Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ia yang Menerobos Hujan

7 Oktober 2020   20:45 Diperbarui: 7 Oktober 2020   20:49 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Nah, itulah...."

Menurut cerita Emak, anak perempuan itu dan keluarganya tak lama tinggal di kota kelahiranku. Dua atau tiga tahun saja. Ayah dan Emak tak begitu kenal dengan kedua orang tua anak itu. Sepertinya sang ayah bekerja di Jawatan Perkebunan. Mungkin karena sang ayah dipindahtugaskan ke daerah lain, suatu hari mereka pindah. Emak bercerita bahwa aku sangat merajuk saat itu. Aku marah kepada anak perempuan itu, karena pergi tanpa memberi kabar.

"Dia kan calon istri Abang...!", raungku.

Ayah dan Emak ingin tertawa saat itu. Tapi mereka tahan. Anak kecil. Ada-ada saja.

"Mungkin marahmu itu yang bikin kau tak ingat anak itu ya, Bang", ucap Emak serayu melanjutkan pekerjaan.

Aku terperangah. Bisa jadi. Ada banyak peristiwa masa kecil yang memengaruhi sikap dan sifat seseorang di masa dewasanya. Mungkin yang terjadi pada diriku adalah semacam paradoks. Aku ingin menekan kuat ingatanku pada perempuan masa kecil yang telah mengecewakanku itu, tetapi aku juga ingin menunaikan janjiku padanya. Itulah yang mungkin membuat hatiku bagaikan batu. Itulah yang mungkin menghalangiku untuk mencintai Rara. Entah apa yang sesungguhnya terjadi dalam alam bawah sadarku selama berbilang tahun. Aku hanya kini merasa bahwa perempuan kecil itulah yang Tuhan telah turunkan untukku. Sesulit apapun, aku harus menemukannya. Itulah terang yang kunanti. Duh, kasihan Rara. Aku pasti membuatnya sangat kecewa.

***

Rara membisu ketika kukatakan kepadanya bahwa sulit bagiku untuk mencintainya. Hampir mustahil, bahkan. Batinku merana, sebenarnya. Aku telah membuat luka yang dalam di hatinya. Tapi, aku yakin ia akan mengerti pada akhirnya.

Kutunjukkan foto masa kecil itu kepadanya. Dengan lambat kuceritakan kepadanya tentang perempuan kecil dalam foto itu. Kukatakan kepadanya betapa lelah diriku menghadapi pertempuran batin yang sengit, hingga akhirnya aku berketatapan bahwa perempuan kecil itulah cinta sejatiku, Dialah yang menjadi sebab kebekuanku. Aku harus menemukannya.

Rara tetap membisu. Mungkin ia tak paham jalan pikiranku. Absurd. Sulit dipercaya ada cinta seperti itu. Tapi, bukankah cinta memang sering tak masuk akal begitu?

"Kamu nggak ingat siapa namanya?" Akhirnya Rara berucap. Tampaknya ia mulai berpikir rasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun