Hadi menjelaskan apa-apa saja yang ada di pesantren ini dari setiap detailnya ia hafal betul tempat ini. Seperti ia lahir dari dalam tanah yang di atasnya dibangun sebuah bangunan. Tetapi sebenarnya Hadi adalah salah satu korban kekejaman pemerintah kolonial. Orang tuanya tewas ditembak oleh tentara kolonial ketika ia masih berumur 4  bulan.
      Suara azan magrib berkumandang terdengar ke segala penjuru. Para santri bergegas untuk pergi ke Masjid. Mengenakan sarung dan berpeci hitam sembari membawa Al-Qur'an ditangannya. Lampu-lampu yang terbuat dari obor dinyalakan satu persatu. Menandakan bahwa waktu malam telah tiba.
      Semua orang yang ada di dalam Masjid beribadah dengan sangat khusyuk. Sehingga semakin terasalah keheningan malam yang semakin gelap ini. Terlepas dari kemungkinan buruk yang terjadi pada orang-orang didesaku. Aku berusaha untuk fokus menjalankan amanah dari kedua orang tuaku. Sampai-sampai aku lupa bahwa aku sedang merasakan ketakutan yang dalam dengan situasi yang ada di negeriku saat ini.
      Seorang anak laki-laki yang seperti keturunan dari orang-orang asing itu menyapaku dengan menepukkan tangannya ke pundakku. Wajahnya begitu mencolok dimataku. Ditengah-tengah orang yang berkulit sawo matang ada seorang anak yang berkulit putih dengan bercak kemerah-merahan di kulitnya.
" Siapa namamu? Boleh aku berkenalan denganmu?" tanya ia sembari mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan denganku.
" Sutan. Namaku Sutan. Lalu siapa namamu?" tanyaku sembari membalas jabat tangannya
" Nama Saya Whillem Osteric." Jawabnya
      Kami mengobrol sambil berjalan menuju kobong masing-masing.  Dia orang yang ramah dan terlihat ia mudah bergaul dengan orang sekitarnya.
      Sampai waktu subuh tiba semua santri bergegas kembali ke Masjid untuk melaksanakan kewajiban dari Tuhan yang Maha Esa. Aku lihat Whillem berjalan dengan sangat tenang menuju Masjid. Lalu aku menghampirinya dan berjalan menuju Masjid bersamaan. Sementara banyak santri yang berlari untuk segera sampai ke Masjid.
      Di saat matahari mulai memunculkan sinarnya aku melihat Whillem berjalan keluar dari pesantren. Aku mengikutinya dari belakang. Ternyata ia sudah dijemput oleh sebuah kereta kuda dengan seorang kusir di depannya dan banyak orang yang mengawalnya. Pikiranku penuh dengan tanda tanya. Mengapa bisa ia keluar masuk seenaknya dari sini. Apakah mungkin ia hanya dititipkan di sini atau memang ia diperintahkan untuk menimba ilmu bersama orang-orang pribumi. Padahal anak-anak kolonial punya sekolah khusus  bagi mereka.
      Cukup lama aku memperhatikan kapan Whillem kembali ke sini. Ternyata ia hanya pergi selama satu hari dalam seminggu. Entah ada hal apa aku pun tidak mengetahuinya. Aku semakin penasaran dan akhirnya aku memberanikan diri untuk menanyakan hal ini kepada Whillem.