Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ia yang Menerobos Hujan

7 Oktober 2020   20:45 Diperbarui: 7 Oktober 2020   20:49 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Maafkan aku, Ra..."

"Sudahlah, lupakan." Ia seperti tahu bahwa dadaku sesak dan ingin membuatku lega.

"Tapi, iya, memang mirip ya?", lanjutnya lagi dengan senyum yang kembali menggoda. Kupaksakan membalas senyumnya. Kecut. Pasti.

Rara seperti dapat merasakan bahwa aku tersiksa. Ia seperti tahu bahwa aku tak mungkin pamit pulang dalam keadaan membawa malu begini. Maka iapun bercerita macam-macam. Cerita apa pun yang dapat membawa kami menjauh dari puisi itu. Terkadang ia mengingatkanku kembali pada seorang teman atau kejadian lucu di masa lalu. Nyata terasa bahwa ia berusaha membuatku nyaman.

Akhirnya, aku kembali menemukan harga diriku untuk dapat pamit pulang dengan kepala tegak. Atau setidak-tidaknya agak tegak. Dara jelita ini pandai betul menjaga hati. Paling tidak, hatiku. Sementara, bertahun-tahun aku tak peduli pada hatinya.

Sore mulai rebah ketika aku pamitan. Sungguh dua jam yang gila. Masih ada rasa tak nyaman di dada. Mungkin rasa tak nyaman itu akan selamanya di sana.

***

Akan aneh rasanya jika aku kembali menjauh dari Rara. Aku jadi kelihatan seperti seorang pengecut. Maka, kuputuskan untuk kembali bertemu Rara. Lagi, masih kusimpan rasa penasaran. Apa iya puisi itu tak ada hubungannya dengan Rara. Siapa itu Jingga? Bagaimana dia bisa tahu khayalan Rara tentang seseorang yang menerobos hujan? Hanya kepada Rara seorang aku pernah menceritakan minatku pada kupu-kupu dan bunga liar. Tentu saja bunga ilalang tergolong bunga liar. Bagaimana seseorang bernama Jingga bisa tahu dan menyertakan bunga ilalang dan kupu-kupu dalam puisi yang ditulisnya? Tidak sembarangan pula. Ada makna yang tersirat di dalamnya. Gelap ini harus menemukan terang.

Boleh dikata aku selalu mengikuti rubrik puisi di koran lokal itu. Jadi, aku tahu siapa saja yang sering menulis puisi di situ. Jingga, adalah nama baru. Belum pernah kudengar sebelumnya. Padahal, puisi yang ditulisnya jelas bukan karya seorang pemula. Jadi, bisa kupastikan Jingga adalah nama samaran.

Setiap penulis atau penyair punya ciri khas. Sapardi Djoko Damono dapat mudah dibedakan dengan Rendra atau Taufiq Ismail. Kalau Jingga bukan penulis pemula, maka besar kemungkinan puisinya pernah dimuat sebelumnya dengan menggunakan nama aslinya. Aku tinggal mencocokkan gaya menulisnya. Kebetulan, semua puisi di koran lokal itu kukliping dengan baik.

Berhari-hari aku telusuri koleksi puisi koran lokal itu satu per satu. Akhirnya, aku bisa mendapatkan tiga nama yang memiliki gaya mirip dengan gaya puisi Jingga. Semuanya laki-laki dan aku kenal. Sekarang, tinggal aku tanyakan ke redaktur pengasuh rubrik puisi di koran lokal itu. Aku kenal baik dengannya. Pasti dia tidak akan mau menyebutkan nama asli Jingga, tapi aku punya cara. Duh, kenapa kemarin aku sembrono dan terburu-buru? Mestinya ini yang aku lakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun