Setelahnya kurasakan tekanan di kepalaku perlahan-lahan berkurang dan kemudian lenyap sama sekali. Masih merasakan pegal pada leherku, aku mencoba mendongakkan kepalaku ke atas. Tidak kulihat apapun.
Syukurlah, pikirku. Satu penampakan yang menyeramkan lagi, aku pikir aku akan bisa kapok. Tanganku mengusap-usap rambut dan wajahku. Hanya keringat saja, tidak ada cairan berbau busuk yang kurasakan tadi. Keteganganku sedikit sirna.
Sepertinya masih beberapa jam lagi hingga pagi, pikirku ketika merasakan perangai hawa berubah tiba-tiba. Angin berhembus cukup kencang menggoyangkan batang dan daun kamboja hingga bunga-bunganya berguguran. Beberapa berjatuhan di atas tubuh Senen yang tertidur di bawah pohon kamboja yang berdekatan dengan salah satu makam yang ditidurinya. Mataku melirik lagi pada hantu sirep yang tua dan telanjang itu. Perasaanku sudah biasa saja, apalagi dengan keyakinan bahwa dia tidak akan menggangguku.
Saat kemudian aku sedikit menggeser dudukku, anak perempuan yang tadi menamparku tiba-tiba muncul lagi di hadapanku. Berjongkok dengan kedua tangannya menopang dagu, memperhatikanku.
"Eh?" hanya itu lagi yang kuucapkan, sama seperti ketika bertemu dengannya untuk pertama kalinya.
"Belum mau pulang kamu?" tanyanya ketus.
Aku surut ke belakang beberapa jengkal hingga punggungku membentur kaki Watim. Aku justru sedikit takut dan masih terbayang dengan tangan kecilnya yang mampu menjatuhkanku dengan sekali tamparan.
"Mau ditampar lagi? Jangan berlagak pahlawan!"
Aku diam saja menatapnya. Dia mendekat dan ditariknya kedua tanganku dengan kasar kemudian diendusnya. Kulihat wajahnya seperti menahan marah..
"Wiji itu...." katanya dengan marah. Sepertinya dia membaui tanah kuburan yang dilumurkan oleh Mat Wiji. Seketika timbul keberanianku.
"Kenapa? Bau tanah kuburan?" tanyaku menarik kedua tanganku.