(11) Lepas
Izin pamit dengan keraguan yang dirasanya..
Lalu bertanya apa ia aku mengizinkan?
Jawabku... yaa pergi saja
Ada kerutan di dahinya
Seperti memaksa aku untuk berkata,
Jangan pergi wahai kanda, aku tak mampu tanpamu,
Begitulah yang tersirat dibenakku saat melihat wajahnya
Ahhhh! Â belum juga pergi kenapa binar kerinduanmu memuncak seperti itu? Bisik geli dalam hati.
Ku harap cinta ini selalu seperti analogi kita tentang senja
(12) Â Serigala Merindu Bulan
Jauh meski tak bisa tersentuh,
Mengetuk angkuh bulan bila riuh.
Menjamah malam dengan kiasan,
bak pungguk merindukan bulan.
Di atas sana bulan bermegah,
kilat berkilau bersinar indah.
Dan si serigala terus saja menengadah; menghiba rasa dengan bersuara manja.
Andai  mengerti di ketinggian itu, ribuan langkah belum tertuju.
Kau gapai pun kumpulan debu
Tipuan mata mengkaburkan indramu
Jangan silau,
Jiwamu terisi syair-syair galau,
Merengkuh mimpi yang tak mungkin termiliki; tinggi dalam penjagaan bidadari
Dan,
Semua ilusi yang kau cari hanya mimpi.
Menepilah; nanti kau akan mati
karena sepi
(13) Siluet jingga
Menyimak gugusan senja merah tengah di balut gelap malam perlahan,
menafakuri kuasa Tuhan lewat rona wajah alam yang sedang bergantian peran,
aku semakin takjub sekaligus merasa kecil dalam waktu yang bersamaan
Tuhan,
di ufuk barat kau lukiskan jingga yang menyala,
di altar rembulan kau sulut cahaya yang purnama.
maka nyalakan jugalah semangat kepasrahanku  akan hidup yang semakin fana
Malam mulai membedaki diri dengan gerimis begitu mistis,
Aku mencoba tersenyum dengan hati yang meraung dalam tangis
(14) Ujung Senja
Pada ujung senja engkau menakar sepi
begitu banyak detik yang kubiarkan terlunta-lunta
bahkan tersesat dalam imajii sendiri
ah duhaiku !
pada hela napas yang mana tak kau temukan aku?
padahal kita sepakat meletakkan rindu di bawah akar Kamboja
yang daun nya menggenggam butir debu
ah duhaiku !
mari memeluk cinta dengan sederhana
sebagaimana meleburnya kayu dan api menjadi abu
(15) Rencam
Riuhnya gelap cakrawala menikam surya yang menuju senja,
Memudarkan Bagaskara di tengah nabastala berbicara.
Aksa perlahan menatap jingganya senja yang mulai terhapus dihiasi sejuknya anila berhembus.
Aku bersembunyi di balik rimbunnya pohon beridiri, diiringi oleh sekumpulan burung bernyanyi.
Menuliskan segalanya sebagai saksi yang dibalut diksi dan dirangkai menjadi puisi.
(16) Selarik Tanya
Dalam hening, aku merangkai kata. Kata manis darimu yang berujung kepahitan. Ibarat kopi tanpa gula yang disengaja diperuntukkan untukku. Haruskah aku jujur dengan rasa yang kau berikan?
Atau mencoba menikmati tetes demi tetes kepahitan itu
Sebenarnya apa yang pahit? Kopi atau janjimu?
Kopi bisa di minum.
Lantas janjimu, harus diapakan? Dilemparkan ke orang yang berhak menerimanya yang akan merasakan manis yang seutuhnya?
(17) Sadtember
September tak membawa matahari tiba. Langit yang malang, ia merindukan senja namun yang tandang adalah hujan. Dinginnya membekukan relung hati, kehangatan raib dari netra.
Goyangkan saja ilalang, biar mereka menari agar tak ada lagi sepi. Gelasku sayang, kopimu amat legit namun ampasmu tak kalah pahit. Mari berdialog dengan bayangan, agar kau tahu betapa tersiksanya bergelut dengan khayalan.
(18) Sebilah Rindu
Lara hati
Berbicara pada hujan
Memintanya kembali
Namun hanya ketiadaan
Hujan
Ijinkan aku meminta
Akan rindu tanpa suara
Untuk kutitip pada semesta
Bawalah pergi rinduku
Ajak kemanapun kau mau
Jadikan temanmu agar ia tau
Jika aku selalu bersamamu
Hujan
Kau buat aku berdiri
Walau telah jatuh berkali-kali
Tanpa harus mengeluh mati
Walau banyak kuterhajar
Kau buat aku belajar
Meski jatuh dan terkapar
Tak perlu mengeluh dan tetaplah sabar
Hujan
Terimakasih telah datang
Walau hanya hadirkan guncang
Itu cukup untuk kukenang
Tanpa harus membenci takdir
(19) Rain-du
Gemuruh dari barat
Siluet tajam sang kilat
Amarah guntur kian cekat
Menghentak seakan menjilat
Amukan memecah hening
Bersama hembusan angin
Bekukan diri memberi dingin
Menggigil kejang kian kencang
Guyuran hujan pun turun
Bersama bulir yang mengguyur
Basahi hati yang menggurun
Hantarkan rindu tuk tumbuh subur
Ranting-ranting pun bertekuk
Daun dan pucuk saling memeluk
Basahi lara yang lama membungkuk
Asa dan rindu jua saling terteguk
Antara Hujan
Dan sepasang kenang
Saling berlomba menang
Hingga tinggalkan genang
(20) Sebait Harap
Beberapa hari bahkan minggu belakangan ini
Kusempatkan bangun di sepertiga malam
Mendoakan agar kamu adalah jodohku
Aku memohon kepada-Nya agar dirimu tetap denganku
Agar dirimu tetap berada disampingku
Aku berdoa agar seberat apa cobaan yang kita hadapi
Kita akan tetap kembali bersama
Dan Tuhan mengabulkannya
Sampai saat ini kita bisa melewatinya bersama
Kumohon tetaplah bertahan denganku
Sungguh aku hanya ingin kita tetap bersama bertahan sampai waktunya tiba
Aku selalu bersyukur atas semuanya
Bolehkah aku rindu denganmu?
Aku rindu suaramu menyapaku
Aku rindu tawamu
Aku rindu caramu menghiburku
Aku rindu semuanya darimu
Terimakasih sudah menjadi pelindung dan sosok paling berharga dihidupku
Aku selalu dan tetap menyayangimu
(21) "Edisi Perjalanan"
Mari bergegas,
habiskan teh manismu selagi hangat
Ada jadwal kereta yang mesti kita kejar siang ini
Bawalah semua bekal,
tinggalkan saja yang menjadi beban
Dan beberapa potong kenangan bertabur coklat
Mungkin nanti bakal tepat
Sebagai pengganjal bila rindu mulai lapar
Kita akan jauh tinggalkan kota ini
bersama sekeranjang besar doa
juga ada harapan-harapan yang sebagiannya kita rajut sebagai mantel untuk mengusir dingin yang begitu usil dalam kereta
Kau akan lihat landscape yang begitu indah lewat tingkap kaca
Di sepanjang perjalanan, kita akan bercerita  tentang bunga-bunga, padang rumput, hamparan padi atau langit biru di mana layang-layang diundu beradu
(22) Andaikan dulu
Andaikan dulu
kau berkenan mengakui sebagai kopi.
Takkan tercipta harapanku tentang rasa manis.
Jelas ku terima dengan hangat di cangkirku.
Yang jadi masalah adalah
Kau mengenalkan diri sebagai madu.
Tapi setelah ku tanya dimana sarangmu
Kau diam terpaku
Seolah ada banyak lebah di sarangmu itu.
(23) Terinjak Lara
Menggores kesadaran;
menyayat perasaan;
Pada setiap kata yang memuat pertanyaan
Aku mencari kau yang aku rindukan
Aku menyapa kau yang aku nantikan
Aku mencari;
Aku menyapa;
Aku menanti;
Aku merindu;
Aku terisak;
Aku menunggu hadirmu
Dan kini,
Satu-satunya yang tersisa hanyalah goresan yang aku buat sebahagai prasasti kesendirian
Kapanpun sunyi merasuk jiwamu, kemarilah
pesan kopi terpahit dengan kenangan termanismu
Genggam kesedihanmu sebagai duka paling bahagi
(24) Kopi dan Kata, Kursi dan Kita
Aroma kopi yang diseduh pagi hari
Menyeruak hingga membangunkan aksara untuk meniti
Pun dengan segala filosofinya yang kau pahami
Tak sebanding dengan bahasa tersirat sebuah diksi yang aku ketahui
Arunika sang bagaskara begitu indah
Tak kalah indah dengan rangkaian kata
Baswara dengan biasnya menyapu wajah
Kulihat kau sungguh gelisah
Ada apa denganmu?
Terukir jelas raut wajah khawatirmu
Aku tak akan pergi dari sisimu
Aku tetap disini sesuai janji kita dahulu
Kau ingat?
Di kursi taman
Dengan dua cup gelas kopi
Bersilang tangan sambil menyuapi
Mengikrakan janji suci
Terpatri dalam hati
Bahwasanya tak akan ada yang saling pergi
Walau apapun yang terjadi
(25) Kopi, Lukisan, Kenangan
Lihat
Tepat setelah lampu-lampu dipadamkan
Kau menyala sebagai satu-satunya yang aku rindukan
Di sini,
Di tempat yang paling kamu hindari
Aku pernah berdiri
Menggores kata menulis warna
Pada ratapan panjang yang menguat dalam dinding kecemasan
Aku mengisahkan kenangan di kepasrahan yang begitu lapang
Retak berserakan
Tanpa kediaman
Terkoyak sepi, melayang di antara pekat aroma kopi
Dengar,
Tepat setelah jejak-jejak di langkahkan
Kau menyapa sebagai satu-satunya yang kunantikan
Di sini, dipeluk yang pernah kau nikmati
Aku masih sendiri
Mencari kehilangan, menemui perpisahan
Pada letupan kenang yang memuat kekosongan
Aku membicarakan senyummu di keindahan yang telah hilang
Hancur berkeping, tersapu kesunyian, terinjak lara
terlarut dalam pahit diseduh air mat
(26) Pemilik Rindu
Padamu wahai guru kusampaikan rindu lewat aksaraku
Rindu yang sampai kini hanya membingkai hatiku
Yang kuinginkan hanyalah senyum mu; tawamu, guruku, sahabatku
Padamu pemilik rindu
Adorasi dan ambisi ingin bertemu
Menghalalkanmu adalah jalan suci
Menggapai mimpi menuju surganya illahi
Jagalah mata dan jagalah hati
Kupastikan kaulah pemilik hati
Biarkanlah waktu yang menjadi saksi
Bahwa cintaku tulus dan murni
(27) Rindu Tatap Muka
Jarak memisah kita
Dengan pandemi yang melanda Indonesia
Hidup diterpa bencana
Bentala diserang lokawigna
Dekat menjadi jauh
Jauh tak bisa mendekat
Ah, sungguh aku rindu
Bertemu denganmu
Dapatkah kita bertemu?
Di tengah pilunya pandemi
Sungguh dilema hati
Terbatas di ujung asa yang baru saja memuncak
Aku butuh bertatap muka
Aku rindu bersua
Aku tak mau hidup di gua
(28) Nestapa Berahi
Cengkrama; Hilang gelak
Sebait kata; Urung bergolak
Sunyi; Mengapit rasa
Kidung sepi; Sesakkan jiwa
Merindu; Sekedar sapa
Sebilah sendu; Membelah kecewa
Retak; Puing tersisa
Jiwa tersentak; Berderak luka
(29) Penyongsong Tuah
Duduk dalam hening,
memenjakan pandangan ke ketinggian angkasa yang baru saja terbuka.
Bibirku rapat terkunci,
namun di dalamnya  kuhidupkan dzikir
untuk mengguncang langit yang telah sunyi.
Langkahku dipimpin shalawat,
berharap setiap bulir kalimatnya menjelma rahmat.
Duhai Raja Bumi dan langit,
pemutus maut dan muara segala harapan,
Padamu, sekali lagi kutitipkan Do'a,
bahagiakan dan rahmatilah hidupku.
(30) Usai
"Secarik renjana beriring dengan rencana. Adakah tinta penantian masih lukiskan jingga pada swastamita? Binar menuju malamnya masih terus disambut. Abaikan bias lain yang perlahan masukkan pijarnya. Wahai, waktu. Hampirilah aku, pada titik henti dari jamanika."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H