"Oh iya ini ibuku" ucap Yani padaku. Aku tersenyum dan mencium tangan ibunya itu. "Siapa ini,Yani? Kok temanmu ini cakep betul?" Tanya wanita itu. "Andra namanya, kami bertemu di jalan," jawabnya. "Apa kau sudah makan, Nak?" Tanya wanita itu padaku. "Ah su..sudah bu," jawabku berusaha untuk terlihat sopan. "Jangan malu-malu ayo sini, makan dulu!" Ajaknya.
Pada akhirnya aku malah menginap di rumah tersebut. Aku dan Yani membicarakan banyak hal. Dan rasanya kita telah akrab hanya dalam beberapa menit saja. Namun tetap saja perasaan resah dan gelisah berkecamuk dalam kepalaku. 'Kalau sudah begini aku harus bisa mencari nafkah sendiri' kataku dalam hati. Rasanya aku terpaksa harus bergabung dengan angkatan bersenjata Belanda itu. Aku tidak mungkin bisa terus menerus tinggal di rumah Yani. 'Tapi bagaimana jika aku mati kala berkhianat?' Aku bertanya-tanya.
Keesokan paginya aku menghampiri Yani di ruang tamunya. Aku rasa mulai hari ini aku harus berusaha keras. Walau terjebak di masa ini aku tetap tidak mau hidup sengsara. "Maaf ya jadi merepotkanmu," ucapku pada Yani. "Tidak perlu meminta maaf. Bukankah membantu sesama itu sebuah keharusan? Lagipula kau sudah menemukan kunci rumahku, " jawabnya.
"Aku rasa hari ini aku sudah bisa pulang kerumah," ucapku berbohong untuk yang kedua kalinya. "Eh? Yang benar? Jadi sekarang kau tidak jadi mencari pekerjaan?" Tanya nya khawatir. "Iya aku rasa begitu," kataku berbohong untuk yang ketiga kalinya, sial memang. "Baiklah jika memang begitu, jangan segan segan untuk meminta pertolongan ku lagi!" Serunya. Aku pun berpamitan kepada kedua orangtua Yani dan bergegas pergi dari rumah itu. Entah mengapa tapi rasanya tak peduli jika saat ini adalah masa lalu atau masa depan, aku selalu berusaha untuk menyelesaikan masalahku sendiri. Rasanya tidak ada satupun orang yang peduli padaku.Â
Orang tuaku telah berpisah dan mereka selalu saja memikirkan diri mereka sendiri hingga aku ditempatkan di panti asuhan. Rasanya terjebak di masa lalu seperti sekarang ini jauh lebih baik. Apalagi aku bertemu dengan seseorang seperti Yani, rasanya itu seperti sebuah mukjizat dari Tuhan. Baiklah kembali ke tugasku saat ini, mencari pekerjaan. Untungnya aku masih menyimpan kertas edaran itu. Pada alamatnya tertulis di.. Tunggu sebentar alamat dimanakah ini? Akhirnya aku terpaksa bertanya tanya pada orang sekitar, hingga bertemu dengan dua orang pasukan Belanda yang sedang berjaga di depan sebuah lapangan luas.
Jujur saja tapi aku ragu begitu melihat mereka. Bagaimana jika mereka tak bisa menggunakan bahasa Indonesia? Haruskah aku pergunakan bahasa Inggrisku tapi memangnya mereka bisa menggunakan bahasa Inggris? Ah sial, aku benci pikiranku. Akhirnya tanpa rencana apapun aku mendekati mereka."Hei anak muda, apa yang kau lakukan disini?" Tanya salah seorang dari mereka. Rupanya mereka dapat berbicara dengan bahasa Indonesia. "Se..sebenarnya a..aku ingin bergabung dengan pasukan militer" Jawabku seadanya seraya menunjukan surat edaran yang kupegang pada mereka.
Mereka pun melihat selembaran kertas itu dan mulai memeriksaku."Masuklah!" perintah mereka. Aku hanya bisa mengangguk dan memasuki lapangan luas itu. Disana sudah ada beberapa orang pribumi yang dilatih oleh para prajurit militer Belanda. Aku segera mendekat dan ikut baris berbaris. Kami dilontarkan berbagai pertanyaan seperti 'Apa kalian sudah yakin untuk mengkhianati pribumi lain?' Dan 'selama kalian ada disini ikutilah perintah atasan tanpa pandang bulu!' Kami bahkan di pukuli bila Jawaban yang diucapkan salah atau ragu-ragu. Akibatnya wajahku jadi penuh dengan luka lebam.
Setelah beberapa pertanyaan itu dilontarkan, dimulailah latihan fisik yang cukup menguras tenaga hingga sore hari. Tak lupa aku pun menjalani pendidikan wajib militer hingga berhari hari bahkan sampai berbulan-bulan lamanya. Setelah bulan-bulan yang melelahkan itu akhirnya aku ditempatkan sebagai pasukan batalion X. Menurut mereka kemampuan ku sudah sangat baik, hingga aku lebih cepat diresmikan sebagai tentara ketimbang pribumi-pribumi lain. Dan disanalah aku mengenal seorang tentara lain bernama Abdul Haris juga temannya yang bernama Kartakusuma, kami dapat dengan mudahnya akrab satu sama lain.
"Jika dilihat-lihat enak sekali ya orang-orang Manado itu, mereka dapat gaji tiga kali lipat juga makanan yang kelihatan lezat." Ujar Kusuma pada kami."Ya mau bagaimana lagi kita kan hanya orang Jawa biasa" balas Haris. Tapi Kusuma memang ada benarnya. Terdapat banyak diskriminasi yang telah kami rasakan di tempat ini. Orang Belanda dan Manado adalah Kompi I sementara suku lain seperti Jawa termasuk kedalam Kompi III. Skala gaji dan menu makanan pun memang sangatlah berbeda antara Kompi I dan Kompi III.
Dan keseharianku sebagai tentara pun dimulai bersama kedua temanku itu. Kegiatan kami sebagai serdadu adalah baris berbaris di lapangan Banteng, di depan kediaman Panglima Divisi I KNIL. Juga ada kalanya kami berlatih di luar lapangan yakni latihan tembak menembak di Sunter. Sesekali Haris ikut komandan Kompi meninjau persiapan perbentengan di Cilincing. Dalam tugas lapangan, disiplin dijunjung tinggi sebagaimana lumrahnya dunia militer yang keras. Namun ketika kembali ke barak-barak, kami mengalami kehidupan sosial yang amat berbeda. Menjaga ketertiban bukanlah hal yang mudah, pada siang hari kamar-kamar perlu dikosongkan untuk inspeksi petugas piket.Â
Dan di tempat inilah kami mendapat julukan 'anak kolong' karena kamar yang sempit dibagi bagi untuk beberapa orang (keluarga) hingga harus tertidur di kolong kasur. Tapi untungnya aku tak memiliki satupun keluarga jadi aku tak pernah tidur di kolong kasur.