Mohon tunggu...
Anggita Zahra_XMIPA5
Anggita Zahra_XMIPA5 Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Pelajar SMA jones yang mencari kebahagiaan lewat ruang imaginasi. Hidup tanpa halusinasi bagai malam tanpa bintang, dapat dijalani namun samasekali tidak berkesan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ada Apa dengan Museum G30SPKI?

16 Oktober 2023   13:43 Diperbarui: 16 Oktober 2023   14:04 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Te..terima kasih,kak," ucapnya. "Iya tak masalah aku rasa, ngomong ngomong kenapa kau bisa ada di sini?" Tanyaku padanya. "Aku sebenarnya sedang mencari anjing peliharaanku di hutan ini tapi aku malah diserang oleh anjing liar," jawabnya. "Tempat ini seharusnya tidak boleh dilewati sembarang orang. Memangnya orang tuamu tidak melarangmu?" Tanyaku lagi. "Hehehe," ia malah tertawa cengengesan. Sepertinya anak ini cukup nakal. "Aku rasa kau perlu kembali ke desamu," kataku. "Tapi bagaimana dengan anjingku?" Tanyanya lagi. "Anjing memiliki insting yang mampu membuatnya kembali kepada pemiliknya, jadi kau tidak perlu khawatir. Sekarang apa kau mampu berjalan?" Tanyaku. Ia pun mencoba untuk berdiri namun kelihatannya ia agak kesakitan. Akhirnya dengan terpaksa ku gendong bocah itu di punggungku. "Tunjukan jalan menuju desamu!" Seruku padanya. Ia mengangguk dan mengantarku ke desanya.

Akhirnya setelah berjalan beberapa menit kami sampai di sebuah desa permai yang terlihat indah nan hijau. Ada beberapa warga yang berlalu lalang sembari membawa keranjang di atas kepala mereka. Ada juga yang tengah asik berkebun dan berternak kerbau. Suasana yang elok dan langka ini benar benar membuatku ranah. "Kak, sebenarnya aku masih memerlukan bantuan kakak," kata si bocah itu ditengah kesejukan ini. "Apa maksudmu?" Tanyaku. "Se..sebenarnya alasanku mencari anjing peliharaanku itu karena ayahku," jelasnya. "Memangnya ada apa dengan ayahmu?" Tanyaku. "Aku merasa kasihan padanya karena ia selalu saja kesulitan mencari uang oleh karena itu aku selalu membantunya dengan menggembala kambing kepada seorang tuan dengan anjingku itu," jelasnya.

Aku merasa prihatin padanya. "Tanpa anjingku itu aku tak mampu mencari nafkah untuk membantu keuangan ayahku," jelasnya lagi. Aku menghela nafas berat. "Baiklah aku akan mencoba mencari anjingmu itu, namun untuk saat ini tolong antarkan aku ke rumahmu," pintaku. Begitu mendengar jawabanku wajahnya langsung sumringah dan ia segera mengantar ku masuk kedalam pelosok desa. Kami melewati banyak warga yang tengah sibuk dengan pekerjaan mereka. Tak jarang dari mereka sesekali menyapa si bocah. "Euis, kamana wa atuh," serunya. "Biasa , keur jalan-jalan," balas si bocah. Akhirnya kami berhenti di sebuah rumah panggung kolot yang terbuat dari susunan kayu. Begitu masuk, kudapati seorang pria tua berpakaian pangsi yang tengah terduduk di ruang tamunya. "Punteun Pak. Euis pulang," salamnya begitu memasuki rumah. "Loh kakimu kenapa?" Tanya ayahnya khawatir. "Kaki Euis tadi di gigit anjing liar sampai Euis tidak bisa jalan, untungnya Euis bertemu dengan kakak ini yang membantu Euis sampai ke sini," jelas bocah yang bernama Euis itu. "Oh ya ampun, hatur nuhun nya, maaf jika anak saya merepotkan," ucap ayah Euis padaku. "Sama-sama, pak," balasku. "Oh iya Pak, jika boleh tahu, siapakah ketua adat di desa ini?" Tanyaku. Sejujurnya aku ingin tinggal di desa ini untuk sementara waktu namun aku memerlukan izin tersebut dari Ketua Adat. 

"Saya sendiri Kepala Adat di desa ini hehe," jawabnya sambil tertawa. "Eh maaf ya Pak, jadi begini Pak, apakah saya diperbolehkan untuk tinggal di desa ini sementara waktu?" Tanyaku. "Tentu saja kamu boleh tinggal,Nak apalagi kamu sudah membantu anak saya, hanya saja kamu perlu memenuhi aturan yang ada disini," jawabnya. "Baiklah,Pak. Terima kasih banyak," ucapku. "Seharusnya saya yang berterima kasih," balasnya lagi sembari tersenyum. "Tunggu sebentar..memangnya kau memiliki tempat tinggal?" Tanya nya lagi dengan khawatir. "Saya rasa tidak," jawabku. "Sebaiknya kamu menginap di rumah saya saja ya, anggap saja ini balas budi saya karena kamu sudah membantu anak saya," ucapnya. Aku terdiam, kupikir pria tua ini benar benar berbudi. "Oh iya nama saya Asep Suwirjo, kamu bisa panggil saya Pak Asep," katanya. "Nama saya Andra, sekali lagi terima kasih banyak, Pak," balasku. Ia hanya tersenyum sembari mengangguk-angguk. 

Baiklah sekarang aku perlu mencari anjing milik bocah itu. "Jika boleh tahu bagaimanakah bentuk anjing peliharaanmu itu?" Tanyaku pada si bocah. "Warna bulunya abu dan ia memiliki tubuh yang cukup besar hampir sepaha orang dewasa dan juga aku memasangkan kalung merah padanya," jelasnya panjang lebar. Aku mengangguk dan segera mencari anjing itu. Ku mulai mencarinya dari ujung ke ujung desa hingga ke persawahan sampai akhirnya aku menemukannya di dekat sebuah sungai.  Rupanya anjing itu tengah memakan beberapa ikan hasil dari para pemancing. Aku segera mendekatinya, rupanya anjing ini sudah terbiasa bergaul dengan manusia, buktinya ia sama sekali tidak menggigitku begitu ku membelainya. Ku segera membawanya kepada si bocah dan begitu ku sampai di halaman rumah. Ia segera menghampiri kami dan memeluk anjing miliknya itu. Ia berterima kasih padaku berkali kali hingga aku tak sanggup membalasnya.

Keseharian ku di desa itu pun dimulai. Aku bekerja sebagai seorang tukang panggul di sebuah pasar dan pendapatanku memang tak sebesar sebelumnya bahkan jauh lebih kecil. Aku selalu membayarkan uang ku itu pada Pak Asep, kuanggap saja sebagai uang sewa selama tinggal disana. Terkadang aku dan Euis sering kali menggembala kambing bersama anjingnya itu. Entah sudah berapa lama aku tinggal disana rasanya sudah hampir setahun saja. Terkadang aku selalu merasa merepotkan Pak Asep,namun tiap kali aku berkata demikian, 'kamu ini tidak perlu merasa begitu, kamu sudah saya anggap putera sendiri' balasnya. Ia memanglah pria tua yang baik.

Hingga suatu hari, pasukan Jepang akhirnya datang ke desa. Mereka mengumumkan penawaran untuk bergabung menjadi pekerja sukarela. Beberapa dari warga desa ada yang memilih untuk bergabung. Aku sendiri ikut bergabung dalam pasukan (PETA) bersama beberapa pemuda lainnya. Ujian tes yang kudapati rupanya tak jauh berbeda dari pelatihan tentara Belanda sebelumnya. Setelah beberapa hari lamanya akhirnya aku diperintahkan untuk dipindahkan ke Prembun Kebumen dan disinilah akhir ceritaku di desa ini. "Aduh sing lancar sadaya di sananya, nuhun pisan salami ieu geus bantuan Bapak" ucapnya kepadaku. "Iya Pak, saya juga mau berterima kasih pada, Bapak. Semoga kita dipertemukan lagi, maaf ya Pak jika aku merepotkan Bapak," balasku. Ia memelukku dan menepuk nepuk punggung ku. Setelah berpamitan aku pun pergi menuju Prembun bersama prajurit pribumi lainnya.

Sesampainya di Prembun aku ditempatkan di salah satu asrama Renseitai yang ada di sana. Dan di tempat itulah untuk yang ketiga kalinya aku bertemu dengan Yani. "Loh, kamu kan Andra?" Serunya padaku dengan terbelalak. "Iya lama tidak bertemu," balasku. "Astaga, untunglah kau selamat di hari itu," ucapnya. Disaat itulah tiba-tiba saja dua orang temannya menghampiri kami. "Ini siapa,Yani?" Tanya salah satu dari mereka. "Ini teman lama saya, Andra namanya," jelasnya pada temannya itu. "Kalo kamu teman Yani, maka kamu teman saya juga, nama saya Sarwo Edhie, biasa dipanggil Edi," ucap salah seorang dari mereka yang bernama Edi. "Kalau saya Raden Mas, biasa dipanggil Mas," tambah salah seorang lainnya.

Dan disanalah pendidikan militer ku di mulai bersama ketiga teman ku itu. Disana, kami mendapat pelatihan fisik dan latihan yang bersifat akademik. Mengetik dengan mesin tik salah satunya. Demi melancarkan keterampilannya di mesin tik, kami bahkan sampai kursus mengetik di sanggar ARTI di Purworejo. Disanalah kami berkenalan dengan Yayuk Ruliyah Sutodiwiryo, seorang wanita cantik berdarah Sumatera yang berprofesi sebagai guru mesin tik.

Yani seringkali membicarakan wanita itu kala kami tengah berbincang di asrama. "Kau ini tidak ada bosan bosannya membicarakan Yayuk," ucap Edi. "Ya mau bagaimana lagi rasanya semua pikiranku hanya ada dia seorang," balas Yani. "Haha dasar kau ini, kena cinta monyet ya!" Ucap Mas sembari tertawa diikuti oleh kami bertiga. Namun rupanya saat itu Yani dan Yayuk telah berpacaran. Yani sering kali mengendarai sepedanya hanya untuk menemui kekasihnya itu. Padahal Jarak Prembun ke Purworejo sekitar 25 km. Tapi menurut Yani jarak adalah tembok besar yang harus dituntaskan sesegera mungkin. 

Setelah berbulan bulan di Renseitai, aku dan Yani mendaftarkan diri untuk ditempa lagi sebagai calon perwira berpangkat shodancho di Bogor pada Oktober 1943 bersama sekira 100 jebolan Renseitai Magelang, termasuk Sarwo Edhie. Di Bogor, kami berkenalan dengan banyak pemuda seperti Zulkifli Lubis yang datang dari Renseitai Cimahi. Selama pendidikan shodancho berjalan, regu kami dinilai oleh pelatih Jepang cenderung lebih maju daripada yang lain. Sebagai bekas Renseitai dan regu yang dinilai cukup baik, regu kami tak lagi ikut merangkak dalam latihan fisik tetapi lebih sering menjadi pembantu pelatih. Biasanya memerankan kelompok musuh dan saat menunggu latihan serangan dimulai, kami memilih menghabiskan waktu menunggu itu dengan menyeduh kopi. Saat regu lain mulai menyerbu, barulah regu kami bersiap dan sudah menghabiskan kopi masing masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun