(Ibn Arabi, Futuhat al-Makkiyyah)
Pandangan ini menempatkan penderitaan sebagai katalis untuk pencerahan eksistensial, di mana manusia mulai memahami tujuan hidupnya dalam bingkai takdir Ilahi.
7. Penderitaan sebagai Jalan Ma'rifatullah
Sufisme memberikan dimensi mendalam terhadap makna penderitaan melalui konsep ma'rifatullah (pengenalan terhadap Allah). Para sufi memandang penderitaan sebagai jalan untuk mencapai cinta dan pengenalan hakiki terhadap Allah. Jalaluddin Rumi, salah satu tokoh sufi terbesar, menggambarkan penderitaan sebagai alat untuk menghancurkan ego dan membuka hati manusia kepada realitas Ilahi.
"Luka adalah tempat di mana cahaya Allah masuk ke dalam dirimu."
(Rumi, Matsnawi)
Dalam tradisi sufi, penderitaan diterima dengan kerelaan hati (rida), bahkan dirayakan sebagai kesempatan untuk meleburkan diri dalam kehendak Allah. Kisah hidup Rabiah Al-Adawiyah, seorang sufi perempuan terkemuka, menjadi contoh nyata bagaimana penderitaan dapat menjadi sarana untuk mencapai cinta Ilahi yang tulus. Rabiah memilih untuk tidak meminta Allah menghilangkan penderitaan, melainkan memohon agar penderitaan itu mendekatkannya kepada cinta-Nya.
Para sufi juga mengajarkan fana' (lenyapnya ego) dan baqa' (kekal dalam cinta Ilahi) sebagai tujuan tertinggi dari perjalanan spiritual. Dalam proses ini, penderitaan dianggap sebagai proses penyucian yang membawa manusia kepada kesadaran penuh akan hakikat dirinya dan Tuhannya.
8. Hikmah dan Harapan dalam Penderitaan
Dalam Islam, penderitaan selalu disertai dengan janji harapan. Allah berfirman:
"Karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan."