"Sekarang saya akan melakukan ritual tertentu. Tolong jangan berpindah tempat" Pintanya.Â
Saat itu juga ia melukai lengan kirinya sendiri dengan benda tajam itu. Seketika darah segar mengalir dari lengannya. Aku terdiam karena saking ngerinya. Aku pikir orang ini sudah gila. Ritual aneh macam apa yang dimaksudkan nya ini. Di atas lukisan itu ia menggambar lingkaran dengan pentagram didalamnya menggunakan keris yang berlumuran darah. Setelah itu ia mengeluarkan tiga buah lilin dari saku celananya dan meletakkannya tepat di depan lukisan itu sembari menyalakannya satu persatu. Dan.. hal aneh pun terjadi. Tulisan-tulisan darah itu berubah menjadi api yang berkobar dan mulai membakar lukisan itu.
"Astaga! Apa yang terjadi?" Kata-ku terkejut bukan main.Â
"Dengan ini aku.. akan mengantarkanmu ke tempat. Disanalah kau akan memperbaiki lini waktu!" Serunya padaku.Â
Aku kebingungan bukan main dan tiba-tiba saja, jantungku rasanya seperti berhenti berdetak. Rasa sesak ini benar benar menyiksaku. Kepalaku jadi terasa amat berat. Mataku pun jadi ikut berkunang kunang. Hingga akhirnya aku pun tersungkur dan tak sadarkan diri.
"Waduh.. kowe ora opo opo?"Â
Tiba-tiba saja aku bisa mendengar suara seorang wanita dengan dialek jawa dari telingaku. Apa aku sudah gila? Aku harus segera membuka mataku. Dengan perlahan kubuka kedua mataku. Dan betapa terkejutnya diriku begitu melihat lingkungan sekitarku yang bukan lagi lorong perpustakaan melainkan lingkungan kota yang terlihat bahari seperti foto di koran koran lama milik kakek ku. Begitu ku melihat ke arah si wanita yang mengatakan sesuatu padaku tadi, aku semakin kaget dibuatnya. Wanita itu mengenakan kebaya kuno. Dan ia tidak sendirian,teman-temannya yang lain juga mengenakan pakaian yang sama kunonya dengan dia. Apalagi gaya rambut mereka yang terlihat jadul.
"Astaga..." ucapku terperangah.Â
"Dwk kenopo?" Tanya wanita itu lagi.Â
"Ha?" tanyaku kebingungan bukan main.Â
Jika dilihat dari wajah mereka kelihatannya usia mereka tak jauh berbeda dariku. Sekitar tujuh belas hingga delapan belas tahun. "Die kagak bisa basa Jawa," kata salah satu dari mereka. "Ente gimane ceritane bisa ada di sini?" Ucapnya. Mungkin ia bertanya mengapa aku bisa berada di tempat ini. Untung saja ada seseorang yang bisa berbahasa betawi di sini, aku jadi sedikit mengerti.