Suara kereta kuda itu kembali muncul dan semakin jelas suaranya. Aku menghentikan pekerjaanku untuk melihat kereta kuda itu. Aku menunggu cukup lama dengan memperhatikan jalan yang tepat berada di bawah. Lalu seorang tentara berteriak dalam bahasa mereka yang menandakan pemimpin akan segera tiba di lokasi ini.
       Sebuah kereta muncul dari sebuah tebing yang menghalangi dan aku lihat ada seorang yang duduk dikereta itu. Aku perhatikan betul orang itu dengan tatapan yang tajam. Mataku yang mulai memerah karena tak berkedip demi mengetahui siapa orang itu. Lalu kereta kuda itu berhenti di sebuah tanah yang cukup luas yang akan dijadikan sebuah jalan itu.
       Seseorang yang  duduk di kereta kuda itu berdiri dan mulai memperhatikan sekitar. Alangkah terkejutnya mataku saat aku tahu bahwa orang itu adalah Whillem. Ya Whillem yang semasa kecil satu pesantren denganku. Rupanya dia menjelma menjadi seseorang yang kejam. Dengan cangkul yang digenggam oleh tanganku rasa ingin melemparkan cangkul ini ke kepalanya sudah menjadi-jadi.
       Semua orang dipanggil untuk menemui Whillem. Aku bergegas turun ke bawah dari bukit. Segera semuanya berkumpul dan semua kepala yang ada tertunduk karena ketakutan. Kecuali mataku yang terus melihat ke arah Whillem. Dengan lantang ia berteriak.
" Para penduduk pribumi yang lemah! Selesaikanlah segera pekerjaan kalian! Jangan ada yang melawan kepada saya. Dan siapa saja yang melawan kepada saya akan saya hukum dengan seberat-beratnya." Teriak Whillem
       Ia turun dari keretanya dengan membawa sebuah pistol ditangan kanannya dan sebuah cerutu yang ada dimulutnya. Ia menghampiri seorang kakek tua yang sudah sangat renta itu. Ai tarik tangan kakek tua itu sampai ke hadapan semua orang. Dengan pistolnya ia angkat kepala kakek itu. Dan terdengar suara tembakan tepat mengenai kepala kakek itu.
" Itulah yang akan terjadi jika kalian berusaha melawan saya!" Tutur Whillem
       Anak yang dahulu aku kenal baik itu rupanya sama saja dengan antek-anteknya. Bahkan sekarang ia menjadi pemimpin mereka. Mungkin selama ia di pesantren ia hanya menjadi mata-mata terkait pendidikan yang diberikan kepada orang-orang pribumi. Ataukah memang doktrin yang diberikan oleh para kolonial itu terlalu kuat sehingga ia kehilangan pengendalian dirinya.
       Satu malam ketika semua tertidur pulas aku, Danu, dan Rinto berdiskusi terkait perlawanan rakyat pribumi.
" Jadi bagaimana, kapan kita akan melakukan perlawanan terhadap mereka?" kata Rinto
" Tunggu dulu. Kita harus mengumpulkan orang untuk mau bersama-sama melawan mereka." Kataku