Mohon tunggu...
Ari Fakhrizal
Ari Fakhrizal Mohon Tunggu... Guru - Guru

Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku, Kau, dan Ayah

24 Juni 2024   12:46 Diperbarui: 24 Juni 2024   13:45 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku, Kau Dan Ayah

 Bel pulang berbunyi, jam di tangan sudah menunjukkan pukul 12.00 siang. Matahari telah menunjukkan keperkasannya dengan pancaran sinar panasnya yang hampir membakar kulit. 

Pulang menyusuri sisi jalan, berjalan tak tentu arah, mataku terus menatapi totoar jalan membayangkan kedua orang tuaku yang akan berpisah, teriakan mereka saat bertengkar memekakan telingaku, membuat seisi rumah bagaikan neraka bagiku.  Di tambah lagi cemoohan tetangga yang setiap hari membicarakan diriku dan kedua orangtuaku. Aku sudah tak tahan lagi, ingin aku rasanya pergi dari rumah. Hatiku terus menjerit.

"Sa..., Salsa..."! Sahut Rani teman kelasku.

"Sa, aku lihat dari tadi kau muruuung... terus, ada apa sih! pasti lagi ga punya duit ya!" Tanya Rani. "Ah... tidak!" 

"Lalu kenapa dong?" Tanya Rani kembali.

"Tidak apa-apa, cuma akhir-akhir ini nilaiku anjlok terus nih!" jawabku menyembunyikan permasalahannya pada Rani.

"Oh gitu, setahuku nilaimu memang selalu jelek kan, he .. he ...he ...!

"Ran, kita main yuk"?  Ajakku

"Main kemana"? Tanya Rani

"Main kemana aja deh yang penting tidak pulang ke rumah, bete nih." sejenak Rani terdiam.

"Aduh ..., sorry deh Sa, sepertinya tidak bisa, hari ini aku ada les piano." ungkap Rani. "Ya sudah tidak apa-apa."  Sedikit kecewa.

"Oh iya, gimana kalau kamu ikut bergabung dengan band musikku nanti, kamu bisa menjadi backing vokal kami, aku pernah mendengar kamu bernyanyi dan suaramu bagus." kata Rani, berharap agar aku dapat ikut di band musiknya.

"Aku pikir-pikir dulu deh Ran"! tolakku halus. Tiba-tiba datanglah Mercedes hitam menghampiri kami.

"Nah itu jemputanku sudah datang, aku pulang dulu ya, jangan lupa DM aku ya". "Iya!" jawabku sambil melambaikan tangan ke padanya yang pergi dengan mobil jemputannya.

Kulangkahkan kembali kakiku untuk pulang meski terasa berat namun aku berusaha untuk bertahan, sesampainya di halaman rumah  langkahku terhenti, seperti biasa kuamati setiap sudut rumah memastikan tidak terjadi apa apa, dengan perlahan aku berjalan masuk dan membuka pintu rumah. "Prak" terdengar suara piring pecah, seperti yang sudah aku duga, ayah dan bunda kembali ribut bertengkar, kulihat piring dan gelas pecah berserakan dilantai.

"Pergi dan tinggalkan rumah ini, aku tidak sudi lagi." Teriak bunda pada ayah. Pertengkaran keduanya terhenti saat aku memasuki rumah. Lalu ayah menoleh dan menatapku.

"Masuk kamar sana!" ayah memintaku untuk tidak melihat pertengkaran keduanya. Aku berlari menuju kamar tanpa mengeluarkan sepatah katapun, aku menangis sejadi-jadinya. Pertengkaran ayah dan bunda kembali berkecamuk. Aku berusaha menutup telinga mencoba untuk tidak mendengar pertengkaran mereka, namun sa-sia saja, mereka terus bertengkar satu sama lain saling melontarkan cacian makian. Aku berontak dan keluar dari kamarku lalu berteriak

"Diaaaaam .....!" teriakku lantang. "Sampai kapan ayah dan bunda akan terus seperti ini, Salsa muak 'Yah, Salsa capek mendengar kalian berdua bertengkar terus. Salsa tidak tahan lagi 'Yah, jika ayah dan bunda seperti ini terus, Salsa akan meninggalkan rumah." ancamku pada keduanya. Aku berlari menuju kamar. Air mataku terus mengalir membasahi pipi, sambil menangis kukemasi barang-barangku lalu pergi meninggalkan rumah.

"Salsa mau kemana kamu,?" tanya ayah.

"Salsa mau pergi 'Yah," jawabku  

"Tidak..., tidak ada yang boleh meninggalkan rumah. Menurutmu meninggalkan rumah itu solusi!" Ancam ayah

"Iya, setidaknya dengan meninggalkan rumah Salsa bisa mencari ketenangan diluar sana. Salsa sudah tidak tahan lagi Yah, melihat kalian setiap hari bertengkar terus, Salsa malu, apakah ayah dan bunda tahu setiap hari tetangga kita membicarakan kita terus. Salsa malu yah."

"Ini semua ulah ayahmu." Sahut bunda.

"Dengar Sa, apa yang dikatakan bundamu itu tidak benar, itu bohong. Salsa tahu kan kalau selama ini ayah tidak pernah berbohong." Ungkap ayah mencoba meyakinkanku.

"Apa bohong katamu, lalu bagaimana kamu bisa jelaskan padaku tentang ini huh...!." Teriak bunda sambil melemparkan handphone yang terdapat foto ayah dengan seorang wanita.

"Wanita apa?" Kata ayah sambil mengerutkan dahi.

"Apa chat di IG itu belum menjadi cukup bukti bahwa selama ini kau telah menghianatiku?" kata bunda.

"Bicara apa kamu?" Sahut ayah yang hampir saja melayangkan tangannya ke wajah bunda. "Sudah...sudah... cukup! Teriakku melerai mereka.

"Salsa pergi Yah!" Tanpa berkomentar aku meninggalkan rumah. Ayah beranjak menghampiriku dan berusaha mencegah.

"Salsa .., Salsa ... dengarkan ayah nak, sebenarnya ayah ingin menyampaikan sesuatu yang ayah rahasiakan selama ini, tapi ayah merasa belum saatnya untuk ayah sampaikan padamu." Terang ayah.

"Sudahlah Yah, apalagi yang ayah mau jelaskan pada Salsa. Kebohongan ayah sudah menghancurkan kepercayaan dan cinta Salsa pada ayah selama ini. Jangan cari kemana Salsa akan pergi." Pintaku sembari menenteng tas ranselku dan berlari meninggalkan rumah, terdengar sahutan bunda memanggil namaku. namun tak kuhiraukan panggilan itu, aku terus berlari mengikuti arah angin berhembus.

Seharian sudah kuberjalan tanpa arah dan tujuan, berhenti di stasiun yang satu pindah ke stasiun yang lain hanya untuk beristirahat menghilangkan rasa lelah. Kemudian kembali meneruskan perjalanan dan tibalah aku di sudut kota, berjalan menyusuri emperan toko tua tak berpenghuni. 

Badanku mulai terasa lemas kakiku pun sudah tidak sanggup melangkah, semakin lama langkahku semakin melemah. Pandnganku pun sudah mulai kabur.

 Lalu aku terjatuh tak sadarkan diri, aku terbaring lemas tepat di samping toko kue. Dengan setengah pingsan aku mencoba untuk bertahan namun sudah tak sanggup lagi, aku tak bisa lagi menahan rasa lapar dan dahaga yang membelit perutku, sisa uang di saku celana sudah tak mencukupi untuk membeli sebungkus nasi. Tanpa sadar terletup bibirku berkeluh kesah.

"Ya Tuhan, masih adakah kesempatan bagiku untuk merasakan kasih sayang dari kedua orang tuaku di dunia ini, bila Engkau tidak menghendaki kebahagiaan bagiku, kenapa Aku dilahirkan kedunia ini!" "Kenapa ...!!!" Tertelungkup kumenangis hingga kemudian muncul seorang wanita muda bergaun merah berparas cantik dengan memakai sepatu merah berhak tinggi menghampiriku, terkejut dia mendapati aku tengah terkulai lemas dan hampir pingsan.

"De.., de... kamu kenapa?" Tanya si wanita itu. Seketika itu aku terbangun. Dan membuat wanita itu sedikit lega,  kekhawatirannya hilang saat ku kembali sadar.

"Siapa namamu dan sedang apa kamu disini?" Tanya wanita itu sambil mengelus-elus rambutku yang sedikit acak-acakkan, dengan penglihatan sedikit samar, aku membuka mata.

"Siapa kamu ...., dan mau apa?" tanyaku setengah takut sembari mendekap tasku dengan erat.

"Tenanglah, aku hanya ingin menolongmu."   

"Aku tidak butuh pertolonganmu!" jawabku ketus.

"Setiap manusia pasti butuh pertolongan, karena dia tidak hidup sendiri, jangan takut aku orang baik kok. Dan, ngomong-ngomong siapa namamu, di mana rumahmu dan kenapa bisa berada di tempat seperti ini?"

"Aku tidak punya rumah, aku manusia bebas bisa berpergian kemanapun yang aku mau. Namaku Salsa."

"Oh Salsa... aku Yance !" Mendengar nama itu aku jadi geli semdiri.

"Ada apa denganmu, kenapa kamu tersenyum!" tanya Yance heran.

"Lucu..! apanya yang lucu!"  

"Namamu!"

"Namaku! kenapa dengan namaku, memangnya ada yang aneh?"  

"Setahuku nama seorang wanita itu kan Wati, Dina atau Santi." terangku.

"Loh, memangnya tidak boleh aku punya nama seperti ini. Yance itu ada singktannya loh. yaitu "Yanti Cemungut...!".

Kemudian Salsa menoleh ke arah tangan Yance yang tengah memegangi sesuatu.

"Apa itu yang ditanganmu?" Tanya Salsa.

"Oh, ini foto keluargaku. Aku selalu membawanya kemanapun aku pergi."  

"Boleh aku lihat." pinta Salsa.

"Tapi kamu harus janji tidak akan menertawaiku lagi setelah melihat foto ini."

"Baik ..!" Foto yang berukuran 4x6 itu di perlihatkannya kepadanya. Salsa melihatnya dengan seksama dan bertanya.

"Siapa mereka?"

"Mereka adalah kedua orang tuaku dan Aku sendiri". Terang Yance. Salsa memandangi seksama wajah Yance.

"Berikan foto itu padaku." Serentak Yance pun merebut foto itu dari tangan Salsa dan dimasukkannya kembali ke dalam tasnya. Maaf untuk yang ini aku tidak bisa, Yance menundukkan kepala dan meneteskan air mata.

"Maaf, sekali lagi maaf aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu." terang Salsa meminta maaf.

"Aku maafkan."

"Di foto itu aku melihat kamu memakai jilbab, kenapa sekarang bisa menjadi seperti ini?" "Ah..., Panjang ceritanya." jawab Yance.

"Aduh .....!" rintih Salsa sembari memegangi perutnya.

"Eh, kenapa kamu, kamu lagi hamil?" tanya Yance panik saat melihat Salsa memegangi perut.

"Tidak...!" jawabku menggelengkan kepala.

"Aku lapar, maukah kau membelikanku makan, aku belum makan. Uangku sudah habis untuk membeli makan" Keluh Salsa dengan sedikit memelas. "Ooo...kamu lapar, aku pikir kamu sedang hamil." "Hmm ...., Baiklah, kita ke rumah ku saja, rumahku di ujung jalan ini kok, nanti kamu bisa makan di rumahku."  Tapi makannya hanya dengan pecel lele, tidak apa-apa kan, maklum anak kontrakan."

Oh, Tidak apa-apa kok, ."  

"Terima kasih ya mau menemaniku pulang!"

"Aku yang seharusnya berterima kasih karena kamu telah menolongku." Setibanya di rumah Yance. Ekspresi wajah Salsa berubah, saat melewati bapak bapak paruh baya yang sedang asyik bercengkrama dengan wanita malam.

"Tempat apa ini Yan?" Tanya Salsa.

"Tenang saja jangan takut mereka tidak akan mengganggu" Terang Yance.

Saat kami berpapasan dengan seorang pemuda yang tengah mabuk, tanganku di tariknya

"Sini sayang temani Om bermain!" sontak kuteriak berusaha melepaskan cengkraman tangan jahil itu.

"Lepaskan ... lepaskan ....!" Dengan cepat Yance mengambil wajan yang tengah di jemur warga, lalu menghantamkannya ke wajah laki-laki itu hingga terjengkal. "Baeng ...!"

"Jangan coba-coba ganggu temen gue!" Tukas Yance kepada pemuda itu. Pemuda itu pun segera pergi.

"Kamu tidak usah takut mereka tidak akan mengganggumu lagi." Kata Yance menenagkanku. Setibanya di rumah, Yance langsung bergegas mengambil sebungkus nasi yang memang dia sudah persiapkan untuk makan malamnya.

"Ini makanlah."

"Lalu kamu bagaimana?" tanyaku.

"Kau tidak perlu memikirkan aku. Aku masih kenyang."

"Baiklah kalau begitu." Kuhabiskan nasi bungkus itu dengan lahap tanpa tersisa sedikitpun,

"Aneh tak biasanya aku makan selahap ini!" .

"Mungkin karena rasa lapar yang membuatmu seperti itu."

"Yan, terima kasih ya atas semuanya. Tapi aku harus kembali melanjutkan perjalananku." Ungkapku.

"Mau kemana kamu, malam sudah semakin larut, lagi pula berbahaya bagi seorang gadis seperti kamu berjalan sendirian di malam hari. Tinggalah beberapa hari disini. Rumah ini memang tidak besar tapi cukuplah untuk berdua. Kau bisa tidur di tempat tidur kalau mau, biar aku di sofa." terang Yance

"Tidak-tidak, biar aku saja yang di sofa." Pintaku.  

Malam pun semakin larut angin bertiup menyiur lambai menyambangi setiap insan yang tengah asyik dibuai oleh mimpi indah. Tampak kelap-kelip bintang bertabur cahaya benderang menghiasi bumi, seakan menambah keharmonisan malam yang mendambakan datangnya sang rembulan.  

Aku tengadahkan wajahku ke langit dan kutatap sekumpulan bintang-bintang kecil yang seakan menyapaku. Aku baringkan tubuhku di atas sofa beralaskan kasur tipis mencoba untuk tidur, namun belum sempat mataku terpejam, terdengar suara isak tangis seseorang yang tengah meratapi sesuatu. 

Rasa ingin tahuku muncul, kuterbangun dari pembaringanku mencari suara itu. Suara tangisan itu berasal dari kamar Yance. Ada apa dengan dia benakku bertanya-tanya. Lalu kucoba mendekati pintu kamarnya dan kubuka pintu itu perlahan, lalu tampak seorang bermukena sedang tersimpuh di hamparan sajadah merah tengah berdoa  diiringi tetesan air mata yang membasahi kedua pipinya.

Aku masuk dan berdiri tepat dibelakang pintu, kumerasakan penderitaan yang sama dialami oleh Yance, ingin rasanya kubertanya namun khawatir akan menyakiti perasaannya. Selesai berdoa, Yance menoleh ke arahku dan memanggilku,

"Sa kemari ....." sahutnya. Belum sempat kubertanya perihal apa yang diratapinya, Yance langsung memelukku  dan menangis di pangkuanku.  Rasa haru tak dapat terbendung lagi, Aku pun larut dalam kesedihan Yance, dia ikut menangis sambil meratapi kepergianku dari rumah, kembali terbayang dalam ingatanku wajah ayah dan bunda, di tengah isak tangisku tak sadar kupanggil nama mereka.

"Abah ....,Umi ....,!" Sa, apakah kamu tahu. Betapa berat hati ini meninggalkan orang tua di kampung. Aku sangat merindukan mereka. Setiap malam aku sering berdoa agar bisa bertemu dengan mereka kembali. Lalu bagaimana dengan dirimu, apa yang telah terjadi denganmu?" Tanya Yance kepadaku.

"Aku kabur dari rumah Yan?"

"Kabur...?"  "Iya.., sudah satu minggu aku tidak pulang."

"Tentunya ada alasan yang jelas, kenapa kamu bisa kabur."

"Ayahku berselingkuh dengan wanita lain dan itu yang menyebabkan ibuku marah kepada ayah hingga keduanya sering terlibat pertengkaran. Aku tidak tahu harus bagaimana mendamaikan mereka berdua. Akhirnya ku putuskan untuk pergi."

"Yan, boleh aku bertanya tentang sesuatu kepadamu, tapi janji kamu tidak akan marah. Kok kamu bisa berada di tempat seperti ini sih?" tanyaku  "Ah...., panjang ceritanya" 

"Sebenarnya aku tidak ingin menceritakan ini kepada siapapun. Tapi hanya sama kamu aku ceritakan kisahku. Awalnya aku di ajak oleh Mas Agus ke kota, dia adalah paman tiriku. Dia janjikan pekerjaan kepadaku, Mulanya aku ragu, bagaimana kalo aku pergi siapa yang akan menjaga Umi dan membantunya berjualan. 

Namun paman terus membujuk Ibu agar aku diizinkan untuk ikut bersamanya ke kota. Demi sebuah pekerjaan dan perubahan kehidupan lebih baik, akhirnya paman berhasil meluluhkan hati abah dan umi, aku diizinkannya pergi ke kota bersama paman. Dari sorot matanya aku tahu umi berat melepaskanku, dia meghawatirkan tentang keadaanku nanti di kota.  Kemudian dengan membawa perlengkapan seadanya aku pergi meninggalkan desa. Seuntai kata perpisahan terucap dari mulutnya yang lembut.

"Hati-hati nak, jaga dirimu baik-baik umi akan selalu mendoakanmu selalu." 

"Kalimat itu yang selau terngiang di benakku dan karena itu aku sering menangisi umi."

"Terus apa yang terjadi dengan ibumu sekarang?" Tanyaku.

"Aku tidak tahu bagaimana kabar umi sekarang, sudah tiga tahun aku tidak pulang, setiapku ingin pulang, Mama Tina selalu melarangku dengan berbagai macam alasan. "Siapa itu Mama Tina?"

"Dia itu seorang Germo, dia yang memperkerjakan gadis-gadis di bawah umur untuk dijadikan pemuas nafsu laki-laki hidung belang dan pamanku adalah anak buahnya yang di tugaskan untuk mencari gadis-gadis muda sepertiku. Karena dia puluhan gadis belia banyak menjadi korban, dan salah satunya adalah aku. 

Dia juga terlibat dalam sindikat perdagangan anak di bawah umur lintas negara."Lalu apa yang terjadi denganmu saat itu?" Sesampainya di kota paman memperkenalkanku pada seorang pemilik caf dan memintanya untuk memperkerjakan aku di tempatnya, dan aku diterima. Setelah itu paman pergi dan tidak pernah menunjukkan batang hidungnya lagi.

Tinggallah aku sendirian di tempat itu meratapi nasib. Kemudian aku di tampung di suatu tempat dimana banyak gadis-gadis belia seumurku tinggal di dalamnya. Mereka berasal dari berbagai tempat dan daerah, ada yang berasal dari Sukabumi, Bogor dan Tasikmalaya. Setelah aku tanya perihal keberadaan mereka di tempat itu, ternyata nasib mereka tidak jauh berbeda dengan aku. Mereka juga korban penipuan yang dilakukan oleh pamanku yang ditawari pekerjaan di kota. 

Si Bos, begitu panggilan pamanku yang akan mengirimkan mereka menjadi TKI ke luar negeri. Namun sudah hampir 2 bulan nasib kami belum juga ada tanggapan dari si pemlik kafe, dan aku pun tinggal disana. Selang beberapa hari  datanglah mama Tina bersama para pengawalnya yang berperawakan besar ke tempat dimana kami ditampung. 

Tanpa sengaja aku melihat perbincangan antara si pemilik kafe dengan mama Tina dari balik pintu, sepertinya tengah  terjadi negosiasi yang alot di antara mereka, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi yang jelas mereka sedang membicarakan bisnis besar. Awalnya aku tidak tahu kalau Mama Tina ternyata adalah seorang germo yang memasok gadis di bawah umur untuk dipekerjakan sebagai wanita penghibur. 

Kemudian kami diminta si pemilik kafe untuk berbaris mengahadap Mama Tina, diperiksanya kami satu persatu, dari sepuluh ABG tiga diantaranya adalah aku yang terpilih, karena menurutnya telah memenuhi syarat. Setelah itu kami bertiga di bawa ke tempatnya Mama. Dia memperlakukan kami dengan baik, dan dia juga yang memenuhi keperluan kami mulai dari makan, membeli pakaian hingga perhiasan. Namun di balik itu dia hanya memanfaatkan kami untuk dijadikan lahan bisnisnya.

"Esok harinya kami di beritahu bahwa diantara kami akan ada yang di kirim ke Taiwan untuk dipekerjakan di sana, namun Mama tidak memberitahu kami siapa. Siang malam aku memikirkan hal itu, aku takut apa yang akan terjadi denganku jika aku berangkat nanti.  begitupun halnya dengan Suci dan Nita mereka bertanya-tanya siapa yang nanti akan berangkat. 

Tiga hari kemudian keputusan itu datang dan mama menjatuhkan pilihannya kepada Suci dan Nita entah apa yang menjadi pertimbangan mama, sehingga memilih mereka berdua yang berangkat. Begitu bahagia mereka saat namanya di sebut. Padahal mereka tidak mengetahui bahwa sebentar lagi mereka akan menjadi budak syahwat para laki-laki di sana."

"Wah, menarik sekali cerita kamu 'Yan. Setelah itu apa yang dilakukan mama Tina terhadapmu?" Tanyaku kembali.

"Aku dimintanya untuk berdandan cantik dan seksi, katanya akan ada tamu mama yang mau kenalan denganku, saat itu diriku masih mengenakan jilbab, dia memintaku untuk melepaskan jilbab yang aku pakai, tapi aku menolaknya. 

Namun mama tetap memaksaku untuk melepaskan jilbabku, hingga terjadi tarik menarik denganku dan akhirnya terlepaslah hijab yang dulu kukenakan diiringi tamparan bersarang di pipi kananku hingga membuatku tersungkur. Ku menangis meratapi dosa, kesucian aurat yang telah ku jaga sekian lama harus rela kulepas demi memenuhi ambisi sang mama. 

Setelah itu aku di kurung selama dua hari di dalam gudang tanpa makan dan minum, badanku lemas tak bertenaga. Kemudian pengawal mama datang membawakan sepiring nasi untukku. Dengan lahapnya kusantap nasi itu tanpa sisa sedikitpun. Tak lama kemudian mama datang membawa setelan gaun merah beserta rok berwarna hitam. aku dipaksa untuk mengenakan pakaian itu di saat tamunya datang.

"Apa yang terjadi setelah itu?" Tanya aku kembali.

"Tamu mama datang, seorang pria berperawakan jangkung dengan tinggi sekitar 170 cm berkaca mata hitam disambut mama dengan hangat. Lalu dikenalkannya aku kepadanya. Pria itu bernama Bayu mengaku seorang Direktur perusahaan produk makanan terbesar di Jakarta yang katanya gemar menghabiskan malam dengan mencari wanita penjaja cinta. 

Saat itu badanku gemetar, malu bercampur kesal menyelimutiku, tak nyaman rasanya memakai baju yang di berikan mama. Kemudian mama pergi dan di tinggalkannya kami berdua di ruangan. Kami hanya terdiam terpaku, pandanganku tertunduk malu, begitupun dengan dia tak berkutik sedikitpun dihadapanku. 

Awalnya Aku berpikir dia sama dengan laki-laki lainnya. Saat bertemu mangsa langsung main terkam. Kemudian dia langsung tanya aku tentang seseorang. Aku sendiri tidak tahu apa maksud pria itu. Pertanyaan semakin dalam khususnya terkait dengan bisnis mama. Ternyata setelah aku tanya perihal tujuan pria itu, tenyata dia adalah seorang  intel yang sedang melakukan penyamaran mencari informasi seputar mama Tina dan bisnis yang di jalankannya."

"Lalu apa yang dilakukan pria itu  kepadamu?" tanya Salsa kembali.

"Dia hanya memberikan kartu nama dan memintaku untuk tidak membocorkan rahasia ini. Dia juga berjanji akan  melindungiku dari mama Tina. Akhirnya kami sering bertemu dan saling bertukar informasi. Lalu setelah itu dia tidak pernah muncul lagi."

Tak terasa shubuh datang menjelang, azan shubuh pun berkumandang menggema hampir di pelosok negeri, membangunkan para insani yang sedang dibuai mimpi indah. Sahutan ayam jantan meramaikan suasana shubuh yang  kokokannya membahana kesetiap pelosok kota, tetesan embun tampak masih membasahi rerumputan hijau. Sedang matahari masih enggan untuk menampakkan sinar terangnya. Aku segera beranjak mengambil air wudhu. 

Kubasuh wajahku dengan air wudhu, kurasakan dinginnya air hingga keseluruh tubuh yang ku tidak pernah rasakan sebelumnya. Karena selama ini aku tidak pernah bangun pagi-pagi sekali, sholat shubuhpun hampir tidak pernah sehingga jarang bersentuhan langsung dengan air wudhu. 

Tampak yance sudah menungguku untuk melaksanakan sholat berjamaah. Dibelakangnya sudah terpasang sajadah berwarna merah dengan motif bunga mawar yang indah dan sebuah mukena putih bermotif rajutan bunga matahari, Aku segera mengenakannya. Aku angkat kedua tanganku dan pada saat ku mengucapkan takbiratul Ihram tiba-tiba bergetar hati ini hingga ke seluruh tubuhku, air mataku pun meleleh membasahi pipiku saat kuteringat kembali wajah ayah dan bunda. 

Sehabis sholat shubuh Yance mengajariku membaca Al Quran, ini kali pertama aku mengenal dan bersentuhan langsung dengan Al Quran yang selama ini tidak pernah kubaca, bahkan menyentuhnya sekalipun. Sehabis mengaji Aku pergi ke dapur menyiapkan sarapan. Tiba-tiba terdengar sahut-sahut suara memanggil nama Yance di luar sana.

"Yance! Yance!". Teriak Mami.

"Suara siapa itu Yan?"

" Itu suara Mama, cepat sembunyi" Pinta Yance pada Salsa.

"Kenapa harus sembunyi?" Tanya Salsa bingung.

"Nanti saja aku ceritain, cepat sembunyi di dalam lemari".

"Sebentar 'Ma!" teriak Yance menjawab sahutan sang mama. Dengan mukena yang masih melekat di tubuhnya. Ia bergegas berlari menuju pintu depan rumah dan membukanya. "Kenapa lama sekali!" Sahut Sang mama marah.

"Ma...af 'Ma! tadi saya baru selesai sholat shubuh."

"Ah ... alasan, mana setoran kamu?"

"Maaf 'Ma,  untuk saat ini saya masih belum dapat setoran!"

"Apa katamu, enak sekali kamu bicara, ngapain aja kamu malam tadi, jangan coba-coba mempermainkan aku. Dengar ya nona kamu pikir semua ini gratis. Di dunia ini tidak ada yang gratis. Buang air saja sekarang harus bayar." Sahut mama emosi.

"Aku janji malam ini 'Ma!"

"Baik aku beri kamu satu kali kesempatan lagi, Aku tunggu malam ini di tempatku dan jangan coba-coba lari dariku atau kau akan menyesal nanti." Ancam sang mama.

Saat hendak meninggalkan rumah. Sejurus pandangan mama tertuju kepada suatu benda yang sedang di peluk Yance.

"Apa itu yang kau pegang?" tunjuk sang mama pada benda yang tengah dipegang Yance. "Ini ..., ini bukan apa-apa 'Ma," Jawab Yance gugup.

"Hei kau berusaha menyembunyikan sesuatu dariku rupanya. Apa itu?" teriak sang mama menyiutkan hati Yance.

"Ini Al Quran 'Ma!"

"Al Quran...!" sahut sang Mama heran. "Oh ...., jadi benda ini yang membuatmu mulai berani padaku. Berikan benda itu padaku?" Pinta sang mama dengan merebut paksa kitab suci Al Quran dari genggaman Yance.

"Tidak, jangan 'Ma!" tarik menarik terjadi hingga akhirnya lembaran-lembaran suci itu sobek dan tercecer di lantai. Kontan membuat Yance shock "Astaghfirullaah ....!" sesal Yance meringis sambil memunguti kembali lembaran-lembaran yang sobek.    

"Dengar Nona selama kau masih berada dalam genggamanku, jangan pernah kau membantah perintahku paham!" ancam sang mama sambil menjambak mukena Yance. Yance mengangguk. 

"Ayo pergi!" sahut mama pada kedua pengawalnya. Mamapun pergi meninggalkan rumah sambil mengomel.

Aku yang sedang bersembunyi di lemari baju bergegas keluar menghampiri Yance yang tengah sibuk memunguti lembaran-lembaran Al Quran yang tercecer di lantai.

"Kenapa kau tidak melawan!" sahut ku kesal.

"Sudahlah aku tidak apa-apa kok 'Sa, lagian aku sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini." sanggah Yance.

"Tidak, ini tidak bisa di biarkan, aku harus memikirkan cara bagaimana mengeluarkan kamu dari sini." 

"Sabar 'Sa, Allah pasti memiliki rencana lain untuk aku."

"Sabar-sabar, sudah seberapa sering kamu harus sabar Yance, kau akan di tindas terus olehnya. Ingat Yance negara kita sudah merdeka tidak ada lagi jaman perbudakan. Aku dan kamu adalah manusia bebas yang memiliki hak untuk hidup bebas. Kamu bukan milik mama Tina. Kamu yang menentukan hidupmu sendiri bukan dia." Ujarku meluapkan kekesalan. Yancepun terdiam terpaku menatapku. Seakan aneh melihatku berbicara bak orang bijak yang sedang memberikan petuah.

"Maaf jika aku menyinggung perasaanmu. Aku terbawa suasana."

"Tidak apa-apa kok Sa, terima kasih ya telah menyadarkanku"?   

 Handphone Yance tiba-tiba berbunyi lantunan ringbacktone "Tombo Ati" karya Opick berputar. Diangkatnya Hpnya tersebut samar-samar terdengar suara yang tidak asing di telinganya. Benar saja, Pak Bayu.

"Assalammulaikum Yan, dimana kamu sekarang?"

"Waalaikumsalam,  saya sedang berada di rumah sekarang."

"Oh iya, Yan, saya sedang dalam perjalanan menuju kafe, malam ini kami akan membekuk mama Tina, bukti-bukti sudah cukup untuk menjerat mama Tina ke penjara. Terima kasih atas informasinya. Dalam penyergapan nanti, tolong jangan ada gerakan mencurigakan saat kami menggerebeg tempat itu agar kamu tidak ikut ditangkap oleh polisi. Temui aku disana"

"Baik pa!"

"Ok, sementara itu dulu, jaga dirimu baik-baik. Assalammualaikum."

"Waalaikumsalam".

"Siapa tadi Yan?" Tanyaku.

"Pa Bayu dari BIN yang aku pernah ceritakan kepadamu. Katanya siang ini Ia akan membekuk mama Tina dan komplotannya."

"Alhamdulillah, berarti hari ini kamu sudah bebas dong?"

"Ya mudah-mudahan saja. Aku akan ke kafe sekarang!"

"Boleh aku ikut bersamamu?"

"jangan, akan lebih aman jika kamu tinggal disini."

Satu jam sudah berlalu, namun tanda-tanda akan adanya penggerebegan belum ada, membuat Yance sedikit cemas. 

 "Hai, Yan!"  

"Salsa, apa yang kamu lakukan disini?" tanya Yance terkejut.

Tadi seeorang yang mengaku pamanmu datang ke kontrakan mencarimu, namanya Agus. Aku kesini hendak memberitahukanmu." Terang Salsa.

"Mau apa lagi dia mencariku?" Tak lama kemudian Pak agus datang ke kafe dengan dua orang polisi berpakaian preman dan langsung menuju ruangan Mama Tina.

"Polisiii...!" Teriak pengawal yang ke dalam kafe.

"Mama, ayo kita pergi dari sini?" Sigap sang pengawal menarik tangan mama."

Melihat gerak gerik mama Tina dan pamannya yang akan kabur. Yance berlari kearah pintu belakang dan mengunci pintu dari dalam. Pa Bayu yang merangsek masuk ke dalam kantor langsung melakukan tembakan peringatan ke udara guna mencegah sang mama kabur, namun dibalasnya tembakan itu oleh sang pengawal. "Dor.... dor.... dor .."Sembunyi di belakangku..!" teriak pak Bayu kepada Salsa dan Yance.

 "Menyerahlah! kalian sudah terkepung." Teriak Pa Bayu. Pa Agus yang menggenggam senjata tidak mau menyerah begitu saja. Ia menyelinap mendekati Pak Bayu dan langsung memuntahkan peluru  ke arah Pak Bayu "Awaaasss!" Teriak Salsa pada Pak  Bayu sambil mendorongnya ke lantai "Dor.... dor....! Pak Bayu  terjatuh terhindar dari tembakan itu namun pelurunya melesat menyerempet tangan kirinya dan langsung menembus dada Yance. Yance langsung roboh dan jatuh dipelukan Salsa dengan bersimbah darah. Pa Bayu segera bangkit dan merebut senjata dari genggaman Pak Agus. Lalu ia memberikannya sebuah hadiah tendangan melingkar ke arah rahang kanan Pak Agus. "Braak....!" Pak Agus pun terkapar.

"Tidaak..... Yance, bangun!" Teriak Salsa histeris meratapi kepergian Yance yang baru semalam dikenalnya.  Seakan tidak percaya Salsa juga bertemu dengan ayahnya dalam situasi seperti ini. Air matanya kembali membanjiri kedua pipinya

"Ayah! apakah benar itu kau ?" tanya Salsa

"Iya Sa, ini ayah. Maafkan ayah jika selama ini telah membohongimu"

"Tidak usah ayah ceritakan. Salsa sudah paham kenapa ayah tidak mau menceritakan semua ini pada kami. Setelah ini Salsa berjanji tidak akan meninggalkan rumah lagi."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun