Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ia yang Menerobos Hujan

7 Oktober 2020   20:45 Diperbarui: 7 Oktober 2020   20:49 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku harus menemui Rara!

***

Sore yang hangat. Di sinilah aku kini: di muka pintu rumah Rara. Rumah itu masih seperti beberapa tahun lalu. Terasnya luas, tempat kami belajar bersama dulu. Pokok mangga, kemuning, dan kembang sepatu di pekarangan. Itu yang kuingat. Kembang sepatu itu dulu pernah kupakai untuk bermain sulap. Kuambil warna kembang itu dengan air hangat. Lalu kuubah warnanya yang merah menjadi ungu atau hijau dengan cairan tertentu. Teman-temanku takjub dan bertanya bagaimana bisa. Kujawab saja, ada di pelajaran kimia. Mereka penasaran. Aku diamkan. Cuma Rara yang tak begitu tertarik dengan sulapku. Dia lebih tertarik pada puisi-puisiku.

Aku mengetuk agak kuat. Atau terlalu kuat? Masih kuingat pesan Rara agar mengetuk pintu rumahnya dengan kuat. Sering tak terdengar dari dalam, katanya. Entah mengapa tak dipasang bel saja.

Senyap. Aku mengetuk sekali lagi. Lebih kuat. Tak lama, gagang bergerak, pintu terbuka. Seraut wajah melongok dari balik pintu. Rara. Aku tersenyum. Ia terkesiap. Indah.

"Baang..."

Suaranya menggantung dan gemetar. Ah, dia masih memanggilku dengan panggilan itu! Darahku menghangat.

"Tumben..... sebentar..." Ia kembali menutup pintu. Kurasa, ia merapikan diri. Beberapa menit kemudian pintu kembali terbuka. Dengan isyarat tangan yang jelas tampak gugup ia menyilakan aku duduk di kursi teras.

Ia tak berubah. Sama sekali. Mungkin karena memang belum terlalu lama kami tak berjumpa. Baru sekitar lima tahun. Kumulai percakapan dengan bertanya apa kabarnya. Iapun membalas dengan pertanyaan serupa. Lalu berlanjut kepada hal-hal yang ringan. Saling bertukar cerita tentang kejadian semasa belajar bersama dulu dan berbagi kisah yang dialami belakangan ini. Percakapan yang biasa antara dua orang yang lama tak jumpa.

"Masih nulis puisi?", tanyanya. Pertanyaan yang mengakhiri percakapan basa-basi kami. Ini saatnya, pikirku.

"Masihlah...", jawabku seraya sedikit mengangguk. Aku tak lagi mengirimkan puisi ke koran lokal, melainkan ke koran nasional. Mungkin ia tak mengikuti. Mungkin juga ia tahu, tapi sengaja bertanya seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun