"Masak kau tak ingat?".
Emak terheran-heran, lalu tertawa kecil. Melihat Emak terheran-heran, aku jadi heran.
"Tak, Mak. Abang tak ingat sama sekali." Aku selalu menyebut diriku Abang di keluargaku.
"Kenapa Emak ketawa?", tanyaku.
"Macam mana Emak tak ketawa? Kau dulu kan sangat suka dengan anak perempuan itu? Aduh....siapa namanya ya?"
Aku tersentak. Serasa seluruh sel dalam tubuhku berpendar.
"Kau waktu kecil dulu lucu kali lah, Bang. Macam orang sudah besar. Pernah anak perempuan itu kau perkenalkan kepada Ayah dan Emak. Kau bilang, ini calon istri Abang. Tersipu-sipu malu anak perempuan itu. Abang.... Abang. Terkekeh-kekeh kami waktu itu kau buat."
Emak tertawa kuat. Ayah yang rupanya ikut mendengarkan, tertawa kuat pula.
"Kalau tak salah, saat itulah Ayah ambil foto kalian berdua", timpal Ayah.
Serasa aliran listrik menyengatku. Seluruh sel dalam tubuhku berpendar lebih dahsyat. Mungkin, mungkin inilah sebab dari segala sebab. Mungkin aku sudah dekat ke ujung gelap.
"Sekarang, dia ada di mana, Mak?"