya sedikit meninggi lagi.

Misterius. Membingungkan. Atau memang cuma kebetulan yang menyakitkan? Ingin sekali aku lekas-lekas pergi. Tapi, itu justru akan jadi lebih lucu lagi. Lebih memalukan. Jadi, pilihan yang lebih baik bagiku adalah diam, mencoba menenangkan gejolak dalam diri yang tak karuan. Tapi diam malah membuatku tambah tersiksa. Seharusnya aku tak perlu menunjukkan puisi itu. Seharusnya aku bisa menahan diri. Ini kan perjumpaanku dengan Rara yang pertama setelah sekian lama. Atau seharusnya aku tak ke sini. Tapi, niatku kan baik. Iya, bukan begini caranya. Duh, Tuhan. Mungkin hidupku memang terlalu ilmiah. Terlalu percaya pada kalkulasi-kalkulasi. Padahal di sisi lain, aku suka pada puisi. Dan puisi kerap bicara soal hati. Sungguh sebuah kontradiksi. Mungkin juga tidak. Kusadari sekarang, tak pernah aku menulis puisi tentang asmara, jatuh cinta, atau yang semacamnya. Kebanyakan puisiku tentang potret buram kehidupan, ketertindasan, atau kehilangan. Mungkin aku tahu banyak perkara hati, tapi bukan hati yang kasmaran. Mungkin aku cukup memahami manusia, tapi tidak cukup paham soal perempuan. Mungkin itu sebabnya aku menemui Rara dengan penuh percaya bahwa aku memahami isi hatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun