Mohon tunggu...
Anggita Zahra_XMIPA5
Anggita Zahra_XMIPA5 Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Pelajar SMA jones yang mencari kebahagiaan lewat ruang imaginasi. Hidup tanpa halusinasi bagai malam tanpa bintang, dapat dijalani namun samasekali tidak berkesan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ada Apa dengan Museum G30SPKI?

16 Oktober 2023   13:43 Diperbarui: 16 Oktober 2023   14:04 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun ada hal aneh lain pula yang kerap kali dilakukan para prajurit disini, yaitu tiap kali ada seorang pribumi lain yang melewati lokasi ini maka akan dimaki maki dan di pukuli. Jadi tidak heran jika kami para prajurit rendahan sering diolok olok sebagai 'anak kolong' karena kenakalan kami. Garis bawahi aku tidak pernah memukul dan mengejek orang yang melintas namun tetap saja di cap sebagai 'anak kolong'.

Tidak hanya itu kesialan yang kuhadapi. Dalam lingkungan ini rasanya pergundikan bukan lagi hal yang tabu. Para istri dan anak anak prajurit memiliki tempat tersendiri dalam barak-barak dan para serdadu Eropa hidup bersama gundik mereka. Rasanya hidup ku ini jadi tidak memiliki privasi sama sekali. Pernah sekali ada seorang istri dari Letnan Belanda dan seorang gundik yang mencoba menggangguku. Aku dibuat geram karenanya dan memilih untuk tidak menggubris mereka, alhasil mereka pun menjauh secara perlahan. Garis bawahi kembali dan catat di buku kalian aku tidak pernah sekalipun menyentuh para gundik kotor seperti mereka.

Di pagi hari keadaan barak barak amat ramai dengan suara riuh bocah bocah. Banyak istri dari para prajurit yang kerepotan untuk segera mengosongkan kamar. Bahkan pernah sekali, saat Kusuma tengah menjadi dinas piket ia mendapati seorang bocah yang buang air besar begitu saja di pekarangan. Karena saking tidak ada waktu nya untuk pergi ke kakus.

Dan begitulah keseharianku dalam dua tahun terakhir ini. Hingga usiaku saat ini menginjak dua puluh tahun. Semuanya berakhir hingga para tentara Jepang menginvasi tahun 1942. Saat itulah aku mengalami peperangan berdarah yang sesungguhnya. Kami para prajurit diperintahkan untuk mundur hingga ke Bandung. Dan di tempat itulah aku bertemu dengan Yani untuk yang kedua kalinya. Mungkin suasana kali ini tidaklah cocok menjadi tempat reuni antara dua orang teman lama.

"Sudah lama ya kita tidak bertemu," ucapnya dengan senyum pahit. "Iya, aku tidak pernah menyangka jika kau akan masuk ke dunia militer," balasku. "Hm akupun begitu. Kukira kau tidak akan menjadi seorang tentara, aku berharap kau mendapat pekerjaan yang jauh lebih baik dari ini," katanya. "Mau bagaimana lagi? Perjalananku sudah sampai disini. Aku tak mungkin bisa kembali ditengah jalan," jawabku. Ia menghela nafas berat. "Sejujurnya aku tak masalah jika kau menjadi seorang tentara. Namun kau tahu sendiri banyak dari kawan kita yang akan gugur di tempat ini," jelasnya dan aku hanya bisa terdiam. "Jangan sampai mati, kawan! Aku percaya padamu!" Ucapnya seraya menepuk-nepuk bahuku.

Akhirnya aku ditempatkan di Divisi V bersama Haris. Dan disinilah pertempuran dimulai. Suara tembakan telah menjadi musik di telingaku. Mayat pribumi bergelimpangan dimana-mana. Aku hanya bisa terus menembaki para tentara Jepang itu. Namun kelihatannya mereka tak ada habis habisnya. Banyak dari teman ku yang gugur akibat peperangan ini. Kami terus menerus dipukul mundur oleh pasukan musuh, sialnya lagi banyak dari para pasukan-ku yang malah menyerah dan hanya tersisa diriku, Haris juga para tentara Australia. 

"Haris?! Awas disampingmu ada granat?!!" Teriak-ku padanya. Lantas ia segera mengambil granat itu dan melemparnya kembali ke arah musuh. Sebuah ledakan pun tercipta di udara. Aku berusaha menembaki tentara Jepang itu. Dan tiba-tiba saja salah satu dari peluru mereka berhasil mengenai kepalaku. "Andra!!" Teriak Haris padaku. Rasa sakit yang amat dahsyat ini tak sanggup lagi kubendung dan mendadak saja semuanya menjadi gelap. 

Seketika itu aku terbangun di sebuah tempat gelap nan sunyi. 'Dimanakah ini, apakah aku sudah mati?' Aku bertanya-tanya dan segera melihat ke arah sekelilingku, benar saja tak ada satupun benda atau makhluk hidup yang ada di tempat ini. "Hey! Kau kemarilah" tiba tiba saja aku mendengar suara seseorang dari belakang. Saat berbalik badan aku bertemu dengan seorang pria asing yang wajahnya tertutupi oleh bayangan hitam. "Mulai sekarang aku akan membantumu," ucapnya seraya memberikanku sebuah keris hitam. Begitu ku menyentuhnya keris itu berubah warna menjadi semerah darah. "Pergunakan itu untuk hal yang baik!" Serunya padaku. "Dengan benda itu kau mampu memanipulasi waktu," jelasnya. "Apa maksudmu?" Tanyaku. "Kau akan memahaminya nanti, untuk saat ini lanjutkan apa yang sudah kau kerjakan! Ingatlah jangan membuang buang waktu!" Perintahnya. 

Aku terkesiap, dan terbangun begitu saja, rupanya semua itu hanyalah mimpi. Aku dibuat terkejut lagi karena saat ini aku sedang terduduk di atas tumpukan mayat prajurit yang sudah membengkak. Astaga apa yang terjadi? Dengan segera aku beranjak dari sana. Setelah melihat sekeliling rupanya tempat ini masih di Ciater. Namun dimanakah yang lain? Hutan ini benar benar sepi. Dimanakah para tentara Jepang itu? Akhirnya karena dirasa sudah aman aku berinisiatif untuk berjalan keluar dari hutan itu dan betapa terkejutnya aku karena semuanya sudah berubah. Aku tak menemukan jejak pasukan Belanda sedikitpun. 

Aku segera melepas seragam tentara ku dan berjalan ke arah pedesaan terdekat. Namun di tengah jalan aku malah bertemu dengan seorang gadis kecil dari desa yang kakinya terluka seperti terkena gigitan hewan liar. "Hey apa kau baik baik saja?" Tanyaku. Ia menangis karena kesakitan. Aku ingin membantunya tapi memangnya apa yang kumiliki saat ini? Saat ku hendak mencari sesuatu di sabuk celanaku tiba-tiba saja aku merasakan sebuah benda padat yang mengganjal di sana. Saat ku meraihnya rupanya itu adalah keris semerah darah yang ku dapat di dalam mimpi.

Aku tertegun bukan main. Apa artinya semua ini? Jangan bilang semua hal yang kulalui itu nyata. Aku terdiam dan segera menaruh keris itu kembali ke sabuk celanaku. Untuk saat ini aku perlu fokus menangani bocah ini terlebih dahulu. Lalu kucoba koreh kembali saku celana dan untungnya ada sebuah gulungan perban yang bisa digunakan untuk mengobatinya. Ku segera melilitkan perban itu pada kakinya dan mengikat tiap ujungnya dengan rapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun