Rasa ingin tahuku muncul, kuterbangun dari pembaringanku mencari suara itu. Suara tangisan itu berasal dari kamar Yance. Ada apa dengan dia benakku bertanya-tanya. Lalu kucoba mendekati pintu kamarnya dan kubuka pintu itu perlahan, lalu tampak seorang bermukena sedang tersimpuh di hamparan sajadah merah tengah berdoa  diiringi tetesan air mata yang membasahi kedua pipinya.
Aku masuk dan berdiri tepat dibelakang pintu, kumerasakan penderitaan yang sama dialami oleh Yance, ingin rasanya kubertanya namun khawatir akan menyakiti perasaannya. Selesai berdoa, Yance menoleh ke arahku dan memanggilku,
"Sa kemari ....." sahutnya. Belum sempat kubertanya perihal apa yang diratapinya, Yance langsung memelukku  dan menangis di pangkuanku.  Rasa haru tak dapat terbendung lagi, Aku pun larut dalam kesedihan Yance, dia ikut menangis sambil meratapi kepergianku dari rumah, kembali terbayang dalam ingatanku wajah ayah dan bunda, di tengah isak tangisku tak sadar kupanggil nama mereka.
"Abah ....,Umi ....,!" Sa, apakah kamu tahu. Betapa berat hati ini meninggalkan orang tua di kampung. Aku sangat merindukan mereka. Setiap malam aku sering berdoa agar bisa bertemu dengan mereka kembali. Lalu bagaimana dengan dirimu, apa yang telah terjadi denganmu?" Tanya Yance kepadaku.
"Aku kabur dari rumah Yan?"
"Kabur...?" Â "Iya.., sudah satu minggu aku tidak pulang."
"Tentunya ada alasan yang jelas, kenapa kamu bisa kabur."
"Ayahku berselingkuh dengan wanita lain dan itu yang menyebabkan ibuku marah kepada ayah hingga keduanya sering terlibat pertengkaran. Aku tidak tahu harus bagaimana mendamaikan mereka berdua. Akhirnya ku putuskan untuk pergi."
"Yan, boleh aku bertanya tentang sesuatu kepadamu, tapi janji kamu tidak akan marah. Kok kamu bisa berada di tempat seperti ini sih?" tanyaku  "Ah...., panjang ceritanya"Â
"Sebenarnya aku tidak ingin menceritakan ini kepada siapapun. Tapi hanya sama kamu aku ceritakan kisahku. Awalnya aku di ajak oleh Mas Agus ke kota, dia adalah paman tiriku. Dia janjikan pekerjaan kepadaku, Mulanya aku ragu, bagaimana kalo aku pergi siapa yang akan menjaga Umi dan membantunya berjualan.Â
Namun paman terus membujuk Ibu agar aku diizinkan untuk ikut bersamanya ke kota. Demi sebuah pekerjaan dan perubahan kehidupan lebih baik, akhirnya paman berhasil meluluhkan hati abah dan umi, aku diizinkannya pergi ke kota bersama paman. Dari sorot matanya aku tahu umi berat melepaskanku, dia meghawatirkan tentang keadaanku nanti di kota. Â Kemudian dengan membawa perlengkapan seadanya aku pergi meninggalkan desa. Seuntai kata perpisahan terucap dari mulutnya yang lembut.