Sekali itu saja Rara bercerita tentang fantasinya. Sesudahnya, tak pernah. Mungkin karena kami tak pernah lagi belajar berdua saja seperti sore yang dibasahi hujan tipis itu. Mungkin juga karena kami mulai merasa semakin diburu masa ujian yang semakin dekat, sehingga lebih banyak menggunakan waktu untuk belajar. Tak ada perubahan sikap yang dapat kutangkap dari Rara. Ia masih seperti biasa. Banyak cakap. Banyak tanya. Banyak tawa. Atau mungkin aku yang tak peka?
Dua minggu sebelum ujian Rara berpamitan dari kelompok belajar. Ia ingin fokus mempersiapkan diri di rumah. Sesudah itu, tak pernah lagi aku bercakap-cakap lama dengannya, hingga tiba hari kelulusan. Kami bukan teman sekelas. Sesekali saja saling sapa saat berpapasan. Rumahnya tak jauh dari rumahku. Tetapi tak terlintas pikiran untuk mengunjunginya. Betul-betul ia kuanggap kawan belajar bersama semata.
Waktu membuat Rara semakin jauh. Aku kuliah di perguruan tinggi ternama. Rara di perguruan tinggi swasta. Bolehlah aku membanggakan diri sedikit. Aku cukup cerdas. Mungkin karena semasa kecil bapakku suka membelikanku gulai otak sapi. Menurut Bapak makan otak sapi bagus untuk kecerdasan. Entah dapat ilmu dari mana ia. Tapi aku pemalas. Untunglah Rara mengajakku belajar bersama. Kalau tidak, kemalasanku mungkin akan membuatku tak lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri.
Dan waktu membuat Rara semakin buram dalam ingatan. Ia bak seseorang di tengah kabut. Masih dalam jarak pandang. Tak benar-benar hilang, tapi tak pula jelas sosoknya. Sampai suatu hari mataku tertumbuk pada satu puisi di koran lokal: Ia yang Menerobos Hujan. Ditulis oleh seseorang bernama Jingga. Aku berdesir. Rara kah?
Pelan-pelan kusapu kabut yang memburamkan Rara agar jelas kutangkap lagi parasnya. Senyum, tawa, sorot mata, kerling, kerjap, suara, tarikan dan hembusan napas. Kusunyikan hati dari riuh rendahnya hari ini agar dapat kudengarkan lagi obrolan yang dulu.
Pernah suatu ketika kami mempercakapkan nama. Kukatakan kepadanya, bahwa dalam Bahasa Tapanuli, rara berarti merah. Ia tertawa.
"Iya, memang itu artinya."
Iapun bercerita bahwa ketika lahir kulitnya tampak merah. Lebih merah dibandingkan umumnya bayi. Ibunya ingin memberi nama yang unik. Pernah terpikir Delima, tapi sangat terkesan buah. Belum tentu pula Delima berwarna merah. Mawar? Terlalu biasa. Ibunya lantas mencari kata merah dalam bahasa daerah. Abang, dalam Bahasa Jawa. Sangat tak kena. Beureum, dalam Bahasa Sunda. Tak enak. Pencarian sang ibu akhirnya berhenti pada: Rara.
Tapi yang menulis puisi ini bernama Jingga. Bukan merah. Memang keduanya berdekatan. Warna merah pada pelangi diikuti oleh jingga. Panjang gelombang keduanya berdekatan. Mungkin itu sebabnya Isaac Newton tak segera berhasil mengidentifikasi warna jingga saat ia mempelajari spektrum warna cahaya. Ah, kenapa jadi ilmiah begini?
Mungkinkah Rara tak terlalu berani berterus terang sehingga meminjam warna yang dekat dengan warna yang menjadi namanya? Tapi mungkin memang bukan Rara penulisnya. Apa lagi, setahuku, Rara tak pernah menulis puisi.Â
Kubaca puisi yang tercetak pada koran lokal itu: