"Sst..waktunya sudah hampir datang. Kau berani melihat mahluk gaib, kan?"
"Tidak."
"Sudah kebacut. Ndangak!"
Aku manut saja dan mengangkat wajahku sementara dia dengan sigap meneteskan sesuatu di kedua mataku. Aku sedikit mengaduh karena rasanya sangat-sangat pedih. Itu belum selesai, setelah itu dua telingaku pun ditiupnya.
"Pedih sebentar, nanti juga baik lagi."
Kukerjap-kerjapkan mataku untuk mengatasi rasa pedih itu dan membiasakan penglihatanku kembali. Kulihat dia tesenyum di depanku.
"Nah, coba kau tengok ke kiri," katanya, "ingat, jangan tutup mata, telinga atau hidungmu."
Masih manut, aku menuruti katanya itu. Awalnya sangat kabur walaupun jelas kulihat sesuatu. Sesuatu yang putih dan berada di atas makam Sagrip yang masih baru. Sesuatu itu makin jelas dan....apa yang kulihat kemudian itu membuatku terkejut setengah mati hingga aku sedikit terlonjak dari dudukku!
Jangkrik anyang-anyangen! Wedus bandot! Setan alas! Asu buntung, renganen! Hatiku memaki-maki tiada habis, tetapi mulutku tetap bungkam karena kejutan itu.
"Bagaimana?" tanya Mat Wiji masih terkekeh-kekeh.
Apa yang kulihat benar-benar belum pernah kubayangkan sama sekali. Dalam terang lampu teplok yang tidak seberapa itu, aku melihat sesosok lelaki tua tanpa busana yang sangat pucat sehingga putih seluruh tubuhnya, tengah duduk santai memandangi lampu teplok. Sesekali kulihat pula dia menyorongkan tubuhnya itu dan wajahnya mendekat pada api teplok lalu lidahnya keluar dan menjilati kaca torong penutup api!