"Kemari kau," katanya setelah meletakkan puntung rokoknya pada sisi sebuah nisan.
Aku beringsut mendekat.
"Apapun yang terjadi nanti, jangan tunjukkan ketakutan, jangan berkata apapun, jangan lari dan jangan tutup matamu kecuali untuk berkedip. Jangan pula tutup hidung dan telingamu," katanya kemudian sambil mengeluarkan sebuah kantung dari saku celananya, membukanya dan menumpahkan isinya yang ternyata adalah tanah pada telapak tangannya. Diludahinya tanah itu, lalu dengan jari telunjuknya itu di sentuhnya sedikit-sedikit dan dioleskannya ke sekitar mata, hidung, telinga dan mulutku. Sisa tanah itu kemudaian diratakannya ke seluruh lengan dan kakiku.
"Apa ini, Pak?" tanyaku tambah berdebar.
"Tanah yang aku ambil dari kuburan bapakku."
"Biar?"
"Biar tidak digigit nyamuk," jawabnya seperti asal-asalan sambil tertawa terkekeh lagi.
"Jangan bercanda, Pak," kataku.
"Eh, betul ini," katanya lagi setelah selesai membaluri lengan dan kakiku dengan apa yang disebutnya tanah kuburan bapaknya. Lalu sambil menepuk-nepuk kepalaku mengucapkan sedikit mantra di telingaku: "Duh, Gusti kang murbing dumadi..mugi slamet jabang bayine Basuki."
Makin berdebar saja aku mendengar itu.
"Ada apa sih, Pak?"