"Udud, Bas? Nyah..." Mat Wiji menyorongkan kotak tembakaunya yang dengan halus kutolak.
"Aku mau, Pak." Seru Markuat buru-buru bangkit dari posisinya, mendekati kami dan mengambil kotak tembakau itu dari tangan Mat Wiji.
Yang lain pun serentak merubungnya.
Di sebelahku, Mat Wiji menghembuskan asap rokoknya ke udara. Tangannya menggamitku ketika kemudian dia berkata:
"Hanya kau dan aku malam ini."
Sungguh, aku tak tahu apa maksudnya.
*****
Lewat tengah malam, sepertinya. Tidak ada apa-apa yang terjadi seperti malam sebelumnya ketika kelompok kami ini mulai berjaga. Mat wiji pun telah nganglang lagi, berkeliling untuk mengamati keadaan sementara yang lain setelah sama-sama menghirup kopi bebeg jagung, masing-masing memilih tempat sendiri-sendiri di sekitar makam yang kami jaga untuk merebahkan diri.
Lampu teplok telah kuganti karena ternyata Watim yang bertugas menggantinya justru telah tertidur dengan cepat. Memanglah kurang terang, tetapi bulan yang sepotong telah tergelincir ke arah barat dan justru cahayanya lebih membantu dibanding teplok yang telah berganti itu sehingga aku bisa mengerti keadaan tanah pekuburan yang gelap gulita itu. Mungkin juga karena mataku yang telah terbiasa.
Kuedarkan pandanganku. Tanah pekuburan ini sebenarnya sangat luas, lebih luas dari pemakaman di kampung-kampung tetangga yang rata-rata hanya unggul panjang. Tanah pemakaman ini justru berbentuk segi empat yang sama panjangnya dan letaknya lebih ke selatan mendekati bibir pantai. Selebar apapun, tetap saja hanya diisi bangkai, pikirku.
Pandanganku kemudian terhenti pada sebuah makam yang besar karena telah diberi dinding batu di sekitarnya dan atap tinggi yang hanya terlihat hitam. Makam keluarga Mbah Singa, seorang tetua di jaman kakekku dulu. Aku tertegun sebentar karena melihat sesuatu bergerak-gerak di sana, tepat di depan gerbang kecilnya yang menghadap ke arahku.