Kutemui sang redaktur di rumahnya. Sekali dua kami memang banyak mengobrol soal sastra dan seni. Kuutarakan maksudku. Benar saja, ia keberatan untuk menyebutkan siapa nama asli Jingga. Jadi, kukatakan kepadanya bahwa aku akan menyebut satu nama. Kalau itu nama asli Jingga ia kuminta diam saja, sehingga ia tak melanggar kode etik. Ia setuju. Lalu kusebut satu nama. Singkat ia menjawab, "bukan." Celaka!
Padaku kini tersisa dua nama. Bisa saja kedua-duanya bukanlah Jingga. Bagaimanapun, aku harus mencoba peruntungan. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku memilih satu nama untuk kukunjungi terlebih dahulu. Ia kukenal sebagai penyair yang sering menulis puisi romansa, asmara, patah hati, dan yang semacam itu. Sangat bertolak belakang denganku. Semula nama dia yang ingin kuajukan kepada sang redaktur, tapi aku ragu. Dibandingkan dengan penulis pertama, gayanya kalah mirip.Â
Setelah berhasil membuat janji, aku pun bertemu dengannya. Ia kira-kira sebaya denganku. Tapi nampaknya kualitas puisinya masih di bawahku. Aku sudah menembus koran nasional. Bahkan, puisiku pernah dimuat di majalah sastra ternama. Â Sementara, ia masih tertahan di koran lokal. Muzi, nama lelaki itu.
Singkat cerita, kutunjukkan fotokopi guntingan koran berisi puisi "Ia yang Menembus Hujan".
"Ini puisi Bang Muzi?"
Ia, kutahu, berasal dari tanah Melayu. Jadi, walaupun kira-kira sebaya, kupanggil saja dia Abang. Kukira ia akan terperanjat dan menghindar. Tidak. Ia malah tertawa kecil. Tampak riang.
"Saya dah sangka, Abang pasti bisa pecahkan teka-teki ini." Aku tersentak. Ia melanjutkan.
"Betul cakap budak perempuan tu, Abang punya akal boleh tahan. Ai kiu macam Einstein!"
Dia terbahak. Aku terbelalak.
"Jadi, Abang kenal Rara?"
 "E, mana boleh tidak! Emak dia dan emak saya bersaudara. Dia adik sepupu saya!"