Aku mengeluarkan sesuatu dari saku baju. Potongan koran berisi puisi "Ia yang Menerobos Hujan".
"Kamu juga sekarang nulis puisi ya? Hebat!", tanya dan pujiku sembari menyodorkan potongan koran itu kepadanya.
"Ini puisimu, kan. Melankolik, muram, tapi indah, aku suka!"
Ia menyambut potongan koran itu dan membacanya. Percaya diri sekali aku. Yakin betul aku bahwa itu puisi Rara.
Ia tertawa. Tawa yang sulit untuk sempurna kugambarkan. Ada getir, bahagia, kesal, dan entah apa lagi.
"Jadi ini yang tiba-tiba membawamu ke sini?"
Ia menatapku. Sisa tawa masih tampak pada kedua bibirnya. Mendadak perasaanku tak nyaman. Perasaan bersalah menyergap. Ya, memang puisi itu alasanku. Tapi, bukankah aku ke sini karena kali ini aku tak ingin mengabaikannya? Tak semestinya aku merasa tak nyaman. Tak perlu merasa bersalah. Aku mulai tenang dan percaya diri lagi.
"Iya, Ra. Puisi itu seperti memanggilku."
Masih terus menatapku, Rara tersenyum.
"Kamu jadi ingat khayalanku dulu, ya?", tanyanya menggoda.
"Aku kira kamu lupa. Sama aku kamu juga lupa...", godanya lagi.