Aku pun kembali ke tanggal 30 September pada pukul 03.00 pagi dan berhasil mengajak Yani untuk pergi keluar.Â
"Untunglah kau mau ikut," ucapku.Â
"Hoam, aku ingin tahu kamu hendak pergi kemana," balasnya.Â
Dan beberapa menit setelahnya tepat pukul 03.07 tepat tiba tiba saja ada sebuah truk yang akan menabrakku. Yani segera mendorongku dan ia pun tertabrak oleh truk itu. Ia meninggal ditempat dengan kondisi yang jauh lebih buruk. Aku menggigit jariku, gagal lagi... gagal lagi...
Ku segera memulai ritual dan mencoba menyelamatkan Yani. Kali ini aku harus berhasil.
Berkali kali.. terus menerus.. hingga aku tak tahu sudah berapa kali aku melakukan ritual itu. Hingga...
"Coba kau sebutkan siapa saja korban dari G30SPKI !" Serunya. Mendadak saja aku sudah berada di tempat gelap nan sunyi yang pernah ku kunjungi sebelumnya. "Ahmad Yani, Suprapto, S.Parman, Haryono, Panjaitan, Sutoyo Siswomiharjo.." ucapku dengan suara bergetar karena masih merasa tegang dengan apa yang baru saja terjadi. 'Yani terbunuh begitu saja didepan mataku..berkali kali' ucapku dalam hati. "Kau melupakan satu orang lagi, Abdul Haris Nasution," jelasnya. "Tunggu sebentar Abdul Haris.. maksudmu Haris?" Tanyaku. Ia mengangguk. "Ingatlah, jangan buang buang waktumu untuk hal yang tak bisa kau ubah." Ucapnya.
Dan mendadak saja saat itu juga aku telah berdiri di depan halaman rumah Haris. Aku tertegun dan terdiam untuk waktu yang lama. "Hei apa yang kamu lakukan disini?" Ku dengar suara Haris dari balik badanku. Lantas aku segera berbalik. "Loh kamu kan Andra! kemana saja kamu?" Tanya Haris padaku dengan ramah. "Iya sa..saya anu..," aku bingung hendak menjawab apa. "Ya sudah ayo masuk dulu!" Serunya. Aku pun menerima tawarannya itu dan istrinya pun segera menyiapkan teh untuk kami berdua. "Kamu ini sudah dicari cari oleh banyak orang loh. Untunglah kalo kamu baik baik saja," ucapnya. "I..iya, ngomong ngomong tanggal berapakah sekarang ini?" Tanyaku. "Oh sekarang tanggal 29 September, memangnya ada apa?" Tanya nya balik. "Berdasarkan isu yang beredar saya rasa kamu perlu berjaga jaga nanti malam," ucapku. "Pasti yang kamu maksud itu golongan kiri itu kan?" Tanya nya dengan wajah serius dan aku pun mengangguk. "Iya saya mohon agar kamu tetap berhati hati," jelasku. "Baiklah saya mengerti," jawabnya. Setelah mengatakan hal itu aku segera pamit undur diri.Â
Untuk sekarang aku perlu memastikan jika Haris terbangun sebelum pukul 03.00 pagi agar ia memiliki waktu untuk kabur namun apa yang harus kulakukan? Aku kebingungan dan duduk dijalanan. Ku lihat sekelilingku, inilah keadaan Jakarta saat penjajah Belanda maupun Jepang telah tiada. Semuanya terasa berubah. Ku ingin bersantai sejenak dengan sedikit meluruskan kakiku namun tanpa sengaja aku telah menginjak sebuah genangan air yang tercipta dijalanan. Ku lihat genangan air itu, dan rupanya itu sudah terisi oleh jentik jentik nyamuk. Mendadak saja sebuah ide muncul dikepalaku. 'Iya kali ini pasti akan berhasil' tuturku dalam hati.
Resolusi :
Kugunakan ritualku kali ini dengan niat kembali ke tanggal 30 September 1965 pada pukul 03.00 pagi di halaman rumah Haris. Dan inilah hari penentuanku. Aku yakin Haris telah terjaga saat ini. Para PKI akhirnya muncul dan suara tembakan pun terdengar dari luar rumah Haris. Entah siapa yang mereka tembak semoga saja itu bukan Haris. Dan rupanya benar saja Haris sudah kabur dari belakang rumahnya, aku tertegun bukan main. Itu artinya dengan ini aku telah berhasil menyelamatkan salah seorang Jendral G30SPKI. Namun tiba-tiba saja aku melihat seorang wanita yang berlari mengikuti Haris sembari menggendong anak balita yang telah berlumuran darah dibagian pahanya. Astaga, rupanya yang ditembaki itu bukanlah Haris melainkan seorang balita yang tidak bersalah. Seketika itu kepala ku jadi terasa pening, aku tak sanggup lagi merasakan tubuhku hingga akhirnya tak sadarkan diri.