Beberapa bulan telah berlalu, Indonesia akhirnya menyatakan dirinya telah merdeka. Walaupun kemerdekaan ini belum mutlak tapi kami tetap mengusahakannya dengan seluruh jiwa raga yang kami miliki hingga akhirnya Indonesia diakui telah menjadi negara yang berdaulat pada tahun 1950. Namun semua itu belum selesai sampai di situ saja karena banyak dari saudara saudara kami yang malah memberontak. Hingga suatu hari aku diberi tugas untuk melawan tentara pemberontak DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang membuat kekacauan di daerah Jawa Tengah. Saat itu aku membentuk pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus, hingga akhirnya pasukan DI/TII pun berhasil dikalahkan. Seusai penumpasan DI/TII tersebut, aku kembali ke Staf Angkatan Darat. "Pak Yani, saya rasa Soeharto telah melakukan bisnis penyelundupan kepada orang Tionghoa," jelas Soebandrio. "Ha, Penyelundupan? Yang benar kamu!" Tegasku lagi. "Iya Pak, saya tidak bohong," ucapnya lagi. Saat itulah amarahku berhasil terpancing. "Antarkan saya pada Soeharto, sekarang!" Kataku padanya. Kami pun segera pergi menemui Soeharto.
Sesampainya disana kutampar Soeharto begitu saja 'Plak'. "Kamu ini telah mempermalukan korps Angkatan Darat. Bedebah sekali kamu!" Bentakku padanya. Hingga akhirnya akupun berhasil dilerai oleh salah seorang perwira yang ada disana. Nasution bahkan sampai memecat Soeharto karena kebebalannya itu. Sejak saat itu aku tak mau tahu lagi bagaimana keadaannya saat ini.Â
Pada tahun 1955 aku disekolahkan ke Amerika di Command and General Staff College di Kansas Amerika Serikay, selama sembilan bulan. Namun saat berpulang kembali ke Indonesia terjadi pemberontakan PRRI di Sumatera Barat, Aku yang masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus. Dan pada suatu hari, di bulan itu aku ingin mengadakan sebuah inspeksi ke suatu tempat dengan mengendarai jeep. Aku segera memerintahkan sopirku untuk mengemudikan mobil jeep ku itu. "Bapak, apakah tidak mau membawa pasukan pengawal karena rute yang dilalui masih cukup rawan?" Tanyanya. "Tidak usah, saya yakin jalan nya tidak seseram itu," jawabku asal asalan.Â
Kami pun bergegas menggunakan mobil jeep itu tanpa seorang pengawal, namun ditengah perjalanan tiba-tiba saja mobil kami ditembaki dari semak semak hingga terperosok ke selokan. Kamipun terpental dan segera mencari perlindungan. Disaat itulah sopirku terus terusan mengomel. "Apa kata saya tadi? Kenapa kita berangkat tanpa pengawalan? Apa kita harus mati konyol?" ujarnya. Apa yang ia katakan ada benarnya juga, memang akulah yang selalu keras kepala. Hingga akhirnya aku mengangkat sopirku itu sebagai sopir khusus Panglima Operasi 17 Agustus.
Bertahun tahun berlalu begitu saja, namun selama itu aku sama sekali belum pernah melihat atau mendengar nasib dari kawan lamaku, Andra. Tak ada seorangpun yang tahu kabar atau keberadaannya. Padahal Sukarno sudah menetapkannya sebagai menteri Pertahanan, tapi ia tak kunjung menunjukan dirinya akibatnya posisinya digantikan oleh orang lain. Aku sendiri yakin dengan pasti jika ia masih hidup, karena setahuku dia pemuda yang tangguh.Â
Sampai ditahun 1959 Sukarno mengumumkan Nasakom sebagai konsep politik. Saat itu hubungan Sukarno dan Nasution menjadi amat buruk. Nasution yang sangat anti-komunis dianggap sebagai penghalang presiden Soekarno yang gencar mengkampanyekan konsep Nasakom. Olehnya, pada 23 Juni 1962, aku ditunjuk sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat yang baru menggantikan Nasution. Posisi Nasution sendiri dialihkan sebagai Menteri Pertahanan Keamanan. Aku sendiri tidak begitu mempermasalahkan konsep Nasakom selagi itu tidak merugikan masyarakat umum.
Hingga suatu hari aku sedikit berdebat dengan Sukarno perihal pembentukan angkatan kelima usulan PKI. Aku yang menentang hal tersebut disetujui bersama dengan jenderal lain. "Pembentukan itu tidak efisien, pasukan sipil bersenjata sudah ada dalam wujud Pertahanan Sipil dan Hansip. Bukan hal yang tidak mungkin angkatan kelima berbahaya bagi TNI AD sendiri," jelasku untuk menentang nya. Saat itulah aku baru menyadari jika aku telah membuat kesalahan besar...
Seketika itu aku terbangun di sebuah tempat aneh yang pernah ku kunjungi sebelumnya. 'Astaga tempat ini lagi' ucapku dalam hati. Dan untuk yang kedua kalinya aku bertemu dengan Pria Asing itu. "Kau hanya membuang buang waktu wahai diriku," ucapnya sembari berjalan mendekat, ia menunjukan sosok dirinya yang sesungguhnya. Betapa terkejutnya diriku, rupanya ia memiliki wajah yang sangat mirip denganku. "Astaga siapa kau?" Tanyaku. "Aku adalah dirimu, dirimu yang gagal membongkar kebenaran," jawabnya. "Apa maksudmu?" Tanyaku lagi masih dengan kebingungan. "Baiklah ku ulangi, aku adalah dirimu yang gagal menyelamatkan salah seorang Jenderal dari kejadian 30 September," jelasnya lagi.
"Maafkan diri mu ini yang telah menculikmu di museum itu ya!, hahaha. Rasanya agak aneh berbicara dengan diriku sendiri," tambahnya lagi sambil tertawa. "Ha? Jadi kau itu si penjaga museum itu?" Tanyaku. "Iya itulah diriku," jawabnya. "Astaga kau telah membuatku melewati semua hal serumit ini," keluhku. "Hehehe, selamat ya! Bukankah kau jauh lebih bahagia jika terjebak di waktu dan masa ini ketimbang di masa depan? Kau tahu sendiri bukan, bagaimana orang orang di panti asuhan memperlakukanmu?" Tuturnya lagi dan aku hanya bisa menghela nafas berat, sepertinya ia memanglah diriku.Â
"Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya aku akan membantumu sekaligus memberimu sebuah misi," jelasnya. "Ha? Sebuah misi?" Ulangku. "Misi ini mungkin akan sedikit sulit, tapi aku yakin diriku yang berdiri di hadapanku saat ini akan mampu melakukannya," katanya. "Bagaimana bisa aku melakukannya jika diriku yang lain saja tak bisa," keluhku. "Ah dasar kau ini, kau pikir untuk apa aku membawamu kemari?" Tanyanya lagi dan aku hanya bisa terdiam. "Aku menaruh harapan besar padamu wahai diriku. Tidak, bukan hanya diriku tapi seluruh orang yang terfitnah menaruh harapan padamu," jelasnya lagi, jika sudah berhubungan dengan orang lain aku jadi tidak bisa mengelak. "Huft, baiklah akan ku usahakan," jawabku. "Bagus, itulah yang ingin kudengar dari mulutmu. Kau punya misi untuk menyelamatkan salah seorang Jenderal dari kejadian G30SPKI! Kau bisa saja menyelamatkan Yani jika kau mampu. Namun untuk sekarang aku akan mengajarimu bagaimana cara untuk memanipulasi waktu," ucapanya dan ia pun segera mengeluarkan sebuah keris dari sabuk celananya. Keris itu sangat mirip dengan keris yang ia berikan padaku sebelumnya, hanya saja keris itu berwarna ungu gelap. "Keris ini akan berubah warna seiring dengan penggunaannya, jika kau menggunakan untuk hal yang baik maka keris ini akan berubah menjadi kebiruan namun sebaliknya jika kau menggunakan ini untuk hal yang menguntungkan dirimu sendiri maka keris ini akan berwarna kemerahan," jelasnya.Â
"Baiklah sekarang mari kita mulai. Untuk melakukan ritual tentunya dibutuhkan pengorbanan, nah dalam ritual ini kau perlu mengorbankan darahmu sendiri, karena ritual ini hanya bisa dilakukan oleh darah keturunan tertentu seperti kita," tegasnya. "Kau perlu menggambar sebuah lingkaran pentagram dengan darahmu tiap kali akan melintasi waktu, tulislah dengan lengkap tahun hingga pukul berapa kau ingin pergi ke masa itu. Tulislah semua itu di setiap ujung sudut bintang pentagram yang telah kau buat. Ingat seluruh tulisan harus tertulis dengan darahmu!" Terangnya dan aku hanya bisa mengangguk angguk. "Baiklah, sekarang aku ingin kau mempraktekannya. Pergilah ke istana negara tahun 1965 di bulan September pada tanggal 28 pukul dua belas siang!" Serunya padaku, dan aku pun segera melakukan apa yang ia perintahkan. Pertama tama ku gores tangan kiriku menggunakan keris merah yang ia berikan itu hingga berdarah. Rasanya mungkin sedikit pedih tapi rasa sakit ini jauh lebih baik ketimbang tertembak pada bagian kepala oleh serdadu Jepang. Setelahnya ku mulai menggambar lingkaran dengan pentagram didalamnya dengan darahku itu. Lalu ku mulai menulis tanggal, bulan, tahun, pukul hingga tempat sesuai dengan yang ia serukan. "Setelah semua ini apa yang harus kulakukan?" Tanyaku padanya. "Berdirilah di tengah gambarmu itu!" Serunya. Dengan segera ku berdiri tepat di tengah pentagram itu. Dan hal aneh pun terjadi. Pentagram itu berubah menjadi api yang menyala nyala. Aku bergidik ngeri dibuatnya dan hendak berpindah. "Jangan bergerak! Api itu tidak akan menghanguskan mu,api itu hanya akan mengantarmu ke waktu yang kau tuju," jelasnya lagi. Aku pun diam sesuai dengan yang ia perintahkan. Api itu mulai membakar diriku. Hingga....