Mendadak saja aku sudah berada di halaman istana negara diikuti dengan api ditubuhku yang padam begitu saja. Astaga rupanya aku telah berhasil berpindah tempat dan tahun dalam waktu sekejap mata. Ku segera melihat ke arah sekelilingku dan dari balik jendela istana negara aku bisa mendengar suara Sukarno yang tengah membentak seseorang dengan cukup keras. "Kamu jangan PKI-phobi!" Bentaknya. "Tapi Pak, saya yakin Pak Yani itu masih setia dengan Bapak" ucap lawan bicara Sukarno. "Sudah! Jangan banyak bicara, jangan ikut-ikut. Kamu tahu dalam revolusi menurut Thomas Carlyle, seorang Bapak dapat memakan anaknya sendiri," kata Sukarno. "Waduh, kalau begitu bapak ini sudah jadi PKI," timpal lawan bicaranya lagi. "Diam kamu! Tak tempeleng pisan kowe. Sudah sudah pulang sana. Yang ngati-ati," pesan Sukarno. Saat itulah aku sadar jika Sukarno saat ini sudah tenggelam dalam kekuasaan. 'Sial, anak dan bapak ternyata sama saja' keluhku dalam hati. "Hey siapa kamu?" Tiba tiba saja seorang TNI penjaga istana negara melihatku dan aku pun segera lari kalang kabut.Â
Aku segera berlari-berlari dan berlari hingga ia tak sanggup mengejarku. Kemudian setelah dirasa aman ku ambil keris yang ada di sabuk celanaku dan segera memulai ritual. Dengan itu aku berniat pergi ke tahun 1965 pada bulan September tanggal 29 pukul 17:00, ke rumah Yani. Dan seketika itu juga pentagram yang kubuat dari darahku sendiri berubah menjadi api yang menyala nyala dan mulai melahap tubuhku dengan sangat cepat.
Hingga dalam sekejap aku sudah berada di halaman rumah Yani. Aku terkejut bukan main namun juga terkagum kagum pada ritual aneh ini. Dengan segera kudekati pintu rumahnya dan langsung mengetuknya. 'Tok - Tok - Tok'. Tak lama kemudian seseorang membuka pintu itu, dan itu rupanya Yani. Ia terkejut bukan main begitu melihatku. "Loh Andra!, darimana saja kamu? Saya sudah mencari kamu kemana mana. Kok muka kamu tidak tambah tua ya, awet muda juga kamu ini hehehe," sapanya sambil tertawa. "Iya Yani, sudah lama ya tidak bertemu," jawabku. "Ayo masuk!, jangan sungkan," serunya. Aku pun segera masuk mengekorinya dan duduk di salah satu sofa yang ada. "Anggap saja rumah sendiri," ucapnya lagi. "Iya terima kasih. Ngomong ngomong ada yang mau saya bicarakan," ucapku padanya. "Perihal apakah itu?" Tanya nya dengan raut wajah serius. "Perihal ini menyangkut golongan kiri itu, katanya mereka akan melakukan penyergapan kepada beberapa Jenderal," jawabku. "Intinya saya ingin kamu bersiap siap pada tanggal 30 September!" Tegasku. "Baik saya bakal berhati-hati," ucapnya dengan raut wajah serius. "Baiklah hanya itu yang ingin aku sampaikan, aku pamit dulu ya," ucapku dan segera keluar dari rumah itu.
Aku segera pergi menuju tempat yang dirasa sepi lalu melakukan ritual yang sama namun kali ini ku niatkan untuk pergi ke tanggal 30 September pada pukul 03.07 pagi di rumah Yani. Hingga akhirnya aku pun sampai di halaman rumah Yani. Ku lihat sekelilingku, semuanya benar benar gelap gulita. Ku segera memperhatikan keadaan rumah Yani. Namun rupanya ia tak menambahkan jumlah penjaga rumahnya. Sial ia tak mengindahkan peringatanku. Ku mengintip dari balik jendela, para PKI sudah memasuki rumah itu dan membunuh Ahmad Yani tepat di depan ruang kamarnya. Aku terdiam, perasaan takut dan merinding bergabung menjadi satu. Aku gagal menyelamatkan Yani. Tanpa pikir panjang ku segera memulai ritual agar kembali ke tanggal 29 September. 'Aku harus menyelamatkan kawanku' kataku dalam hati.
Setelah sampai di waktu yang kutuju aku segera mengetuk pintu seperti sebelumnya. Dan semuanya berjalan dengan sangat mirip. Yani berkata jika wajahku awet muda dan sebagainya.Â
"Yani!, esok hari akan ada PKI,kamu harus berjaga jaga!" tegasku.Â
"Iya saya tahu, lagipula saya pernah diperingatkan akan ada pasukan tertentu di tanggal 20 September tapi itu tidak terjadi toh," balasnya.Â
Sial dia benar benar keras kepala.
"Kalau begitu besok pukul tiga pagi ayo ikut denganku!" seruku.Â
"Ha? Kenapa pagi pagi sekali? Hendak kemana kamu?" tanyanya.Â
"Aku akan membawamu ke tempat yang penting," ujarku.Â