Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ia yang Menerobos Hujan

7 Oktober 2020   20:45 Diperbarui: 7 Oktober 2020   20:49 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tertawa keras. Sangat keras. Lega luar biasa. Rongga dadaku bagaikan seluas lapangan sepakbola. Lebih malah. Bang Muzi ikut tertawa keras.

Demikianlah gelap menemui terang. Puisi itu ia buat atas permintaan Rara. Suatu hari Rara mengadukan sendunya kepada abang sepupunya itu. Dikisahkannya tentang lelaki dari masa remajanya yang ia khayalkan berlari menerobos hujan untuk menempelkan puisi cinta di pintu rumahnya.

"Abang tuliskanlah puisi dan kirimkan ke koran lokal itu. Pakai nama Jingga. Kalau dia membacanya, pasti dia tahu itu aku. Semoga ia datang menemuiku..."

Kalau aku tak datang, Rara telah siap untuk melupakanku selamanya. Begitu Muzi berkisah.

Perlu waktu lama bagi Muzi untuk menulis puisi itu. Tak mudah. Puisi itu harus kuat membawa pesan. Harus jelas pula tanda-tanda Rara di sana. Ia lalu meminta tolong kepada redaktur untuk memuat puisinya. Sang redaktur tak menjanjikan apa-apa. Untunglah puisi itu dimuat juga akhirnya.

Selepas aku pulang sore itu, Rara menelepon Muzi dan mengungkapkan gembira hatinya: Aku datang menemuinya. Tetapi ia menyesal telah mempermainkanku dengan keterlaluan. Rara tidak bohong. Puisi itu bukan ia yang buat. Tapi, ia bisa saja mengatakan bahwa puisi itu adalah idenya. Cuma, tiba-tiba terbersit pikirannya di sore itu untuk memberiku satu pelajaran.

"Saya harap Abang jangan lagi buat Rara kecewa. Besar nian cinta dia kepada Abang. Saya rasa, tak perlulah saya sampaikan semua yang Rara ceritakan kepada saya."

Ya, tak perlu. Aku bisa merasakan. Aku tersandera, karenanya. Aku tak mencintai Rara. Belum, mungkin. Pernah kubilang bahwa Rara itu bagaikan lukisan bermutu tinggi yang boleh kunikmati dari kejauhan. Tapi kenapa aku tak boleh memilikinya? Atau aku tak berani? Apa yang aku takutkan? Sungguh aku tak tahu. Aku merasa seperti ada yang belum selesai dalam diriku. Entah apa. Sesuatu, sesuatu yang jauh di masa lalu. Mungkin di masa kanak-kanakku. Sesuatu yang seperti mencegahku untuk mencintai seorang perempuan. Ya, Rara bukanlah satu-satunya perempuan yang aku tidakkan. Apakah gerangan penghalang itu? Buram. Sangat buram.

Aku katakan apa adanya perasaanku kepada lelaki Melayu itu. Kupikir, lebih baik berterus terang, agar kelak jangan ada asa yang patah.

"Iya, saya paham. Cinta tak boleh dipaksa. Saya hanya berharap Abang tak menjauhi Rara. Temani dia."

Aku berjanji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun