Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Penderitaan sebagai Inti Eksistensi

18 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 18 Desember 2024   19:00 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Islam menawarkan panduan hidup yang terstruktur dan terkodifikasi melalui ajaran Al-Qur'an dan Hadis, yang menekankan makna ujian sebagai jalan menuju kedekatan dengan Tuhan serta keseimbangan sosial. Buddhisme menghadirkan solusi introspektif dan praktis melalui Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang berfokus pada pelepasan keterikatan sebagai cara untuk menghentikan penderitaan. Sementara itu, atheisme menyoroti pentingnya pendekatan rasional dan empiris, dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan etika humanistik untuk menciptakan solusi yang berorientasi pada dunia nyata.

Namun, masing-masing pendekatan memiliki kelemahan jika berdiri sendiri. Islam dan Buddhisme memiliki basis spiritual yang kuat tetapi memerlukan konteks adaptasi untuk tantangan modern. Atheisme menawarkan rasionalitas yang tajam tetapi sering kali kekurangan pijakan moral yang terkodifikasi dan panduan transformatif yang mencakup dimensi spiritual.

Kolaborasi dan sintesis dari ketiga perspektif ini dapat memberikan kerangka yang lebih holistik untuk memahami dan mengatasi penderitaan. Sebuah kerangka yang mengintegrasikan nilai-nilai spiritual, kebijaksanaan praktis, dan inovasi ilmiah dapat membimbing manusia menuju utilitas tertinggi dalam segala kondisi.

Kesimpulannya, manusia memerlukan panduan yang tertulis, terstruktur, dan terkodifikasi untuk menavigasi realitas penderitaan. Sebuah sintesis multidimensi, yang melibatkan kolaborasi lintas ideologi, berpotensi membangun fondasi peradaban baru yang lebih resilien, bermakna, dan mampu menciptakan kesejahteraan bagi semua umat manusia. Upaya ini bukan hanya sekadar tujuan intelektual, tetapi juga panggilan moral untuk menjawab tantangan eksistensial yang mendalam.

Penutup

Penderitaan adalah bayang-bayang yang tak pernah jauh dari manusia. Ia muncul di balik gelap malam yang sepi, berbisik di antara keramaian kota yang bising, dan menunggu di ujung setiap tawa, mengingatkan kita bahwa kehidupan ini, pada hakikatnya, penuh dengan tantangan yang harus dihadapi. Kita terlahir menangis, dan sepanjang hidup kita membawa beban kerentanan---kerapuhan tubuh, keluh kesah jiwa, hingga kerinduan pada sesuatu yang lebih besar dari diri kita.

Namun, manusia bukan makhluk yang menyerah pada penderitaan begitu saja. Di tengah gelapnya realitas, ada cahaya pencarian yang tak pernah padam. Kita bertanya, merenung, dan mendobrak batas-batas akal untuk memahami mengapa penderitaan itu ada dan bagaimana kita bisa mengatasinya. Beberapa dari kita mencari jawabannya dalam kitab suci dan petunjuk ilahi, sementara yang lain menemukan kebijaksanaan dalam keheningan meditasi atau keagungan hukum alam. Semua ini adalah bagian dari perjuangan yang sama: mencari makna di tengah rasa sakit, menemukan harapan di bawah beban kesulitan.

Islam, Buddhisme, dan atheisme menawarkan lensa yang berbeda untuk menatap penderitaan, tetapi pada intinya, mereka berbicara tentang perjuangan manusia yang sama. Islam mengajarkan kita bahwa penderitaan adalah ujian, sebuah panggilan untuk sabar, syukur, dan upaya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Buddhisme mengajarkan bahwa penderitaan adalah akibat dari keterikatan, yang dapat dihentikan dengan kebijaksanaan dan disiplin. Atheisme, dengan rasionalitasnya, mengajak kita untuk menatap penderitaan secara realistis dan menciptakan solusi konkret untuk meringankannya.

Namun, betapa seringnya kita, dalam perbedaan cara pandang ini, lupa bahwa tujuan kita adalah sama. Kita semua mendambakan dunia di mana penderitaan dapat diminimalkan, di mana manusia tidak hanya sekadar bertahan hidup, tetapi benar-benar hidup dengan bermakna. Tidakkah mungkin, di tengah perbedaan ini, ada peluang untuk saling belajar dan menciptakan sintesis yang lebih kuat? Tidakkah, pada akhirnya, kita semua berada di jalan yang sama---berusaha memahami diri kita, semesta ini, dan alasan mengapa hidup ini begitu sulit sekaligus begitu indah?

Mungkin penderitaan adalah anugerah yang tak kita mengerti sepenuhnya, sebuah undangan untuk tumbuh melampaui batas-batas diri kita. Mungkin ia adalah cermin yang memantulkan kerapuhan kita sekaligus potensi terbesar kita untuk menemukan kebijaksanaan, cinta, dan pengharapan. Dan mungkin, dengan mengulurkan tangan satu sama lain, manusia dapat mengubah penderitaan itu menjadi landasan bagi peradaban baru yang lebih bijaksana, lebih peduli, dan lebih berarti.

Maka, ketika kelak kita menatap langit malam yang luas, dengan segala pertanyaan dan kesedihan yang menggelayuti jiwa, kita tahu bahwa meskipun tak ada jawaban yang sempurna, perjalanan mencari itu sendiri adalah bukti bahwa kita, manusia, adalah makhluk yang luar biasa. Kita mungkin rapuh, tetapi kita tak pernah berhenti berjuang. Dan di situlah letak keagungan kita---di tengah penderitaan, kita terus mencari makna, terus menulis cerita kita, terus melangkah menuju cahaya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun