Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Penderitaan sebagai Inti Eksistensi

18 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 18 Desember 2024   19:00 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Penderitaan Sebagai Inti Eksistensi: Pendekatan Metafisik, Antropologis, dan Pragmatis dalam Islam, Buddhisme, dan Atheisme":

Abstrak

Penderitaan adalah realitas universal yang melekat pada kehidupan manusia, melintasi batas agama, filsafat, dan ideologi. Artikel ini mengkaji penderitaan sebagai inti eksistensi dari perspektif Islam, Buddhisme, dan atheisme, dengan pendekatan analitik dan komparatif. Islam memandang penderitaan sebagai ujian ilahi yang bertujuan membentuk karakter spiritual manusia dan mengarahkan mereka menuju kebahagiaan abadi di akhirat. Buddhisme mengidentifikasi penderitaan (dukkha) sebagai inti dari siklus kehidupan dan keterikatan, menawarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai metode untuk mengatasinya. Atheisme, di sisi lain, menganggap penderitaan sebagai konsekuensi evolusi tanpa tujuan metafisik, mengandalkan pendekatan berbasis sains dan teknologi untuk mereduksi dampaknya.

Artikel ini tidak hanya mengidentifikasi persamaan dan perbedaan di antara ketiga perspektif, tetapi juga mengeksplorasi potensi sintesis untuk memberikan solusi terstruktur dan terkodifikasi yang dapat diadaptasi secara universal. Dengan mengintegrasikan dimensi metafisik, antropologis, dan pragmatis dari setiap perspektif, artikel ini menawarkan model kolaborasi lintas tradisi untuk memahami, mengatasi, dan memberikan makna atas penderitaan, serta mendorong pencapaian utilitas tertinggi dalam segala kondisi manusia. Artikel ini juga menyoroti pentingnya pendidikan lintas perspektif sebagai landasan untuk menghadapi tantangan eksistensial manusia di era modern.

Kata kunci: penderitaan, Islam, Buddhisme, atheisme, utilitas tertinggi, analisis komparatif, model kolaborasi.

Pendahuluan

Penderitaan adalah salah satu aspek paling mendalam dan mendasar dalam pengalaman manusia yang melintasi semua budaya, agama, dan pandangan dunia. Setiap individu, tanpa memandang latar belakang atau kepercayaannya, pasti berhadapan dengan kenyataan penderitaan dalam berbagai bentuk---baik itu kesedihan, kehilangan, sakit, atau ketidakadilan. Penderitaan ini menjadi ujian eksistensial yang tidak hanya menuntut pengertian mendalam, tetapi juga solusi yang memadai untuk menghadapinya. Namun, meskipun penderitaan adalah bagian yang tak terhindarkan dari kehidupan, jawaban atas pertanyaan tentang mengapa penderitaan ada dan bagaimana cara menghadapinya sangat bergantung pada keyakinan dan pemahaman filosofis atau religius masing-masing individu.

Dalam konteks ini, tiga perspektif besar---Islam, Buddhisme, dan atheisme---memberikan pendekatan yang sangat berbeda dalam memahami hakikat penderitaan dan cara menghadapinya. Islam mengajarkan bahwa penderitaan merupakan ujian dari Tuhan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas spiritual manusia dan mendekatkan mereka kepada-Nya. Buddhisme, melalui konsep dukkha, melihat penderitaan sebagai bagian dari siklus kehidupan yang tak terhindarkan, yang dapat diatasi dengan mengatasi keterikatan dan ketidaktahuan. Sementara itu, atheisme menganggap penderitaan sebagai bagian dari kondisi materialistik manusia yang dipengaruhi oleh faktor-faktor alamiah dan evolusi, tanpa adanya tujuan metafisik atau ilahi yang mendasari.

Namun, meskipun perbedaan yang jelas antara ketiga pandangan ini, ada kesamaan mendasar yang tidak dapat diabaikan: semua mengakui bahwa penderitaan adalah bagian integral dari pengalaman manusia yang memerlukan pemahaman dan cara-cara untuk mengatasinya. Dengan beragam pendekatan dan solusi yang ditawarkan, muncul pertanyaan mendasar yang belum terjawab secara komprehensif oleh masing-masing perspektif ini: Mengapa alam semesta muncul dalam bentuk yang memungkinkan penderitaan? Apakah penderitaan ini memiliki nilai intrinsik, atau hanya sekadar efek sampingan dari realitas yang lebih besar? Dan, yang tak kalah penting, bagaimana kita dapat menemukan utilitas atau makna di tengah realitas penderitaan ini?

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji fenomena penderitaan dari tiga perspektif tersebut: Islam, Buddhisme, dan atheisme. Dengan pendekatan komparatif, artikel ini akan membahas konsep-konsep mendalam tentang penderitaan yang ada dalam masing-masing tradisi, serta mengeksplorasi kemungkinan untuk menemukan sintesis antara mereka yang dapat memberikan pemahaman lebih luas dan solusi yang lebih terstruktur untuk mengatasi penderitaan. Analisis ini tidak hanya melibatkan perbandingan teoretis, tetapi juga mengusulkan kolaborasi lintas tradisi yang dapat memberikan makna lebih dalam dan utilitas yang lebih tinggi dalam menghadapi penderitaan manusia.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memberikan panduan yang lebih komprehensif tentang bagaimana manusia dapat memahami dan mengatasi penderitaan melalui pendekatan yang lebih terstruktur, tidak hanya berdasarkan ajaran agama atau filsafat tertentu, tetapi juga dengan mengintegrasikan berbagai perspektif untuk mencapai pemahaman yang lebih holistik. Dengan demikian, artikel ini berharap dapat berkontribusi pada pengembangan pemikiran interdisipliner yang membuka jalan bagi kolaborasi global dalam menghadapi tantangan eksistensial yang dihadapi umat manusia.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun