Aku berpikir sejenak, alangkah baiknya jika aku menolong-nya saja. Mungkin ia memang membutuhkan bantuanku. Aku jadi teringat dengan pesan nenek-ku, ia pernah berkata jika aku harus senantiasa menjadi orang yang sabar dan suka membantu orang lain.Â
"Baiklah, aku akan membantu bapak," jawabku.Â
"Bagus, sekarang ayo ikut saya!" seru-nya sembari berjalan ke suatu tempat.Â
Aku segera mengikutinya. Ia mengantarku ke sebuah lorong yang cukup gelap. Langkah kakinya begitu cepat, rasanya aku tak mampu lagi untuk mengejarnya.
"Bapak! Maaf, bisakah bapak berjalan dengan sedikit perlahan?" tanya-ku sembari sedikit berlari untuk mengejarnya.
"Oh iya, maaf," jawab-nya lagi dan ia mulai memperlambat langkah kakinya.Â
"Ngomong ngomong, bisakah kau membawa kunci ini untuk sementara waktu?" tanyanya seraya memberikanku sebuah kunci kuno berkarat.Â
Aku hanya bisa menerimanya dan membawanya seperti yang ia perintahkan. Ia benar-benar sigap selayaknya tentara.Â
'Apakah pelatihan penjaga museum sama seperti pelatihan militer?' Aku bertanya-tanya.Â
Beberapa lama kemudian, sebuah anomali muncul dari lorong gelap tak berujung ini. Rasanya aku seperti menghirup bau aneh yang sangat menyengat. "Maaf ya jika disini sedikit bau, karena kami petugas museum diharuskan membakar beberapa kemenyan," ucapnya seraya berjalan. Aku hanya bisa mengiyakan apa yang ia katakan.Â
Hingga akhirnya kami berhenti di sebuah ruangan. Terpampang dengan jelas sebuah lukisan besar seorang jenderal yang gagah di salah satu sudut dinding ruangan tersebut. Terdapat pula beberapa sesajen di depan lukisan itu. Tiba-tiba saja petugas museum itu mengeluarkan sebuah keris dari sabuk celananya. Sejak kapan seorang penjaga museum memiliki senjata tajam seperti itu. Astaga...