Di masa inilah Yani kerap kali memanfaatkan reputasinya sebagai salah satu calon perwira terbaik dengan sejumlah aksi akal-akalan demi mengisi perutnya. Aksi itu dilakukannya karena jatah makan di markas selalu dibatasi Jepang. Biasanya pada malam hari, apabila dapur sudah dikunci, Yani gemar mencuri roti yang besar dan keras, namanya roche brood, yang ditaruh di bakul bambu di ujung dapur, jauh dari pintu. Untuk mengambilnya harus pakai galah. Ia selalu berhasil mengambilnya tetapi tak pernah tertangkap atau ketahuan. Ia sering berbagi rotinya itu padaku.
Tidak hanya itu, Yani juga selalu kelayapan ke luar markas tanpa seizin Jepang. Itu dilakukannya dengan melompati pagar. Sebagai imbalan tutup mulut untuk ku dan teman-temannya yang lain, ia selalu membawakan buah tangan berupa singkong atau pisang goreng. Menurutku Yani benar benar orang yang sangat nekat bahkan di hari sebelum pelantikan kelulusan, Yani membuat onar lagi hingga berujung pada hukuman berjaga semalam suntuk bagi seluruh peleton. Namun untungnya di keesokan harinya, kami tetap dilantik di Lapangan Gambir dan resmi menyandang pangkat shodancho.Â
Saat itu Yani ditempatkan ke Daidan Perimbun sementara aku ditempatkan ke Blitar. Oleh karenanya sebelum berpisah kami memutuskan untuk mengobrol santai di sore hari. "Wah jika sudah begini kau bisa dekat dengan Yayuk lagi," kataku. "Hehehe iya, saya rasa juga begitu. Tapi untuk kali ini akan ada yang berbeda, saya akan melamarnya," balasnya. "Tunggu sebentar, bukankah shodancho seperti kita dalam kurun waktu tertentu belum diperbolehkan menikah?" Tanyaku heran. "Ah, itu kan hanya peraturan konyol. Saya tetap akan menikahi Yayuk," ucapnya. Dasar dia ini memang keras kepala seperti biasanya.
Dan akhirnya hari itu tiba, aku dipindahkan ke Blitar oleh pasukan Jepang bersama Muradi teman karibku selama di Bogor. Disana kami bertugas mengawasi romusha. Dan dalam satu hari saja, aku sudah merasa muak dengan kekejaman orang orang Jepang yang memperlakukan romusha dengan semena mena. Aku merasa tidak sanggup lagi bekerja seperti ini. Aku selalu dihantui perasaan bersalah. Aku menyaksikan sendiri rakyat Indonesia yang diposisikan sebagai romusa diperlakukan secara keji. Sering kali aku mencoba memberi mereka makan saat para prajurit Jepang tidak melihat. Namun semua itu tidak ada apa apanya dengan perlakuan keji yang mereka lakukan.
Hingga suatu hari saat mobil pengangkut pekerja paksa datang kemari, aku menemui seorang pria tua yang wajahnya sangat kukenali. Iya tak salah lagi, ia Pak Asep. Tubuhnya kurus kerontang bak tulang balut kulit. "Bapak? Kenapa bapak bisa ada disini?" Tanyaku padanya. "Kamu.. Andra? Astaga kamu betulan Andra kan?" Tanyanya padaku. "Iya Pak, saya Andra," jawabku. "Tolong bantu saya,nak. Saya mohon, Euis saat ini telah dijadikan gundik, saya merasa bersalah menjadi seorang Bapak. Tolong bantu ia, nak," ucapnya sembari dibanjiri air mata. "Ba..bagaimana bisa?" Tanyaku tidak percaya. "Ia diculik saat aku dipaksa menjadi pekerja," jawabnya sembari menangis. "Pak, untuk saat ini saya hanya bisa membawa Bapak kabur dari pekerjaan busuk ini, saya tidak tahu dimana keberadaan Euis," jawabku sedih. "Tidak, saya mohon, saya sudah tidak peduli dengan diri saya sendiri yang penting anak saya selamat hiks," katanya sembari menangis.Â
Aku sadar tak ada yang bisa kulakukan. Akhirnya rasa geram yang tak terbendung ini membuatku nyaris gila. Dan saat itulah nubuat buruk dalam sekejap muncul dikepalaku. 'Aku harus melakukan pemberontakan' ucapku dalam hati. Kuceritakan hal itu pada Muradi dan rupanya tidak sedikit anggota PETA lainnya yang mendukung rencana gila hasil gagasanku itu.
Ditemani Muradi dan beberapa perwira PETA lainnya, aku sempat menghadap Sukarno yang saat itu sedang pulang ke Blitar untuk meminta masukan atas rencana pemberontakan ini. Sukarno sebenarnya kurang yakin apakah kami sudah punya kekuatan yang cukup untuk melawan Jepang. "Pertimbangkanlah masak-masak untung ruginya, saya minta saudara-saudara memikirkan tindakan yang demikian itu tidak hanya dari satu segi saja," ujar Sukarno. "Kita akan berhasil!" jawabku, yang merupakan pimpinan tertinggi dalam rencana ini. "Saya berpendapat bahwa saudara terlalu lemah dalam kekuatan militer untuk dapat melancarkan gerakan semacam itu pada waktu sekarang," ucap Sukarno. "Kita akan berhasil!" Ucapku lagi tetap bersikukuh dan berupaya meyakinkan Sukarno.
Soekarno bahkan mengingatkan agar kami bercermin kepada insiden yang baru saja terjadi di Manchuria, ketika satu kompi tentara Jepang yang sudah gerah terhadap perilaku rekan-rekannya melakukan pemberontakan dan ditindas secara kejam. "Kalau sekiranya saudara-saudara gagal dalam usaha ini, hendaklah sudah siap memikul akibatnya. Jepang akan menembak saudara-saudara semua!" kata Sukarno. "Apakah Bung tidak bisa membela kami?!" tanya ku. "Tidak. Saudara anggota tentara, bukan orang preman. Dalam hukum militer, hukumanmu otomatis..." jawab Sukarno.
Akhirnya tanpa mendengarkan apa yang Sukarno katakan aku tetap bersikeras untuk menjalankan aksiku. Tanggal 14 Februari 1945 kupilih untuk menuntaskan rencanaku ini karena bertepatan dengan acara pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA yang akan digelar di Blitar. Diharapkan, mereka akan bergabung dalam aksi nanti dan aksi tersebut memantik daerah-daerah lain untuk melakukan hal serupa. Dan hari yang dinantikan akhirnya tiba juga.Â
Pada pukul 03.00 pagi kami menembakkan mortir pada sebuah hotel yang di duduki para perwira militer Jepang, aku juga memerintah kan Muradi dan pasukan yang dipimpinnya membersihkan para serdadu Jepang yang ada di dalam kota Blitar secara diam-diam. Kemudian kuperintahkan ia menarik mundur pasukannya ke dalam hutan untuk membuat kubu-kubu pertahanan dan sewaktu-waktu menyerang pada saat yang tepat. Selama rencana ini tidak sampai ke telinga musuh, seharusnya akan berhasil.Â
Namun ditengah perjalanan pemberontakan ini secara mendadak saja kepalaku jadi terasa amat sakit. 'Sial, jangan sekarang,' kataku dalam hati dan seketika itu pula aku tak mampu lagi merasakan tubuhku hingga seluruh penglihatanku menjadi gelap...