(QS. Al-Insyirah, 94:5-6)
Ayat ini mengajarkan bahwa penderitaan bukanlah akhir dari segalanya. Setiap kesulitan membawa hikmah dan kemudahan, asalkan manusia mau bersabar dan tetap berusaha. Perspektif ini memberikan pandangan optimis terhadap realitas penderitaan, bahwa di balik setiap musibah terdapat rahmat yang tersembunyi.
9. Penderitaan sebagai Jalan Menuju Kesempurnaan
Penderitaan dalam Islam bukanlah bentuk hukuman semata, tetapi sarana untuk mencapai kesempurnaan diri. Dengan pendekatan filsafat, Islam menghubungkan penderitaan dengan hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk fana. Melalui sufisme, penderitaan menjadi jalan untuk mencapai cinta dan pengenalan hakiki terhadap Allah. Dimensi sejarah dan antropologis menunjukkan bagaimana penderitaan kolektif dapat membangun solidaritas dan institusi sosial yang berkeadilan.
Dalam pandangan Islam, penderitaan adalah pengingat akan kelemahan manusia dan kekuasaan mutlak Allah. Namun, penderitaan juga membawa harapan, bahwa setiap ujian yang Allah berikan selalu mengandung hikmah dan kemudahan. Dengan pemahaman ini, Islam memberikan panduan yang terstruktur dan penuh harapan untuk memahami dan mengatasi penderitaan, sambil terus mendekatkan diri kepada tujuan akhir: keridhaan dan kebahagiaan abadi di sisi-Nya.
10. Penderitaan dalam Dimensi Antropologis dan Sejarah Islam
Dalam dimensi antropologis, penderitaan dalam Islam tidak hanya bersifat individu, tetapi juga melibatkan masyarakat secara kolektif. Sejarah Islam penuh dengan contoh umat yang menghadapi penderitaan secara bersama-sama, seperti ketika umat Muslim di Mekkah menderita akibat siksaan Quraisy atau ketika mereka berjuang dalam perang-perang besar seperti Perang Badar dan Uhud. Penderitaan ini, meskipun tampak sebagai ujian fisik, justru mempererat persaudaraan umat, meningkatkan solidaritas sosial, dan memperkuat komitmen spiritual mereka.
Dimensi antropologis dan sejarah Islam menunjukkan bagaimana penderitaan membentuk identitas dan solidaritas umat. Sejarah peradaban Islam penuh dengan contoh umat yang menghadapi penderitaan kolektif, seperti pada masa hijrah Nabi Muhammad saw. dari Mekkah ke Madinah, di mana umat Islam mengalami siksaan, pengusiran, dan kesulitan ekonomi.
Namun, dari penderitaan itu muncul solidaritas yang kuat antara kaum Muhajirin (pendatang dari Mekkah) dan Anshar (penduduk Madinah). Solidaritas ini menjadi dasar pembentukan masyarakat Madinah yang berkeadilan dan berkeadaban. Penderitaan juga mendorong umat untuk menciptakan institusi yang melayani kemanusiaan, seperti baitul mal (lembaga keuangan publik), sistem wakaf, dan rumah sakit Islam.
Kisah Khalifah Umar bin Khattab juga menggambarkan bagaimana penderitaan memunculkan empati dan kebijakan yang berpihak pada keadilan sosial. Umar dikenal sering menahan diri dari makan saat rakyatnya kelaparan, sebagai bentuk solidaritas terhadap penderitaan mereka
Salah satu tokoh penting lainnya yang memerankan dimensi ini adalah Imam Ali bin Abi Talib, yang meskipun menderita dalam berbagai pertempuran dan konflik, selalu mengingatkan umat untuk menghadapi penderitaan dengan kesabaran dan keikhlasan. Pengalaman sejarah ini memberi pelajaran penting bahwa penderitaan kolektif dapat memperkuat ikatan umat dan mengarah pada pembentukan masyarakat yang lebih berperikemanusiaan, penuh solidaritas, dan saling mendukung.