Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ia yang Menerobos Hujan

7 Oktober 2020   20:45 Diperbarui: 7 Oktober 2020   20:49 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berkali-kali purnama berganti. Kupenuhi janji. Tak lagi kuabaikan Rara. Setiap ada kesempatan kutemani dia: ngobrol, bercanda, jalan, belanja, atau menemui seseorang. Ketika akhirnya aku harus bekerja di kota lain, selalu kucari waktu untuk pulang menemuinya. Orang mengira kami sepasang kekasih. Termasuk orang tua Rara. Mungkin Rara pun merasa begitu. Aku tidak.  Aku menyayangi dia. Pasti. Tapi tak akan aku menjadi kekasihnya. Aku hanya akan menemani Rara sampai ia menemukan lelaki sejatinya. Itulah yang beberapa kali kulakukan. Kuperkenalkan ia kepada beberapa temanku. Sia-sia.

Pelik. Atau aku yang sengaja membuatnya pelik? Bukankah ini kenyataan yang mudah saja? Apa susahnya? Itulah yang aku tak pahami. Seperti ada satu ganjalan. Ada satu perkara yang entah apa yang belum kutemukan jawabannya. Masih ada satu lagi gelap yang menagih terang. Tapi gelap yang satu ini sangatlah rumit. Aku tak tahu apa yang gelap itu. Bagaimana mungkin terang kudapatkan? Walau begitu, aku mengerti, tak boleh selamanya begini. Meski tak dengan cinta, aku akan melamar Rara suatu hari nanti. Akan kubuatnya bahagia.

Ayah dan Emak memintaku menemani mereka menengok rumah kami di pulau seberang. Rumah tempat aku dan adik-adikku dilahirkan. Sudah sekitar enam bulan ini rumah itu kosong. Paman, adik bungsu emak, yang biasa mendiami rumah itu telah pindah ke pulau lain, bekerja di tambang batubara. Semasa aku kelas dua sekolah menengah pertama, Ayah memutuskan meninggalkan kampung halaman.  Ia seorang saudagar. Dilihatnya peluang yang lebih besar di kota yang lebih maju. Maka, dibawanyalah kami pindah ke kota itu. Perhitungan Ayah rupa-rupanya direstui oleh langit. Kehidupan kami bertambah makmur. Dalam tiga tahun Ayah sudah berhasil membeli rumah. Rumah tempat aku belajar bersama Rara dan teman-teman.

Seminggu kemudian kami bertiga sudah di tanah kelahiran. Rumah yang kami tinggalkan tampak terpelihara. Bagus betul paman memegang amanah. Tak banyak tumbuhan liar di pekarangan. Sebelum paman pindah Ayah memintanya untuk mencari seseorang untuk membersihkan bagian luar rumah. Bukan perkara susah, asalkan ada imbalannya.

Bagian dalam rumah rapi, tapi berdebu. Wajar. Sudah enam bulan kosong. Setelah rehat beberapa waktu kami membersihkan setiap bagian rumah dan perabotan dari debu. Di sebuah lemari aku menemukan beberapa album foto. Kuhentikan pekerjaan dan mulai membuka album foto itu satu per satu. Sesekali aku tersenyum teringat kenangan yang kembali ditayangkan oleh foto-foto itu.

Tiba-tiba aku terhenti pada selembar foto hitam putih. Fotoku dan seorang anak perempuan. Darahku berdesir. Ia seperti seseorang yang akrab kukenal. Tapi siapa? Aku mencoba mengingat-ingat. Aku seperti melihat beberapa tayangan yang buram. Pertama, anak-anak yang berlarian, lalu berganti anak-anak yang bermain lompat tali, berganti lagi menjadi anak-anak yang menyeruput es serut yang diberi sirup merah, sekejap kemudian tayangan berganti kepada adegan seorang anak perempuan yang berdiri dengan wajah agak tertunduk malu. Buram, tapi seperti wajah anak perempuan di foto itu. Tapi, siapa dia? Keras kucoba mengingatnya. Percuma.

Kutunjukkan foto itu kepada Emak.

"Emak, ingat foto ini?"

Emak melihat, diam beberapa saat, lalu mengangguk.

"Ingat. Kau kira-kira kelas dua esde"

"Siapa anak perempuan ini?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun