Apa yang terjadi? Mengapa aku tak mampu mengendalikan tubuhku? Suara hentakan kaki dari para prajurit pengkhianat itu berhasil membuatku muak. Mendadak saja mereka menarik tanganku dan menyeretku ke suatu tempat. Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Aku sangat amat khawatir dengan kondisi istri dan anak-anak ku. Aku tak sanggup membayangkan rasa cemas yang mereka landa saat ini. Seharusnya saat itu aku tak perlu membantah, diam-pun rasanya sudah cukup. Tiba-tiba mereka menembak tubuhku untuk yang kesekian kalinya. Entah mengapa, namun semua penderitaan ini tak lagi mampu membuatku merasakan pedih.Â
'Apa-apaan ini tidak ada sinyal di ponselku. Study Tour kali ini benar benar membosankan.' Itulah yang ku ucapkan dalam hati, karena hari ini aku dan teman-teman satu angkatan-ku tengah berada dalam sebuah gedung museum perjuangan G30S PKI. Aku sendiri tidak yakin apa makna yang bisa diambil dari semua hal yang telah kami lalui di tempat angker ini. Tapi yang pasti tempat ini tak seburuk yang kelihatannya.
"Baiklah murid-murid, sekarang ibu mau kalian semua membuat kelompok studi, ya!" Seru salah seorang guru pada kami.Â
"Andra, apa kau mau satu kelompok denganku?" Tanya Maya temanku.Â
"Tidak terimakasih," jawabku seadanya.Â
"Cih, kau ini dingin sekali ya, pantas saja banyak perempuan yang menyerah untuk mendekatimu," tambahnya.Â
"Sungguh aku tak begitu peduli dengan hal semacam itu," balasku sekedarnya.Â
"Huft, ya sudah" ucapnya dan pergi begitu saja.Â
Aku hanya bisa terdiam melihat perilakunya itu. Dasar perempuan, mereka memanglah mahluk yang membingungkan.Â
"Oke.. seperti yang telah kita ketahui tujuh orang Jendral yang telah meninggal di tangan PKI diantaranya Jenderal Ahmad Yani, Letjen Suprapto, Letjen S. Parman, Letjen M. T. Haryono, Mayjen D. I. Panjaitan, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo dan Jenderal Nasution, dan bisa kalian lihat disini, seperti inilah para PKI menyiksa jendral-jendral yang telah mereka culik..." jelas seorang kurator museum.Â
Ia menunjuk ke arah sebuah miniatur-miniatur kecil berbentuk manusia yang diatur sedemikian rupa hingga terlihat seolah-olah beberapa dari mereka tengah menyiksa miniatur-miniatur lain yang berpakaian selayaknya jenderal.
Aku yakin seratus persen jika teman-temanku sama sekali tidak menghiraukan apa yang kurator museum itu katakan, mereka pasti sibuk dengan ponsel mereka masing-masing. Dan benar saja buktinya ada di depan mata kepalaku sendiri. Salah satu dari mereka ada yang tengah asyik berfoto ria, sedangkan yang lainnya tengah asyik bermain video game dan yang lebih parahnya lagi ada yang malah sibuk bermesraan di gedung museum ini. Jika sudah begini, rasanya gedung ini sudah tak layak lagi disebut sebagai sarana edukatif dan malah lebih cocok disebut sebagai sarana edu main bagi remaja yang malas belajar. Perlu digaris bawahi, para remaja yang disebutkan disini berperilaku aneh kecuali diriku.
"Andra, ayo kita main game! selagi para guru dan pengawas sedang sibuk ngobrol" seru Kemal, salah satu teman sekelasku.Â
"Hm.. aku tidak mau. Sebaiknya kau bermain game dengan yang lain saja," jawabku.Â
"Oh iya sudah..jika kamu menyukai acara membosankan ini," ucapnya dengan nada mengejek seraya pergi mendekati kawan-kawan nya yang lain.Â
Dasar Kemal dia terlalu kekanak-kanakan. Padahal kita sudah duduk dibangku kelas tiga SMA.Â
Aku menghela nafas berat dan mencoba berdiam diri sejenak, melihat teman-temanku pergi mengikuti si kurator museum. Hingga dalam beberapa detik saja aku sudah tak bisa melihat batang hidung mereka dari tempatku berdiri. Entah mengapa aku merasa jika tempat ini terasa sangat hampa. Rumor yang beredar soal museum yang digadang-gadang sebagai tempat angker ternyata tidak sepenuhnya salah. Mendadak saja bulu kuduk-ku jadi merinding. Dan tiba-tiba saja... aku merasa jika seseorang menepuk bahu kananku dari belakang...Â
"Hhhkk?!!" aku terkesiap dan segera berbalik badan.Â
Rupanya yang menepuk bahuku tadi hanyalah seorang penjaga museum berkacamata hitam.
"Maaf ya,dik. Bapak mengagetkan adik ya?" Tanya-nya dengan khawatir.
"Huft... tidak kok, Pak,"jawabku ramah.Â
"Saya sebenarnya sedang butuh bantuan, tapi teman-teman saya yang lain sedang mengantar murid-murid SMA untuk study tour. Bila berkenan apakah adik mau menolong saya?" Tanya-nya lagi.
Aku berpikir sejenak, alangkah baiknya jika aku menolong-nya saja. Mungkin ia memang membutuhkan bantuanku. Aku jadi teringat dengan pesan nenek-ku, ia pernah berkata jika aku harus senantiasa menjadi orang yang sabar dan suka membantu orang lain.Â
"Baiklah, aku akan membantu bapak," jawabku.Â
"Bagus, sekarang ayo ikut saya!" seru-nya sembari berjalan ke suatu tempat.Â
Aku segera mengikutinya. Ia mengantarku ke sebuah lorong yang cukup gelap. Langkah kakinya begitu cepat, rasanya aku tak mampu lagi untuk mengejarnya.
"Bapak! Maaf, bisakah bapak berjalan dengan sedikit perlahan?" tanya-ku sembari sedikit berlari untuk mengejarnya.
"Oh iya, maaf," jawab-nya lagi dan ia mulai memperlambat langkah kakinya.Â
"Ngomong ngomong, bisakah kau membawa kunci ini untuk sementara waktu?" tanyanya seraya memberikanku sebuah kunci kuno berkarat.Â
Aku hanya bisa menerimanya dan membawanya seperti yang ia perintahkan. Ia benar-benar sigap selayaknya tentara.Â
'Apakah pelatihan penjaga museum sama seperti pelatihan militer?' Aku bertanya-tanya.Â
Beberapa lama kemudian, sebuah anomali muncul dari lorong gelap tak berujung ini. Rasanya aku seperti menghirup bau aneh yang sangat menyengat. "Maaf ya jika disini sedikit bau, karena kami petugas museum diharuskan membakar beberapa kemenyan," ucapnya seraya berjalan. Aku hanya bisa mengiyakan apa yang ia katakan.Â
Hingga akhirnya kami berhenti di sebuah ruangan. Terpampang dengan jelas sebuah lukisan besar seorang jenderal yang gagah di salah satu sudut dinding ruangan tersebut. Terdapat pula beberapa sesajen di depan lukisan itu. Tiba-tiba saja petugas museum itu mengeluarkan sebuah keris dari sabuk celananya. Sejak kapan seorang penjaga museum memiliki senjata tajam seperti itu. Astaga...
"Sekarang saya akan melakukan ritual tertentu. Tolong jangan berpindah tempat" Pintanya.Â
Saat itu juga ia melukai lengan kirinya sendiri dengan benda tajam itu. Seketika darah segar mengalir dari lengannya. Aku terdiam karena saking ngerinya. Aku pikir orang ini sudah gila. Ritual aneh macam apa yang dimaksudkan nya ini. Di atas lukisan itu ia menggambar lingkaran dengan pentagram didalamnya menggunakan keris yang berlumuran darah. Setelah itu ia mengeluarkan tiga buah lilin dari saku celananya dan meletakkannya tepat di depan lukisan itu sembari menyalakannya satu persatu. Dan.. hal aneh pun terjadi. Tulisan-tulisan darah itu berubah menjadi api yang berkobar dan mulai membakar lukisan itu.
"Astaga! Apa yang terjadi?" Kata-ku terkejut bukan main.Â
"Dengan ini aku.. akan mengantarkanmu ke tempat. Disanalah kau akan memperbaiki lini waktu!" Serunya padaku.Â
Aku kebingungan bukan main dan tiba-tiba saja, jantungku rasanya seperti berhenti berdetak. Rasa sesak ini benar benar menyiksaku. Kepalaku jadi terasa amat berat. Mataku pun jadi ikut berkunang kunang. Hingga akhirnya aku pun tersungkur dan tak sadarkan diri.
"Waduh.. kowe ora opo opo?"Â
Tiba-tiba saja aku bisa mendengar suara seorang wanita dengan dialek jawa dari telingaku. Apa aku sudah gila? Aku harus segera membuka mataku. Dengan perlahan kubuka kedua mataku. Dan betapa terkejutnya diriku begitu melihat lingkungan sekitarku yang bukan lagi lorong perpustakaan melainkan lingkungan kota yang terlihat bahari seperti foto di koran koran lama milik kakek ku. Begitu ku melihat ke arah si wanita yang mengatakan sesuatu padaku tadi, aku semakin kaget dibuatnya. Wanita itu mengenakan kebaya kuno. Dan ia tidak sendirian,teman-temannya yang lain juga mengenakan pakaian yang sama kunonya dengan dia. Apalagi gaya rambut mereka yang terlihat jadul.
"Astaga..." ucapku terperangah.Â
"Dwk kenopo?" Tanya wanita itu lagi.Â
"Ha?" tanyaku kebingungan bukan main.Â
Jika dilihat dari wajah mereka kelihatannya usia mereka tak jauh berbeda dariku. Sekitar tujuh belas hingga delapan belas tahun. "Die kagak bisa basa Jawa," kata salah satu dari mereka. "Ente gimane ceritane bisa ada di sini?" Ucapnya. Mungkin ia bertanya mengapa aku bisa berada di tempat ini. Untung saja ada seseorang yang bisa berbahasa betawi di sini, aku jadi sedikit mengerti.
"A.. aku.. eh.. maksudnya sa..saya juga bingung" Jawabku terbata bata. Semoga saja apa yang kuucapkan bisa mereka pahami. Tiba-tiba saja ada seorang pemuda yang menghampiri kami. Ia melihat ke arahku dan melirik ke arah benda yang kugenggam saat ini. Iya, apalagi kalau bukan kunci berka-... tunggu.. tunggu sebentar mengapa kunci ini jadi terlihat seperti baru?
"Loh ini kunci rumah ku! kau maling ya!" Ucapnya tiba-tiba. "Ah? Apa? Tidak-tidak! Aku tidak tahu sejak kapan kunci ini ada di tanganku," jawabku sekonyong-konyongnya.Â
"Yani, elu kagak boleh asal nuduh die! Die ini baru aje pingsan," bantah salah seorang wanita dengan dialek betawi. "Bisa jadi dia nemuin kunci rumah engkau," tambah yang lain. Ngomong-ngomong mengapa mereka begitu membelaku? "Mosok iyo lanang sebagus ini nyuri konci rumah," kata wanita yang lain. "Dasar kalian ini, sekalinya bertemu pemuda rupawan langsung disanjung-sanjung seperti dewa," balasnya. "Elu ini, minta maaf dulu sono!" Seru salah satu wanita itu.
"Ya sudah aku minta maaf, terima kasih sudah menemukan kunci rumah ku," tambahnya lagi. "Iya tidak apa," ucapku seraya memberikan kunci yang dikata-kata miliknya itu. Oh tidak... bagaimana ini? Aku tidak mungkin terjebak di masa lalu, bukan? Jika iya aku harus apa? Haruskah aku mencari keberadaan rumah nenekku. Tapi memangnya ia akan mengenaliku? Ya Tuhan, aku benar benar benci situasi seperti ini!
"Kau kelihatannya kebingungan. Ada apa?" Tanya si pemuda itu padaku. Aku tak mungkin bisa memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi. Bisa-bisa aku disebut orang aneh atau bahkan orang gila di zaman ini. "Dimana rumahmu? Apa kau mau berjalan pulang bersama ku?" Tanya nya. Aku hanya bisa terdiam. Rupanya ia orang yang cukup peduli. "Oh iya aku belum memperkenalkan diri ya! Perkenalkan namaku Ahmad Yani, biasa dipanggil Yani," katanya seraya menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan. Aku menghela nafas berat dan segera membalas jabat tangannya itu. "Namaku Andra, dan sepertinya saat ini aku tersesat..," jawabku berbohong.
"Apa? Tersesat. Ya ampun, sebaiknya kau datang ke rumah ku terlebih dahulu. Siapa tahu ayah atau paman ku bisa membantumu," ajaknya ramah. Padahal kita tidak saling mengenal namun ia malah berusaha membantuku. Aku jadi merasa tidak enak, namun mau bagaimanapun juga aku memang memerlukan bantuannya. "Ba..baiklah terimakasih," balasku. Kami akhirnya memutuskan untuk mulai berjalan meninggalkan para wanita itu. "Hati-hati yoh," seru salah seorang dari mereka.
"Jikalau boleh tahu, kita sedang berada dimana ya?" Tanyaku padanya. "Hahaha mana mungkin kau tidak tahu, ini kota Batavia. Sepertinya kau memang benar benar tersesat ya," jelasnya sembari tertawa cekikikan. Batavia.. bukankah itu nama ibu kota Jakarta di era sembilan belasan? Rupanya saat ini aku telah melintasi waktu. Ya tuhan rasanya ini seperti mimpi. Aku mencoba untuk mencubit tanganku sendiri, dan benar saja rasanya sakit. Astaga, apa yang harus kulakukan sekarang? Aku melihat ke arah sekelilingku. Semuanya benar benar terasa tak biasa sejauh mata memandang. Ada beberapa orang belanda yang berlalu lalang, juga ada beberapa orang bertelanjang dada yang membawa karung besar di bahu mereka, kelihatannya mereka seperti tukang panggul.Â
"Tunggu sebentar apa ini?" Tiba tiba saja ia berhenti dan memungut sebuah kertas yang ada di jalanan. "Dicari pribumi yang bersedia menjadi angkatan bersenjata..." gumamnya seraya membaca kertas itu dengan wajah serius. "Apakah aku boleh melihat kertas nya?" Tanyaku. "Oh iya ini," jawabnya seraya memberikan surat edaran itu padaku. "Apa arti dari surat edaran ini?" Tanyaku. "Sepertinya orang-orang Belanda sedang membutuhkan pasukan militer," jelasnya.
"Apakah kau mau bergabung?" Tanyaku basa basi. "Aku sendiri tidak yakin... karena saat ini aku tengah belajar di AMS, dan hanya tinggal satu tahun setengah lagi baru akan lulus," ujarnya dengan kecewa. "Tapi apakah kau tertarik dengan militer?" Tanyaku lagi. "Hehe jika soal itu.. aku rasa iya hehehe," balasnya cengengesan. Aku hanya bisa tersenyum.
"Ngomong-ngomong orang tuamu bekerja dimana?" Tanyaku. "Oh Ayahku bekerja di pabrik gula milik Belanda, memangnya kenapa?" Tanyanya balik. "A..aku sedang mencari pekerjaan sekarang ini, oh o..oleh.. karena nya aku tersesat," jawabku membual. "Ohh begitu ya," balasnya mengangguk angguk.
Setelah berjalan beberapa menit kami akhirnya sampai di sebuah rumah kecil. Yani membuka pintu rumah itu dengan kuncinya. "Ayo masuk!" Ujarnya padaku. Aku segera mengikutinya masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan yang tengah menyisir rambut anak perempuannya.
"Oh iya ini ibuku" ucap Yani padaku. Aku tersenyum dan mencium tangan ibunya itu. "Siapa ini,Yani? Kok temanmu ini cakep betul?" Tanya wanita itu. "Andra namanya, kami bertemu di jalan," jawabnya. "Apa kau sudah makan, Nak?" Tanya wanita itu padaku. "Ah su..sudah bu," jawabku berusaha untuk terlihat sopan. "Jangan malu-malu ayo sini, makan dulu!" Ajaknya.
Pada akhirnya aku malah menginap di rumah tersebut. Aku dan Yani membicarakan banyak hal. Dan rasanya kita telah akrab hanya dalam beberapa menit saja. Namun tetap saja perasaan resah dan gelisah berkecamuk dalam kepalaku. 'Kalau sudah begini aku harus bisa mencari nafkah sendiri' kataku dalam hati. Rasanya aku terpaksa harus bergabung dengan angkatan bersenjata Belanda itu. Aku tidak mungkin bisa terus menerus tinggal di rumah Yani. 'Tapi bagaimana jika aku mati kala berkhianat?' Aku bertanya-tanya.
Keesokan paginya aku menghampiri Yani di ruang tamunya. Aku rasa mulai hari ini aku harus berusaha keras. Walau terjebak di masa ini aku tetap tidak mau hidup sengsara. "Maaf ya jadi merepotkanmu," ucapku pada Yani. "Tidak perlu meminta maaf. Bukankah membantu sesama itu sebuah keharusan? Lagipula kau sudah menemukan kunci rumahku, " jawabnya.
"Aku rasa hari ini aku sudah bisa pulang kerumah," ucapku berbohong untuk yang kedua kalinya. "Eh? Yang benar? Jadi sekarang kau tidak jadi mencari pekerjaan?" Tanya nya khawatir. "Iya aku rasa begitu," kataku berbohong untuk yang ketiga kalinya, sial memang. "Baiklah jika memang begitu, jangan segan segan untuk meminta pertolongan ku lagi!" Serunya. Aku pun berpamitan kepada kedua orangtua Yani dan bergegas pergi dari rumah itu. Entah mengapa tapi rasanya tak peduli jika saat ini adalah masa lalu atau masa depan, aku selalu berusaha untuk menyelesaikan masalahku sendiri. Rasanya tidak ada satupun orang yang peduli padaku.Â
Orang tuaku telah berpisah dan mereka selalu saja memikirkan diri mereka sendiri hingga aku ditempatkan di panti asuhan. Rasanya terjebak di masa lalu seperti sekarang ini jauh lebih baik. Apalagi aku bertemu dengan seseorang seperti Yani, rasanya itu seperti sebuah mukjizat dari Tuhan. Baiklah kembali ke tugasku saat ini, mencari pekerjaan. Untungnya aku masih menyimpan kertas edaran itu. Pada alamatnya tertulis di.. Tunggu sebentar alamat dimanakah ini? Akhirnya aku terpaksa bertanya tanya pada orang sekitar, hingga bertemu dengan dua orang pasukan Belanda yang sedang berjaga di depan sebuah lapangan luas.
Jujur saja tapi aku ragu begitu melihat mereka. Bagaimana jika mereka tak bisa menggunakan bahasa Indonesia? Haruskah aku pergunakan bahasa Inggrisku tapi memangnya mereka bisa menggunakan bahasa Inggris? Ah sial, aku benci pikiranku. Akhirnya tanpa rencana apapun aku mendekati mereka."Hei anak muda, apa yang kau lakukan disini?" Tanya salah seorang dari mereka. Rupanya mereka dapat berbicara dengan bahasa Indonesia. "Se..sebenarnya a..aku ingin bergabung dengan pasukan militer" Jawabku seadanya seraya menunjukan surat edaran yang kupegang pada mereka.
Mereka pun melihat selembaran kertas itu dan mulai memeriksaku."Masuklah!" perintah mereka. Aku hanya bisa mengangguk dan memasuki lapangan luas itu. Disana sudah ada beberapa orang pribumi yang dilatih oleh para prajurit militer Belanda. Aku segera mendekat dan ikut baris berbaris. Kami dilontarkan berbagai pertanyaan seperti 'Apa kalian sudah yakin untuk mengkhianati pribumi lain?' Dan 'selama kalian ada disini ikutilah perintah atasan tanpa pandang bulu!' Kami bahkan di pukuli bila Jawaban yang diucapkan salah atau ragu-ragu. Akibatnya wajahku jadi penuh dengan luka lebam.
Setelah beberapa pertanyaan itu dilontarkan, dimulailah latihan fisik yang cukup menguras tenaga hingga sore hari. Tak lupa aku pun menjalani pendidikan wajib militer hingga berhari hari bahkan sampai berbulan-bulan lamanya. Setelah bulan-bulan yang melelahkan itu akhirnya aku ditempatkan sebagai pasukan batalion X. Menurut mereka kemampuan ku sudah sangat baik, hingga aku lebih cepat diresmikan sebagai tentara ketimbang pribumi-pribumi lain. Dan disanalah aku mengenal seorang tentara lain bernama Abdul Haris juga temannya yang bernama Kartakusuma, kami dapat dengan mudahnya akrab satu sama lain.
"Jika dilihat-lihat enak sekali ya orang-orang Manado itu, mereka dapat gaji tiga kali lipat juga makanan yang kelihatan lezat." Ujar Kusuma pada kami."Ya mau bagaimana lagi kita kan hanya orang Jawa biasa" balas Haris. Tapi Kusuma memang ada benarnya. Terdapat banyak diskriminasi yang telah kami rasakan di tempat ini. Orang Belanda dan Manado adalah Kompi I sementara suku lain seperti Jawa termasuk kedalam Kompi III. Skala gaji dan menu makanan pun memang sangatlah berbeda antara Kompi I dan Kompi III.
Dan keseharianku sebagai tentara pun dimulai bersama kedua temanku itu. Kegiatan kami sebagai serdadu adalah baris berbaris di lapangan Banteng, di depan kediaman Panglima Divisi I KNIL. Juga ada kalanya kami berlatih di luar lapangan yakni latihan tembak menembak di Sunter. Sesekali Haris ikut komandan Kompi meninjau persiapan perbentengan di Cilincing. Dalam tugas lapangan, disiplin dijunjung tinggi sebagaimana lumrahnya dunia militer yang keras. Namun ketika kembali ke barak-barak, kami mengalami kehidupan sosial yang amat berbeda. Menjaga ketertiban bukanlah hal yang mudah, pada siang hari kamar-kamar perlu dikosongkan untuk inspeksi petugas piket.Â
Dan di tempat inilah kami mendapat julukan 'anak kolong' karena kamar yang sempit dibagi bagi untuk beberapa orang (keluarga) hingga harus tertidur di kolong kasur. Tapi untungnya aku tak memiliki satupun keluarga jadi aku tak pernah tidur di kolong kasur.
Namun ada hal aneh lain pula yang kerap kali dilakukan para prajurit disini, yaitu tiap kali ada seorang pribumi lain yang melewati lokasi ini maka akan dimaki maki dan di pukuli. Jadi tidak heran jika kami para prajurit rendahan sering diolok olok sebagai 'anak kolong' karena kenakalan kami. Garis bawahi aku tidak pernah memukul dan mengejek orang yang melintas namun tetap saja di cap sebagai 'anak kolong'.
Tidak hanya itu kesialan yang kuhadapi. Dalam lingkungan ini rasanya pergundikan bukan lagi hal yang tabu. Para istri dan anak anak prajurit memiliki tempat tersendiri dalam barak-barak dan para serdadu Eropa hidup bersama gundik mereka. Rasanya hidup ku ini jadi tidak memiliki privasi sama sekali. Pernah sekali ada seorang istri dari Letnan Belanda dan seorang gundik yang mencoba menggangguku. Aku dibuat geram karenanya dan memilih untuk tidak menggubris mereka, alhasil mereka pun menjauh secara perlahan. Garis bawahi kembali dan catat di buku kalian aku tidak pernah sekalipun menyentuh para gundik kotor seperti mereka.
Di pagi hari keadaan barak barak amat ramai dengan suara riuh bocah bocah. Banyak istri dari para prajurit yang kerepotan untuk segera mengosongkan kamar. Bahkan pernah sekali, saat Kusuma tengah menjadi dinas piket ia mendapati seorang bocah yang buang air besar begitu saja di pekarangan. Karena saking tidak ada waktu nya untuk pergi ke kakus.
Dan begitulah keseharianku dalam dua tahun terakhir ini. Hingga usiaku saat ini menginjak dua puluh tahun. Semuanya berakhir hingga para tentara Jepang menginvasi tahun 1942. Saat itulah aku mengalami peperangan berdarah yang sesungguhnya. Kami para prajurit diperintahkan untuk mundur hingga ke Bandung. Dan di tempat itulah aku bertemu dengan Yani untuk yang kedua kalinya. Mungkin suasana kali ini tidaklah cocok menjadi tempat reuni antara dua orang teman lama.
"Sudah lama ya kita tidak bertemu," ucapnya dengan senyum pahit. "Iya, aku tidak pernah menyangka jika kau akan masuk ke dunia militer," balasku. "Hm akupun begitu. Kukira kau tidak akan menjadi seorang tentara, aku berharap kau mendapat pekerjaan yang jauh lebih baik dari ini," katanya. "Mau bagaimana lagi? Perjalananku sudah sampai disini. Aku tak mungkin bisa kembali ditengah jalan," jawabku. Ia menghela nafas berat. "Sejujurnya aku tak masalah jika kau menjadi seorang tentara. Namun kau tahu sendiri banyak dari kawan kita yang akan gugur di tempat ini," jelasnya dan aku hanya bisa terdiam. "Jangan sampai mati, kawan! Aku percaya padamu!" Ucapnya seraya menepuk-nepuk bahuku.
Akhirnya aku ditempatkan di Divisi V bersama Haris. Dan disinilah pertempuran dimulai. Suara tembakan telah menjadi musik di telingaku. Mayat pribumi bergelimpangan dimana-mana. Aku hanya bisa terus menembaki para tentara Jepang itu. Namun kelihatannya mereka tak ada habis habisnya. Banyak dari teman ku yang gugur akibat peperangan ini. Kami terus menerus dipukul mundur oleh pasukan musuh, sialnya lagi banyak dari para pasukan-ku yang malah menyerah dan hanya tersisa diriku, Haris juga para tentara Australia.Â
"Haris?! Awas disampingmu ada granat?!!" Teriak-ku padanya. Lantas ia segera mengambil granat itu dan melemparnya kembali ke arah musuh. Sebuah ledakan pun tercipta di udara. Aku berusaha menembaki tentara Jepang itu. Dan tiba-tiba saja salah satu dari peluru mereka berhasil mengenai kepalaku. "Andra!!" Teriak Haris padaku. Rasa sakit yang amat dahsyat ini tak sanggup lagi kubendung dan mendadak saja semuanya menjadi gelap.Â
Seketika itu aku terbangun di sebuah tempat gelap nan sunyi. 'Dimanakah ini, apakah aku sudah mati?' Aku bertanya-tanya dan segera melihat ke arah sekelilingku, benar saja tak ada satupun benda atau makhluk hidup yang ada di tempat ini. "Hey! Kau kemarilah" tiba tiba saja aku mendengar suara seseorang dari belakang. Saat berbalik badan aku bertemu dengan seorang pria asing yang wajahnya tertutupi oleh bayangan hitam. "Mulai sekarang aku akan membantumu," ucapnya seraya memberikanku sebuah keris hitam. Begitu ku menyentuhnya keris itu berubah warna menjadi semerah darah. "Pergunakan itu untuk hal yang baik!" Serunya padaku. "Dengan benda itu kau mampu memanipulasi waktu," jelasnya. "Apa maksudmu?" Tanyaku. "Kau akan memahaminya nanti, untuk saat ini lanjutkan apa yang sudah kau kerjakan! Ingatlah jangan membuang buang waktu!" Perintahnya.Â
Aku terkesiap, dan terbangun begitu saja, rupanya semua itu hanyalah mimpi. Aku dibuat terkejut lagi karena saat ini aku sedang terduduk di atas tumpukan mayat prajurit yang sudah membengkak. Astaga apa yang terjadi? Dengan segera aku beranjak dari sana. Setelah melihat sekeliling rupanya tempat ini masih di Ciater. Namun dimanakah yang lain? Hutan ini benar benar sepi. Dimanakah para tentara Jepang itu? Akhirnya karena dirasa sudah aman aku berinisiatif untuk berjalan keluar dari hutan itu dan betapa terkejutnya aku karena semuanya sudah berubah. Aku tak menemukan jejak pasukan Belanda sedikitpun.Â
Aku segera melepas seragam tentara ku dan berjalan ke arah pedesaan terdekat. Namun di tengah jalan aku malah bertemu dengan seorang gadis kecil dari desa yang kakinya terluka seperti terkena gigitan hewan liar. "Hey apa kau baik baik saja?" Tanyaku. Ia menangis karena kesakitan. Aku ingin membantunya tapi memangnya apa yang kumiliki saat ini? Saat ku hendak mencari sesuatu di sabuk celanaku tiba-tiba saja aku merasakan sebuah benda padat yang mengganjal di sana. Saat ku meraihnya rupanya itu adalah keris semerah darah yang ku dapat di dalam mimpi.
Aku tertegun bukan main. Apa artinya semua ini? Jangan bilang semua hal yang kulalui itu nyata. Aku terdiam dan segera menaruh keris itu kembali ke sabuk celanaku. Untuk saat ini aku perlu fokus menangani bocah ini terlebih dahulu. Lalu kucoba koreh kembali saku celana dan untungnya ada sebuah gulungan perban yang bisa digunakan untuk mengobatinya. Ku segera melilitkan perban itu pada kakinya dan mengikat tiap ujungnya dengan rapi.
"Te..terima kasih,kak," ucapnya. "Iya tak masalah aku rasa, ngomong ngomong kenapa kau bisa ada di sini?" Tanyaku padanya. "Aku sebenarnya sedang mencari anjing peliharaanku di hutan ini tapi aku malah diserang oleh anjing liar," jawabnya. "Tempat ini seharusnya tidak boleh dilewati sembarang orang. Memangnya orang tuamu tidak melarangmu?" Tanyaku lagi. "Hehehe," ia malah tertawa cengengesan. Sepertinya anak ini cukup nakal. "Aku rasa kau perlu kembali ke desamu," kataku. "Tapi bagaimana dengan anjingku?" Tanyanya lagi. "Anjing memiliki insting yang mampu membuatnya kembali kepada pemiliknya, jadi kau tidak perlu khawatir. Sekarang apa kau mampu berjalan?" Tanyaku. Ia pun mencoba untuk berdiri namun kelihatannya ia agak kesakitan. Akhirnya dengan terpaksa ku gendong bocah itu di punggungku. "Tunjukan jalan menuju desamu!" Seruku padanya. Ia mengangguk dan mengantarku ke desanya.
Akhirnya setelah berjalan beberapa menit kami sampai di sebuah desa permai yang terlihat indah nan hijau. Ada beberapa warga yang berlalu lalang sembari membawa keranjang di atas kepala mereka. Ada juga yang tengah asik berkebun dan berternak kerbau. Suasana yang elok dan langka ini benar benar membuatku ranah. "Kak, sebenarnya aku masih memerlukan bantuan kakak," kata si bocah itu ditengah kesejukan ini. "Apa maksudmu?" Tanyaku. "Se..sebenarnya alasanku mencari anjing peliharaanku itu karena ayahku," jelasnya. "Memangnya ada apa dengan ayahmu?" Tanyaku. "Aku merasa kasihan padanya karena ia selalu saja kesulitan mencari uang oleh karena itu aku selalu membantunya dengan menggembala kambing kepada seorang tuan dengan anjingku itu," jelasnya.
Aku merasa prihatin padanya. "Tanpa anjingku itu aku tak mampu mencari nafkah untuk membantu keuangan ayahku," jelasnya lagi. Aku menghela nafas berat. "Baiklah aku akan mencoba mencari anjingmu itu, namun untuk saat ini tolong antarkan aku ke rumahmu," pintaku. Begitu mendengar jawabanku wajahnya langsung sumringah dan ia segera mengantar ku masuk kedalam pelosok desa. Kami melewati banyak warga yang tengah sibuk dengan pekerjaan mereka. Tak jarang dari mereka sesekali menyapa si bocah. "Euis, kamana wa atuh," serunya. "Biasa , keur jalan-jalan," balas si bocah. Akhirnya kami berhenti di sebuah rumah panggung kolot yang terbuat dari susunan kayu. Begitu masuk, kudapati seorang pria tua berpakaian pangsi yang tengah terduduk di ruang tamunya. "Punteun Pak. Euis pulang," salamnya begitu memasuki rumah. "Loh kakimu kenapa?" Tanya ayahnya khawatir. "Kaki Euis tadi di gigit anjing liar sampai Euis tidak bisa jalan, untungnya Euis bertemu dengan kakak ini yang membantu Euis sampai ke sini," jelas bocah yang bernama Euis itu. "Oh ya ampun, hatur nuhun nya, maaf jika anak saya merepotkan," ucap ayah Euis padaku. "Sama-sama, pak," balasku. "Oh iya Pak, jika boleh tahu, siapakah ketua adat di desa ini?" Tanyaku. Sejujurnya aku ingin tinggal di desa ini untuk sementara waktu namun aku memerlukan izin tersebut dari Ketua Adat.Â
"Saya sendiri Kepala Adat di desa ini hehe," jawabnya sambil tertawa. "Eh maaf ya Pak, jadi begini Pak, apakah saya diperbolehkan untuk tinggal di desa ini sementara waktu?" Tanyaku. "Tentu saja kamu boleh tinggal,Nak apalagi kamu sudah membantu anak saya, hanya saja kamu perlu memenuhi aturan yang ada disini," jawabnya. "Baiklah,Pak. Terima kasih banyak," ucapku. "Seharusnya saya yang berterima kasih," balasnya lagi sembari tersenyum. "Tunggu sebentar..memangnya kau memiliki tempat tinggal?" Tanya nya lagi dengan khawatir. "Saya rasa tidak," jawabku. "Sebaiknya kamu menginap di rumah saya saja ya, anggap saja ini balas budi saya karena kamu sudah membantu anak saya," ucapnya. Aku terdiam, kupikir pria tua ini benar benar berbudi. "Oh iya nama saya Asep Suwirjo, kamu bisa panggil saya Pak Asep," katanya. "Nama saya Andra, sekali lagi terima kasih banyak, Pak," balasku. Ia hanya tersenyum sembari mengangguk-angguk.Â
Baiklah sekarang aku perlu mencari anjing milik bocah itu. "Jika boleh tahu bagaimanakah bentuk anjing peliharaanmu itu?" Tanyaku pada si bocah. "Warna bulunya abu dan ia memiliki tubuh yang cukup besar hampir sepaha orang dewasa dan juga aku memasangkan kalung merah padanya," jelasnya panjang lebar. Aku mengangguk dan segera mencari anjing itu. Ku mulai mencarinya dari ujung ke ujung desa hingga ke persawahan sampai akhirnya aku menemukannya di dekat sebuah sungai. Â Rupanya anjing itu tengah memakan beberapa ikan hasil dari para pemancing. Aku segera mendekatinya, rupanya anjing ini sudah terbiasa bergaul dengan manusia, buktinya ia sama sekali tidak menggigitku begitu ku membelainya. Ku segera membawanya kepada si bocah dan begitu ku sampai di halaman rumah. Ia segera menghampiri kami dan memeluk anjing miliknya itu. Ia berterima kasih padaku berkali kali hingga aku tak sanggup membalasnya.
Keseharian ku di desa itu pun dimulai. Aku bekerja sebagai seorang tukang panggul di sebuah pasar dan pendapatanku memang tak sebesar sebelumnya bahkan jauh lebih kecil. Aku selalu membayarkan uang ku itu pada Pak Asep, kuanggap saja sebagai uang sewa selama tinggal disana. Terkadang aku dan Euis sering kali menggembala kambing bersama anjingnya itu. Entah sudah berapa lama aku tinggal disana rasanya sudah hampir setahun saja. Terkadang aku selalu merasa merepotkan Pak Asep,namun tiap kali aku berkata demikian, 'kamu ini tidak perlu merasa begitu, kamu sudah saya anggap putera sendiri' balasnya. Ia memanglah pria tua yang baik.
Hingga suatu hari, pasukan Jepang akhirnya datang ke desa. Mereka mengumumkan penawaran untuk bergabung menjadi pekerja sukarela. Beberapa dari warga desa ada yang memilih untuk bergabung. Aku sendiri ikut bergabung dalam pasukan (PETA) bersama beberapa pemuda lainnya. Ujian tes yang kudapati rupanya tak jauh berbeda dari pelatihan tentara Belanda sebelumnya. Setelah beberapa hari lamanya akhirnya aku diperintahkan untuk dipindahkan ke Prembun Kebumen dan disinilah akhir ceritaku di desa ini. "Aduh sing lancar sadaya di sananya, nuhun pisan salami ieu geus bantuan Bapak" ucapnya kepadaku. "Iya Pak, saya juga mau berterima kasih pada, Bapak. Semoga kita dipertemukan lagi, maaf ya Pak jika aku merepotkan Bapak," balasku. Ia memelukku dan menepuk nepuk punggung ku. Setelah berpamitan aku pun pergi menuju Prembun bersama prajurit pribumi lainnya.
Sesampainya di Prembun aku ditempatkan di salah satu asrama Renseitai yang ada di sana. Dan di tempat itulah untuk yang ketiga kalinya aku bertemu dengan Yani. "Loh, kamu kan Andra?" Serunya padaku dengan terbelalak. "Iya lama tidak bertemu," balasku. "Astaga, untunglah kau selamat di hari itu," ucapnya. Disaat itulah tiba-tiba saja dua orang temannya menghampiri kami. "Ini siapa,Yani?" Tanya salah satu dari mereka. "Ini teman lama saya, Andra namanya," jelasnya pada temannya itu. "Kalo kamu teman Yani, maka kamu teman saya juga, nama saya Sarwo Edhie, biasa dipanggil Edi," ucap salah seorang dari mereka yang bernama Edi. "Kalau saya Raden Mas, biasa dipanggil Mas," tambah salah seorang lainnya.
Dan disanalah pendidikan militer ku di mulai bersama ketiga teman ku itu. Disana, kami mendapat pelatihan fisik dan latihan yang bersifat akademik. Mengetik dengan mesin tik salah satunya. Demi melancarkan keterampilannya di mesin tik, kami bahkan sampai kursus mengetik di sanggar ARTI di Purworejo. Disanalah kami berkenalan dengan Yayuk Ruliyah Sutodiwiryo, seorang wanita cantik berdarah Sumatera yang berprofesi sebagai guru mesin tik.
Yani seringkali membicarakan wanita itu kala kami tengah berbincang di asrama. "Kau ini tidak ada bosan bosannya membicarakan Yayuk," ucap Edi. "Ya mau bagaimana lagi rasanya semua pikiranku hanya ada dia seorang," balas Yani. "Haha dasar kau ini, kena cinta monyet ya!" Ucap Mas sembari tertawa diikuti oleh kami bertiga. Namun rupanya saat itu Yani dan Yayuk telah berpacaran. Yani sering kali mengendarai sepedanya hanya untuk menemui kekasihnya itu. Padahal Jarak Prembun ke Purworejo sekitar 25 km. Tapi menurut Yani jarak adalah tembok besar yang harus dituntaskan sesegera mungkin.Â
Setelah berbulan bulan di Renseitai, aku dan Yani mendaftarkan diri untuk ditempa lagi sebagai calon perwira berpangkat shodancho di Bogor pada Oktober 1943 bersama sekira 100 jebolan Renseitai Magelang, termasuk Sarwo Edhie. Di Bogor, kami berkenalan dengan banyak pemuda seperti Zulkifli Lubis yang datang dari Renseitai Cimahi. Selama pendidikan shodancho berjalan, regu kami dinilai oleh pelatih Jepang cenderung lebih maju daripada yang lain. Sebagai bekas Renseitai dan regu yang dinilai cukup baik, regu kami tak lagi ikut merangkak dalam latihan fisik tetapi lebih sering menjadi pembantu pelatih. Biasanya memerankan kelompok musuh dan saat menunggu latihan serangan dimulai, kami memilih menghabiskan waktu menunggu itu dengan menyeduh kopi. Saat regu lain mulai menyerbu, barulah regu kami bersiap dan sudah menghabiskan kopi masing masing.
Di masa inilah Yani kerap kali memanfaatkan reputasinya sebagai salah satu calon perwira terbaik dengan sejumlah aksi akal-akalan demi mengisi perutnya. Aksi itu dilakukannya karena jatah makan di markas selalu dibatasi Jepang. Biasanya pada malam hari, apabila dapur sudah dikunci, Yani gemar mencuri roti yang besar dan keras, namanya roche brood, yang ditaruh di bakul bambu di ujung dapur, jauh dari pintu. Untuk mengambilnya harus pakai galah. Ia selalu berhasil mengambilnya tetapi tak pernah tertangkap atau ketahuan. Ia sering berbagi rotinya itu padaku.
Tidak hanya itu, Yani juga selalu kelayapan ke luar markas tanpa seizin Jepang. Itu dilakukannya dengan melompati pagar. Sebagai imbalan tutup mulut untuk ku dan teman-temannya yang lain, ia selalu membawakan buah tangan berupa singkong atau pisang goreng. Menurutku Yani benar benar orang yang sangat nekat bahkan di hari sebelum pelantikan kelulusan, Yani membuat onar lagi hingga berujung pada hukuman berjaga semalam suntuk bagi seluruh peleton. Namun untungnya di keesokan harinya, kami tetap dilantik di Lapangan Gambir dan resmi menyandang pangkat shodancho.Â
Saat itu Yani ditempatkan ke Daidan Perimbun sementara aku ditempatkan ke Blitar. Oleh karenanya sebelum berpisah kami memutuskan untuk mengobrol santai di sore hari. "Wah jika sudah begini kau bisa dekat dengan Yayuk lagi," kataku. "Hehehe iya, saya rasa juga begitu. Tapi untuk kali ini akan ada yang berbeda, saya akan melamarnya," balasnya. "Tunggu sebentar, bukankah shodancho seperti kita dalam kurun waktu tertentu belum diperbolehkan menikah?" Tanyaku heran. "Ah, itu kan hanya peraturan konyol. Saya tetap akan menikahi Yayuk," ucapnya. Dasar dia ini memang keras kepala seperti biasanya.
Dan akhirnya hari itu tiba, aku dipindahkan ke Blitar oleh pasukan Jepang bersama Muradi teman karibku selama di Bogor. Disana kami bertugas mengawasi romusha. Dan dalam satu hari saja, aku sudah merasa muak dengan kekejaman orang orang Jepang yang memperlakukan romusha dengan semena mena. Aku merasa tidak sanggup lagi bekerja seperti ini. Aku selalu dihantui perasaan bersalah. Aku menyaksikan sendiri rakyat Indonesia yang diposisikan sebagai romusa diperlakukan secara keji. Sering kali aku mencoba memberi mereka makan saat para prajurit Jepang tidak melihat. Namun semua itu tidak ada apa apanya dengan perlakuan keji yang mereka lakukan.
Hingga suatu hari saat mobil pengangkut pekerja paksa datang kemari, aku menemui seorang pria tua yang wajahnya sangat kukenali. Iya tak salah lagi, ia Pak Asep. Tubuhnya kurus kerontang bak tulang balut kulit. "Bapak? Kenapa bapak bisa ada disini?" Tanyaku padanya. "Kamu.. Andra? Astaga kamu betulan Andra kan?" Tanyanya padaku. "Iya Pak, saya Andra," jawabku. "Tolong bantu saya,nak. Saya mohon, Euis saat ini telah dijadikan gundik, saya merasa bersalah menjadi seorang Bapak. Tolong bantu ia, nak," ucapnya sembari dibanjiri air mata. "Ba..bagaimana bisa?" Tanyaku tidak percaya. "Ia diculik saat aku dipaksa menjadi pekerja," jawabnya sembari menangis. "Pak, untuk saat ini saya hanya bisa membawa Bapak kabur dari pekerjaan busuk ini, saya tidak tahu dimana keberadaan Euis," jawabku sedih. "Tidak, saya mohon, saya sudah tidak peduli dengan diri saya sendiri yang penting anak saya selamat hiks," katanya sembari menangis.Â
Aku sadar tak ada yang bisa kulakukan. Akhirnya rasa geram yang tak terbendung ini membuatku nyaris gila. Dan saat itulah nubuat buruk dalam sekejap muncul dikepalaku. 'Aku harus melakukan pemberontakan' ucapku dalam hati. Kuceritakan hal itu pada Muradi dan rupanya tidak sedikit anggota PETA lainnya yang mendukung rencana gila hasil gagasanku itu.
Ditemani Muradi dan beberapa perwira PETA lainnya, aku sempat menghadap Sukarno yang saat itu sedang pulang ke Blitar untuk meminta masukan atas rencana pemberontakan ini. Sukarno sebenarnya kurang yakin apakah kami sudah punya kekuatan yang cukup untuk melawan Jepang. "Pertimbangkanlah masak-masak untung ruginya, saya minta saudara-saudara memikirkan tindakan yang demikian itu tidak hanya dari satu segi saja," ujar Sukarno. "Kita akan berhasil!" jawabku, yang merupakan pimpinan tertinggi dalam rencana ini. "Saya berpendapat bahwa saudara terlalu lemah dalam kekuatan militer untuk dapat melancarkan gerakan semacam itu pada waktu sekarang," ucap Sukarno. "Kita akan berhasil!" Ucapku lagi tetap bersikukuh dan berupaya meyakinkan Sukarno.
Soekarno bahkan mengingatkan agar kami bercermin kepada insiden yang baru saja terjadi di Manchuria, ketika satu kompi tentara Jepang yang sudah gerah terhadap perilaku rekan-rekannya melakukan pemberontakan dan ditindas secara kejam. "Kalau sekiranya saudara-saudara gagal dalam usaha ini, hendaklah sudah siap memikul akibatnya. Jepang akan menembak saudara-saudara semua!" kata Sukarno. "Apakah Bung tidak bisa membela kami?!" tanya ku. "Tidak. Saudara anggota tentara, bukan orang preman. Dalam hukum militer, hukumanmu otomatis..." jawab Sukarno.
Akhirnya tanpa mendengarkan apa yang Sukarno katakan aku tetap bersikeras untuk menjalankan aksiku. Tanggal 14 Februari 1945 kupilih untuk menuntaskan rencanaku ini karena bertepatan dengan acara pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA yang akan digelar di Blitar. Diharapkan, mereka akan bergabung dalam aksi nanti dan aksi tersebut memantik daerah-daerah lain untuk melakukan hal serupa. Dan hari yang dinantikan akhirnya tiba juga.Â
Pada pukul 03.00 pagi kami menembakkan mortir pada sebuah hotel yang di duduki para perwira militer Jepang, aku juga memerintah kan Muradi dan pasukan yang dipimpinnya membersihkan para serdadu Jepang yang ada di dalam kota Blitar secara diam-diam. Kemudian kuperintahkan ia menarik mundur pasukannya ke dalam hutan untuk membuat kubu-kubu pertahanan dan sewaktu-waktu menyerang pada saat yang tepat. Selama rencana ini tidak sampai ke telinga musuh, seharusnya akan berhasil.Â
Namun ditengah perjalanan pemberontakan ini secara mendadak saja kepalaku jadi terasa amat sakit. 'Sial, jangan sekarang,' kataku dalam hati dan seketika itu pula aku tak mampu lagi merasakan tubuhku hingga seluruh penglihatanku menjadi gelap...
Beberapa bulan telah berlalu, Indonesia akhirnya menyatakan dirinya telah merdeka. Walaupun kemerdekaan ini belum mutlak tapi kami tetap mengusahakannya dengan seluruh jiwa raga yang kami miliki hingga akhirnya Indonesia diakui telah menjadi negara yang berdaulat pada tahun 1950. Namun semua itu belum selesai sampai di situ saja karena banyak dari saudara saudara kami yang malah memberontak. Hingga suatu hari aku diberi tugas untuk melawan tentara pemberontak DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang membuat kekacauan di daerah Jawa Tengah. Saat itu aku membentuk pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus, hingga akhirnya pasukan DI/TII pun berhasil dikalahkan. Seusai penumpasan DI/TII tersebut, aku kembali ke Staf Angkatan Darat. "Pak Yani, saya rasa Soeharto telah melakukan bisnis penyelundupan kepada orang Tionghoa," jelas Soebandrio. "Ha, Penyelundupan? Yang benar kamu!" Tegasku lagi. "Iya Pak, saya tidak bohong," ucapnya lagi. Saat itulah amarahku berhasil terpancing. "Antarkan saya pada Soeharto, sekarang!" Kataku padanya. Kami pun segera pergi menemui Soeharto.
Sesampainya disana kutampar Soeharto begitu saja 'Plak'. "Kamu ini telah mempermalukan korps Angkatan Darat. Bedebah sekali kamu!" Bentakku padanya. Hingga akhirnya akupun berhasil dilerai oleh salah seorang perwira yang ada disana. Nasution bahkan sampai memecat Soeharto karena kebebalannya itu. Sejak saat itu aku tak mau tahu lagi bagaimana keadaannya saat ini.Â
Pada tahun 1955 aku disekolahkan ke Amerika di Command and General Staff College di Kansas Amerika Serikay, selama sembilan bulan. Namun saat berpulang kembali ke Indonesia terjadi pemberontakan PRRI di Sumatera Barat, Aku yang masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus. Dan pada suatu hari, di bulan itu aku ingin mengadakan sebuah inspeksi ke suatu tempat dengan mengendarai jeep. Aku segera memerintahkan sopirku untuk mengemudikan mobil jeep ku itu. "Bapak, apakah tidak mau membawa pasukan pengawal karena rute yang dilalui masih cukup rawan?" Tanyanya. "Tidak usah, saya yakin jalan nya tidak seseram itu," jawabku asal asalan.Â
Kami pun bergegas menggunakan mobil jeep itu tanpa seorang pengawal, namun ditengah perjalanan tiba-tiba saja mobil kami ditembaki dari semak semak hingga terperosok ke selokan. Kamipun terpental dan segera mencari perlindungan. Disaat itulah sopirku terus terusan mengomel. "Apa kata saya tadi? Kenapa kita berangkat tanpa pengawalan? Apa kita harus mati konyol?" ujarnya. Apa yang ia katakan ada benarnya juga, memang akulah yang selalu keras kepala. Hingga akhirnya aku mengangkat sopirku itu sebagai sopir khusus Panglima Operasi 17 Agustus.
Bertahun tahun berlalu begitu saja, namun selama itu aku sama sekali belum pernah melihat atau mendengar nasib dari kawan lamaku, Andra. Tak ada seorangpun yang tahu kabar atau keberadaannya. Padahal Sukarno sudah menetapkannya sebagai menteri Pertahanan, tapi ia tak kunjung menunjukan dirinya akibatnya posisinya digantikan oleh orang lain. Aku sendiri yakin dengan pasti jika ia masih hidup, karena setahuku dia pemuda yang tangguh.Â
Sampai ditahun 1959 Sukarno mengumumkan Nasakom sebagai konsep politik. Saat itu hubungan Sukarno dan Nasution menjadi amat buruk. Nasution yang sangat anti-komunis dianggap sebagai penghalang presiden Soekarno yang gencar mengkampanyekan konsep Nasakom. Olehnya, pada 23 Juni 1962, aku ditunjuk sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat yang baru menggantikan Nasution. Posisi Nasution sendiri dialihkan sebagai Menteri Pertahanan Keamanan. Aku sendiri tidak begitu mempermasalahkan konsep Nasakom selagi itu tidak merugikan masyarakat umum.
Hingga suatu hari aku sedikit berdebat dengan Sukarno perihal pembentukan angkatan kelima usulan PKI. Aku yang menentang hal tersebut disetujui bersama dengan jenderal lain. "Pembentukan itu tidak efisien, pasukan sipil bersenjata sudah ada dalam wujud Pertahanan Sipil dan Hansip. Bukan hal yang tidak mungkin angkatan kelima berbahaya bagi TNI AD sendiri," jelasku untuk menentang nya. Saat itulah aku baru menyadari jika aku telah membuat kesalahan besar...
Seketika itu aku terbangun di sebuah tempat aneh yang pernah ku kunjungi sebelumnya. 'Astaga tempat ini lagi' ucapku dalam hati. Dan untuk yang kedua kalinya aku bertemu dengan Pria Asing itu. "Kau hanya membuang buang waktu wahai diriku," ucapnya sembari berjalan mendekat, ia menunjukan sosok dirinya yang sesungguhnya. Betapa terkejutnya diriku, rupanya ia memiliki wajah yang sangat mirip denganku. "Astaga siapa kau?" Tanyaku. "Aku adalah dirimu, dirimu yang gagal membongkar kebenaran," jawabnya. "Apa maksudmu?" Tanyaku lagi masih dengan kebingungan. "Baiklah ku ulangi, aku adalah dirimu yang gagal menyelamatkan salah seorang Jenderal dari kejadian 30 September," jelasnya lagi.
"Maafkan diri mu ini yang telah menculikmu di museum itu ya!, hahaha. Rasanya agak aneh berbicara dengan diriku sendiri," tambahnya lagi sambil tertawa. "Ha? Jadi kau itu si penjaga museum itu?" Tanyaku. "Iya itulah diriku," jawabnya. "Astaga kau telah membuatku melewati semua hal serumit ini," keluhku. "Hehehe, selamat ya! Bukankah kau jauh lebih bahagia jika terjebak di waktu dan masa ini ketimbang di masa depan? Kau tahu sendiri bukan, bagaimana orang orang di panti asuhan memperlakukanmu?" Tuturnya lagi dan aku hanya bisa menghela nafas berat, sepertinya ia memanglah diriku.Â
"Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya aku akan membantumu sekaligus memberimu sebuah misi," jelasnya. "Ha? Sebuah misi?" Ulangku. "Misi ini mungkin akan sedikit sulit, tapi aku yakin diriku yang berdiri di hadapanku saat ini akan mampu melakukannya," katanya. "Bagaimana bisa aku melakukannya jika diriku yang lain saja tak bisa," keluhku. "Ah dasar kau ini, kau pikir untuk apa aku membawamu kemari?" Tanyanya lagi dan aku hanya bisa terdiam. "Aku menaruh harapan besar padamu wahai diriku. Tidak, bukan hanya diriku tapi seluruh orang yang terfitnah menaruh harapan padamu," jelasnya lagi, jika sudah berhubungan dengan orang lain aku jadi tidak bisa mengelak. "Huft, baiklah akan ku usahakan," jawabku. "Bagus, itulah yang ingin kudengar dari mulutmu. Kau punya misi untuk menyelamatkan salah seorang Jenderal dari kejadian G30SPKI! Kau bisa saja menyelamatkan Yani jika kau mampu. Namun untuk sekarang aku akan mengajarimu bagaimana cara untuk memanipulasi waktu," ucapanya dan ia pun segera mengeluarkan sebuah keris dari sabuk celananya. Keris itu sangat mirip dengan keris yang ia berikan padaku sebelumnya, hanya saja keris itu berwarna ungu gelap. "Keris ini akan berubah warna seiring dengan penggunaannya, jika kau menggunakan untuk hal yang baik maka keris ini akan berubah menjadi kebiruan namun sebaliknya jika kau menggunakan ini untuk hal yang menguntungkan dirimu sendiri maka keris ini akan berwarna kemerahan," jelasnya.Â
"Baiklah sekarang mari kita mulai. Untuk melakukan ritual tentunya dibutuhkan pengorbanan, nah dalam ritual ini kau perlu mengorbankan darahmu sendiri, karena ritual ini hanya bisa dilakukan oleh darah keturunan tertentu seperti kita," tegasnya. "Kau perlu menggambar sebuah lingkaran pentagram dengan darahmu tiap kali akan melintasi waktu, tulislah dengan lengkap tahun hingga pukul berapa kau ingin pergi ke masa itu. Tulislah semua itu di setiap ujung sudut bintang pentagram yang telah kau buat. Ingat seluruh tulisan harus tertulis dengan darahmu!" Terangnya dan aku hanya bisa mengangguk angguk. "Baiklah, sekarang aku ingin kau mempraktekannya. Pergilah ke istana negara tahun 1965 di bulan September pada tanggal 28 pukul dua belas siang!" Serunya padaku, dan aku pun segera melakukan apa yang ia perintahkan. Pertama tama ku gores tangan kiriku menggunakan keris merah yang ia berikan itu hingga berdarah. Rasanya mungkin sedikit pedih tapi rasa sakit ini jauh lebih baik ketimbang tertembak pada bagian kepala oleh serdadu Jepang. Setelahnya ku mulai menggambar lingkaran dengan pentagram didalamnya dengan darahku itu. Lalu ku mulai menulis tanggal, bulan, tahun, pukul hingga tempat sesuai dengan yang ia serukan. "Setelah semua ini apa yang harus kulakukan?" Tanyaku padanya. "Berdirilah di tengah gambarmu itu!" Serunya. Dengan segera ku berdiri tepat di tengah pentagram itu. Dan hal aneh pun terjadi. Pentagram itu berubah menjadi api yang menyala nyala. Aku bergidik ngeri dibuatnya dan hendak berpindah. "Jangan bergerak! Api itu tidak akan menghanguskan mu,api itu hanya akan mengantarmu ke waktu yang kau tuju," jelasnya lagi. Aku pun diam sesuai dengan yang ia perintahkan. Api itu mulai membakar diriku. Hingga....
Mendadak saja aku sudah berada di halaman istana negara diikuti dengan api ditubuhku yang padam begitu saja. Astaga rupanya aku telah berhasil berpindah tempat dan tahun dalam waktu sekejap mata. Ku segera melihat ke arah sekelilingku dan dari balik jendela istana negara aku bisa mendengar suara Sukarno yang tengah membentak seseorang dengan cukup keras. "Kamu jangan PKI-phobi!" Bentaknya. "Tapi Pak, saya yakin Pak Yani itu masih setia dengan Bapak" ucap lawan bicara Sukarno. "Sudah! Jangan banyak bicara, jangan ikut-ikut. Kamu tahu dalam revolusi menurut Thomas Carlyle, seorang Bapak dapat memakan anaknya sendiri," kata Sukarno. "Waduh, kalau begitu bapak ini sudah jadi PKI," timpal lawan bicaranya lagi. "Diam kamu! Tak tempeleng pisan kowe. Sudah sudah pulang sana. Yang ngati-ati," pesan Sukarno. Saat itulah aku sadar jika Sukarno saat ini sudah tenggelam dalam kekuasaan. 'Sial, anak dan bapak ternyata sama saja' keluhku dalam hati. "Hey siapa kamu?" Tiba tiba saja seorang TNI penjaga istana negara melihatku dan aku pun segera lari kalang kabut.Â
Aku segera berlari-berlari dan berlari hingga ia tak sanggup mengejarku. Kemudian setelah dirasa aman ku ambil keris yang ada di sabuk celanaku dan segera memulai ritual. Dengan itu aku berniat pergi ke tahun 1965 pada bulan September tanggal 29 pukul 17:00, ke rumah Yani. Dan seketika itu juga pentagram yang kubuat dari darahku sendiri berubah menjadi api yang menyala nyala dan mulai melahap tubuhku dengan sangat cepat.
Hingga dalam sekejap aku sudah berada di halaman rumah Yani. Aku terkejut bukan main namun juga terkagum kagum pada ritual aneh ini. Dengan segera kudekati pintu rumahnya dan langsung mengetuknya. 'Tok - Tok - Tok'. Tak lama kemudian seseorang membuka pintu itu, dan itu rupanya Yani. Ia terkejut bukan main begitu melihatku. "Loh Andra!, darimana saja kamu? Saya sudah mencari kamu kemana mana. Kok muka kamu tidak tambah tua ya, awet muda juga kamu ini hehehe," sapanya sambil tertawa. "Iya Yani, sudah lama ya tidak bertemu," jawabku. "Ayo masuk!, jangan sungkan," serunya. Aku pun segera masuk mengekorinya dan duduk di salah satu sofa yang ada. "Anggap saja rumah sendiri," ucapnya lagi. "Iya terima kasih. Ngomong ngomong ada yang mau saya bicarakan," ucapku padanya. "Perihal apakah itu?" Tanya nya dengan raut wajah serius. "Perihal ini menyangkut golongan kiri itu, katanya mereka akan melakukan penyergapan kepada beberapa Jenderal," jawabku. "Intinya saya ingin kamu bersiap siap pada tanggal 30 September!" Tegasku. "Baik saya bakal berhati-hati," ucapnya dengan raut wajah serius. "Baiklah hanya itu yang ingin aku sampaikan, aku pamit dulu ya," ucapku dan segera keluar dari rumah itu.
Aku segera pergi menuju tempat yang dirasa sepi lalu melakukan ritual yang sama namun kali ini ku niatkan untuk pergi ke tanggal 30 September pada pukul 03.07 pagi di rumah Yani. Hingga akhirnya aku pun sampai di halaman rumah Yani. Ku lihat sekelilingku, semuanya benar benar gelap gulita. Ku segera memperhatikan keadaan rumah Yani. Namun rupanya ia tak menambahkan jumlah penjaga rumahnya. Sial ia tak mengindahkan peringatanku. Ku mengintip dari balik jendela, para PKI sudah memasuki rumah itu dan membunuh Ahmad Yani tepat di depan ruang kamarnya. Aku terdiam, perasaan takut dan merinding bergabung menjadi satu. Aku gagal menyelamatkan Yani. Tanpa pikir panjang ku segera memulai ritual agar kembali ke tanggal 29 September. 'Aku harus menyelamatkan kawanku' kataku dalam hati.
Setelah sampai di waktu yang kutuju aku segera mengetuk pintu seperti sebelumnya. Dan semuanya berjalan dengan sangat mirip. Yani berkata jika wajahku awet muda dan sebagainya.Â
"Yani!, esok hari akan ada PKI,kamu harus berjaga jaga!" tegasku.Â
"Iya saya tahu, lagipula saya pernah diperingatkan akan ada pasukan tertentu di tanggal 20 September tapi itu tidak terjadi toh," balasnya.Â
Sial dia benar benar keras kepala.
"Kalau begitu besok pukul tiga pagi ayo ikut denganku!" seruku.Â
"Ha? Kenapa pagi pagi sekali? Hendak kemana kamu?" tanyanya.Â
"Aku akan membawamu ke tempat yang penting," ujarku.Â
Aku pun kembali ke tanggal 30 September pada pukul 03.00 pagi dan berhasil mengajak Yani untuk pergi keluar.Â
"Untunglah kau mau ikut," ucapku.Â
"Hoam, aku ingin tahu kamu hendak pergi kemana," balasnya.Â
Dan beberapa menit setelahnya tepat pukul 03.07 tepat tiba tiba saja ada sebuah truk yang akan menabrakku. Yani segera mendorongku dan ia pun tertabrak oleh truk itu. Ia meninggal ditempat dengan kondisi yang jauh lebih buruk. Aku menggigit jariku, gagal lagi... gagal lagi...
Ku segera memulai ritual dan mencoba menyelamatkan Yani. Kali ini aku harus berhasil.
Berkali kali.. terus menerus.. hingga aku tak tahu sudah berapa kali aku melakukan ritual itu. Hingga...
"Coba kau sebutkan siapa saja korban dari G30SPKI !" Serunya. Mendadak saja aku sudah berada di tempat gelap nan sunyi yang pernah ku kunjungi sebelumnya. "Ahmad Yani, Suprapto, S.Parman, Haryono, Panjaitan, Sutoyo Siswomiharjo.." ucapku dengan suara bergetar karena masih merasa tegang dengan apa yang baru saja terjadi. 'Yani terbunuh begitu saja didepan mataku..berkali kali' ucapku dalam hati. "Kau melupakan satu orang lagi, Abdul Haris Nasution," jelasnya. "Tunggu sebentar Abdul Haris.. maksudmu Haris?" Tanyaku. Ia mengangguk. "Ingatlah, jangan buang buang waktumu untuk hal yang tak bisa kau ubah." Ucapnya.
Dan mendadak saja saat itu juga aku telah berdiri di depan halaman rumah Haris. Aku tertegun dan terdiam untuk waktu yang lama. "Hei apa yang kamu lakukan disini?" Ku dengar suara Haris dari balik badanku. Lantas aku segera berbalik. "Loh kamu kan Andra! kemana saja kamu?" Tanya Haris padaku dengan ramah. "Iya sa..saya anu..," aku bingung hendak menjawab apa. "Ya sudah ayo masuk dulu!" Serunya. Aku pun menerima tawarannya itu dan istrinya pun segera menyiapkan teh untuk kami berdua. "Kamu ini sudah dicari cari oleh banyak orang loh. Untunglah kalo kamu baik baik saja," ucapnya. "I..iya, ngomong ngomong tanggal berapakah sekarang ini?" Tanyaku. "Oh sekarang tanggal 29 September, memangnya ada apa?" Tanya nya balik. "Berdasarkan isu yang beredar saya rasa kamu perlu berjaga jaga nanti malam," ucapku. "Pasti yang kamu maksud itu golongan kiri itu kan?" Tanya nya dengan wajah serius dan aku pun mengangguk. "Iya saya mohon agar kamu tetap berhati hati," jelasku. "Baiklah saya mengerti," jawabnya. Setelah mengatakan hal itu aku segera pamit undur diri.Â
Untuk sekarang aku perlu memastikan jika Haris terbangun sebelum pukul 03.00 pagi agar ia memiliki waktu untuk kabur namun apa yang harus kulakukan? Aku kebingungan dan duduk dijalanan. Ku lihat sekelilingku, inilah keadaan Jakarta saat penjajah Belanda maupun Jepang telah tiada. Semuanya terasa berubah. Ku ingin bersantai sejenak dengan sedikit meluruskan kakiku namun tanpa sengaja aku telah menginjak sebuah genangan air yang tercipta dijalanan. Ku lihat genangan air itu, dan rupanya itu sudah terisi oleh jentik jentik nyamuk. Mendadak saja sebuah ide muncul dikepalaku. 'Iya kali ini pasti akan berhasil' tuturku dalam hati.
Resolusi :
Kugunakan ritualku kali ini dengan niat kembali ke tanggal 30 September 1965 pada pukul 03.00 pagi di halaman rumah Haris. Dan inilah hari penentuanku. Aku yakin Haris telah terjaga saat ini. Para PKI akhirnya muncul dan suara tembakan pun terdengar dari luar rumah Haris. Entah siapa yang mereka tembak semoga saja itu bukan Haris. Dan rupanya benar saja Haris sudah kabur dari belakang rumahnya, aku tertegun bukan main. Itu artinya dengan ini aku telah berhasil menyelamatkan salah seorang Jendral G30SPKI. Namun tiba-tiba saja aku melihat seorang wanita yang berlari mengikuti Haris sembari menggendong anak balita yang telah berlumuran darah dibagian pahanya. Astaga, rupanya yang ditembaki itu bukanlah Haris melainkan seorang balita yang tidak bersalah. Seketika itu kepala ku jadi terasa pening, aku tak sanggup lagi merasakan tubuhku hingga akhirnya tak sadarkan diri.
Aku mencoba membuka mataku yang terasa begitu berat. "Astaga dimana aku sekarang?" Gumamku, seketika itu juga aku tersadar rupanya saat ini aku telah kembali berada di ruangan museum. 'Jadi semuanya yang kulalui itu hanya mimpi?' Aku bertanya tanya.
Ku lihat ke arah sekelilingku rupanya lukisan Jenderal Nasution yang terpajang di dinding berubah menjadi lukisan seorang anak balita yang mirip dengan wajah anak yang pahanya tertembak di mimpiku sebelumnya. Aku tertegun, 'apa artinya semua itu bukanlah mimpi dan dengan ini aku telah mengubah lini waktu?' Pikirku. 'Oh iya dimanakah petugas museum itu'. Aku kebingungan dan tiba tiba saja aku melihat sebuah kertas yang sudah terlipat lipat tergeletak begitu saja di samping kananku. Lantas aku segera mengambilnya dan pada kertas itu tertulis 'terima kasih, kau telah berhasil'.Â
"Andra! Apa yang kau lakukan di sini?" Tiba tiba salah seorang temanku memanggilku. Iya siapa lagi jika bukan Kemal bersama dengan gerombolan teman teman lainnya. Aku segera menghampiri mereka. Astaga itu benar benar pengalaman yang sangat aneh yang pernah ku alami di museum. Rupanya secara mendadak aku telah menjadi seorang penjelajah waktu.
"Tahu kamu artinya apa seorang Menko? Seorang Wakil Ketua MPR Sementara kemari? Apa ini sumur? Untuk apa?" katanya kepada Mayjen Yasir Hadibroto. Namun gertakan Aidit kali ini tidak berpengaruh
"Saya mengerti pak, dan kalau bapak mau tahu sumur ini untuk apa? Ini buat bapak. Bapak tahu bukan kalau Pak Yani juga dimasukan sumur seperti ini?" kata Mayjen Yasir Hadibroto, kepada Aidit.
Sadar ajal semakin mendekat, Aidit kemudian meminta waktu untuk berpidato.
"Jangan tergesa-gesa, saya mau pidato dulu," kata Aidit.
Diakhir pidatonya, Aidit lalu berteriak "Hidup PKI!"
Seruan itu menjadi seruan Aidit yang terakhir, sebab sejurus kemudian, peluru langsung menyusup ke balik daging-dagingnya.
Daftar pustaka:
https://www.biografiku.com/biografi-jenderal-ahmad-yani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H