Aku menggeremang.
Ada alasannya. Kata Mat Wiji ini malam terakhir, kesempatan terakhir juga buat para pencuri mayat yang mungkin sudah mengamati makam sialan itu sejak malam pertama. Menurut perhitungannya, segala resiko akan diambil oleh orang-orang pencari kesaktian atau pesugihan itu untuk mencuri mayat itu malam ini, karena setelah tujuh hari tidak akan ada yang akan mereka dapat kecuali mayat busuk dan tidak bertuah lagi.
Dengan menyalakan satu teplok, justru akan lebih mudah mengawasi dari tempat Mat Wiji kini bersembunyi agar keberadaannya itupun tidak diketahui orang-orang yang berniat buruk, sementara kami yang muda-muda dan sebagian besar memang penakut disuruhnya untuk berjaga di sekitar makam itu. Cara berpikir orang klenik memang tidak mudah dimengerti.
"Gemagus!" kudengar seseorang memaki dan suara kepala yang dikeplak, Gopar mengaduh, Mat Wiji tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya.
"Aku yakin belum sampai tengah malam nanti kau justru sudah tidur mendahului lainnya seperti malam kemarin!"
"Halah, aku pikir bapake lagi keliling. Tahu juga kalo lagi dirasani," kata Gopar lagi, yang lain tertawa.
Mat Wiji itu melompat dengan tubuhnya yang kecil dan ringan itu menyebelahiku. Tercium bau kemenyan dan miyak duyung dari tubuhnya membuatku sesak dan berdebaran. Aku yakin malam ini dia jadi lebih serius, justru di malam terakhir.
"Gawat," katanya kemudian.
"Gawat apane, Pak?" tanya Markuat yang sepertinya sangat santai tiduran di atas makam seseorang beberapa kaki dari makam yang kami jagai itu. Dua kakinya ditumpangkan di kepala nisan.
"Ada suara gaok di sudut barat, tapi aku belum yakin," jawab Mat Wiji serius sambil mengeluarkan kotak tembakau lintingannya.
Kami hanya diam, malah seperti sama-sama menunggu Mat Wiji selesai melinting rokoknya. Senen yang duduk menyendiri di sudut sebelah utara sampai perlu untuk beringsut mendekat pada jangkauan terang teplok.